Fb. In. Tw.

Kang Kamaga, “Ronin” Tokyo dari Dago

Minggu (11/1/2014) saya berjumpa dengan seorang “ronin” kelahiran Tokyo, Jepang, di SMKN 13 Bandung. Nama lengkap sang “ronin” adalah Masamu Kamaga (32 tahun). Ia sudah tiga tahun tinggal di Bandung.

Kamaga yang Jepang totok ini memutuskan tinggal di Bandung lantaran jatuh cinta pada kota ini. Di Bandung, Kamaga tinggal di daerah Dago Bengkok. “Saya ini orang Jepang dari Dago,” kelakarnya sambil tertawa.

Di sekolah itu, Kamaga kebetulan baru saja menjadi juri rodoku (membaca) dalam kegiatan Bunkasai (Festival Kebudayaan Jepang) yang diselenggarakan oleh MGMP Bahasa Jepang Jawa Barat.

Saya sendiri hadir di sana dalam rangka mengantar istri, Rosi Rosiah, yang sedang promosi Pendidikan Bahasa Jepang Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (kampus tempatnya mengajar). Kang Kamaga menghampiri stand tempat promosi, dari situlah obrolan kami dimulai.

Kamaga mengenakan kemeja batik. Jika dilihat sekilas, barangkali tidak tampak Nippon-nya. Hanya satu saja yang membuatnya agak mencolok sebagai orang asing, kamera yang disandangnya mencitrakan sebagai turis.

Saya sendiri dikenalkan oleh Reza (kawan nongkrong saya di Gedung Pentagon ketika kuliah di UPI dulu, sekarang Guru Bahasa Jepang SMAN Margaasih) yang sedang nongkrong di stand. Menurut Reza, Kamaga sudah bisa bahasa Indonesia dan Sunda sedikit-sedikit. Tentu saja pengantarnya itu membuat saya lebih mudah mengajaknya ngobrol.

“Saya sudah tiga tahun di Indonesia, jadi bisa bahasa Indonesia dan sedang belajar bahasa Sunda juga,” kata Kamaga setelah diperkenalkan.

Selama tiga tahun itu, delapan bulan ia habiskan untuk belajar bahasa Indonesia pada program BIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing) Universitas Padjadjaran. Selanjutnya ia mengajar Sastra Jepang di Universitas Maranatha Bandung.

Tahu bisa bahasa Sunda, saya pun kemudian menyebutnya dengan Kang Kamaga. Penasaran, saya pun lantas bertanya mengapa ia tertarik ke Indonesia.

“Saya sudah bosan tinggal di Jepang. Saya ingin bebas. Kehidupan di sana bikin saya Stressfull. Saya sudah keliling beberapa negara Asia, seperti ke Thailand dan Vietnam. Lalu saya memutuskan tinggal di Bandung,” jawabnya dengan bahasa Indonesia yang benar-benar lancar.

Jawabannya cukup mengejutkan saya. Bosan di Jepang, menarik juga, pikir saya. Sementara beberapa orang Indonesia bermimpi untuk tinggal di sana. Eh, ini orang sananya sendiri merasa bosan tinggal di negara yang jelas lebih maju dari kita itu.

Keinginannya untuk bebas itu pulalah yang membuat saya menyebutnya sebagai “ronin” sebuah istilah untuk samurai tak bertuan. Atau, dengan kata lain pendekar samurai yang membebaskan dirinya dari majikan (Daimyo). Seperti kisah dalam  Musashi karya sastra yang sangat terkenal dari novelis Jepang, Eiji Yoshikawa.

“Apa yang membuat Kang Kamaga memilih tinggal di Bandung?” tanya saya kemudian.

“Ya, makanannya enak dan orang-orangnya ramah-ramah,” jawabnya tegas.

“Bukankah makanan Jepang juga enak?”

“Iya, memang. Tapi, saya sudah merasa bosan. Kalau di sini, gak tahu kenapa, walau sering makan makanna yang sama tapi tidak pernah merasa bosan,” Kang Kamaga menimpali.

“Makanan yang paling disukai di sini apa tuh?

“Sate, saya suka sate,” katanya.

Kang Kamaga memberi saya kartu nama. Pada kartu nama itu tertulis “Masamu Kamaga Ph.D”. Lalu saya menanyakan pendidikannya di mana.

“Saya sekolah Jurusan Teknik di Tokyo Institute of Technology (Bachelor dan Master/S1 dan S2-nya). Terakhir untuk Ph.D (S3) di Chiba University,” tuturnya.

“Kenapa Kang Kamaga tidak memilih bekerja di Jepang, padahal kan sudah Ph.D?”

“Setelah sekolah saya pernah bekerja di Toshiba. Tapi saya tidak suka. Bekerja di perusahaan tidak bebas. Saya lebih senang seperti ini. Bebas,” jelasnya.

“Lalu apa saja kegiatan Kang Kamaga di Bandung selain mengajar Sastra Jepang?”

“Saya sering datang ke sekolah-sekolah untuk memberi inspirasi dan motivasi kepada siswa-siswa yang suka belajar bahasa Jepang. Saya juga senang membantu kegiatan lain yang berhubungan denga Bahasa Jepang, seperti menjadi juri,” tuturnya.

Dan, Kang Kamaga melakukan itu tanpa meminta biaya lho. Cukup hubungi, maka dengan sukarela ia akan datang dan membantu sekolah yang membutuhkan bantuannya. Catatannya, asal jadwal di kampus tempatnya mengajar sedang lowong, pasti dia datang ke sekolah teman-teman.

Pada tahun 2014 juga dia pernah membantu Bandung Jepang Festival, sebuah kegiatan untuk mempromosikan Bandung kepada orang Jepang. Ini juga satu aksi keren Kang Kamaga lainnya. Jika biasanya ada kegiatan serupa, tapi lebih banyak mengenalkan Jepang ke Orang Indonesia, ia malah membaliknya. Ia membantu dengan cara memotivasi dan mencarikan sponsor.

“Ya, saya membantu Bandung Japan Festival pada Oktober tahun kemarin (2014) untuk mempromosikan Bandung ke Orang Jepang. Waktu itu kegiatannya di Sabuga (Sasana Budaya Ganesha). Pengunjungya sampai 15.000 orang,” katanya dengan bangga.

Sebagai seorang “ronin” kini Kang Kamaga terus berkeliling ke sekolah-sekolah. Bukan hanya di Bandung, ia juga merencanakan untuk keliling ke beberapa kota di Indonesia. Kemudian akan kembali membantu gelaran Bandung Jepang Festival berikutnya.[]

Sumber foto: Rosi Rosiah

KOMENTAR

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register