Fb. In. Tw.

Mengharmonikan Diri dengan Jayagiri

Pagi yang basah di akhir tahun 2014. Langit kelabu membuat saya dan beberapa kawan lain (Ari, Kiki, Lena, Dina, Zulfa, Kelvin, Alvian, dan Manarul) sedikit resah. Pasalnya, pada Selasa (30/12/2014) kami berencana jalan-jalan dan botram (makan bekal bersama) ke hutan Jayagiri. Segala perbekalan dan perlengkapan lain telah kami persiapkan.

Pekerjaan dan tugas yang menumpuk kami tinggalkan sejenak untuk supaya lebih akrab dengan alam. Akhirnya, setelah menunggu sekitar 30 menit, langit sudah sedikit ramah meskipun matahari tidak seutuhnya menampakkan diri. Kami telah benar-benar siap memulai sebuah perjalanan.

Jayagiri adalah nama sebuah desa di daerah Lembang, Kabupaten Bandung Barat yang berupa dataran tinggi dengan kisaran ketinggian 1.250-1.500 mdpl dan sebagian besar wilayahnya diselimuti hutan. Jayagiri menjadi jalur yang sering dilewati para pendaki untuk menuju Gunung Tangkuban Parahu.

Pukul 08.00 WIB, kami memulai perjalanan dengan menaiki sebuah angkutan umum jurusan Stasiun Hall-Lembang dari gerbang II kampus Universitas Pendidikan Indonesia Jl. Dr. Setiabudhi, Bandung. Tak membutuhkan waktu yang lama untuk sampai di Desa Jayagiri. Karena di dalam angkutan hanya kami berdelapan, kami meminta sopir untuk sekalian mengantar sampai depan loket yang bertuliskan Wana Wisata Lintas Hutan Indah Jayagiri.

Namun, Anda juga bisa turun di jalan menuju Desa Jayagiri tersebut yang terletak sebelum Mesjid Agung Lembang, kemudian berjalan kaki sejauh beberapa ratus meter melewati Taman Junghuhn untuk sampai ke loket. Pukul 08.30 kami tiba di depan loket dan membayar ongkos angkutan Rp 7.500/orang.

Kami tidak langsung memasuki hutan karena harus menunggu satu kawan kami yang tertinggal. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya ia datang. Kami langsung menuju loket yang menjadi gerbang memasuki hutan Jayagiri. Harga tiket untuk memasuki kawasan hutan Jayagiri adalah Rp 6.000/orang untuk sekedar hiking/tracking dan Rp 15.000/orang untuk berkemah. Biaya yang cukup murah untuk mendapatkan kepuasan batin menikmati keindahan alam.

Pukul 09.00 WIB, kami sudah memasuki kawasan hutan yang rimbun dengan aroma humusnya yang khas. Kami menyusuri jalan setapak yang menanjak dan cukup licin karena telah diguyur hujan. Perlu kecermatan dalam setiap pijakan agar tidak terpeleset. Perjalanan baru dimulai sekitar sepuluh menit, gerimis turun menemani perjalanan kami. Ponco segera dikeluarkan agar tubuh tidak basah. Hangatnya canda tawa kami sepanjang perjalanan mengalahkan dinginnya gerimis.

jygr2

Perjalanan menuju Puncak Jayagiri. (Foto: Dokumentasi Manarul)

Tak lama kemudian gerimis reda, kami memasuki hutan pinus. Pohon-pohon yang lampai, desiran daun yang ramai, dan aromanya yang membuai, menyambut kehadiran kami. Suasana teduh dan damai membangkitkan semangat kami yang hampir lunglai. Hutan pinus selalu pandai membuat saya pribadi terpesona. Kami beristirahat sejenak sambil menikmati kudapan dan mendokumentasikan diri.

Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB, perjalanan dilanjutkan kembali. Kami berpapasan dengan beberapa pengunjung lain dan saling melempar senyum. Selang beberapa menit, kami melewati tanah yang cukup datar dan tiga buah warung yang menjual makanan, minuman, dan buah-buahan. Aroma gorengan yang hangat berhasil menggoda kami untuk duduk sejenak dan menikmatinya dengan segelas minuman panas sambil berbincang-bincang dengan pemilik warung untuk menanyakan jalur yang akan kami lewati selanjutnya.

Setelah puas menikmati gorengan, kaki kembali dilangkahkan. Pukul 10.45 WIB, kami sampai di sebidang tanah yang luas dan datar serta ditumbuhi pohon-pohon pinus yang jarang. Di sini terdapat beberapa tenda dan orang-orang yang sedang menikmati makan siang. Kami duduk melingkar, semua perbekalan dikeluarkan. Inilah acara puncak kami. Bekal makanan sederhana pun menjadi sangat nikmat jika dinikmati bersama-sama. Apalagi dengan latar pemandangan alam yang indah. Keringat yang bercucuran di sepanjang jalan yang menanjak selama hampir dua jam terbayar semuanya di sini.

jygr3

Pemandangan di Puncak Jayagiri. (Foto: Dokumentasi Ari)

Pemandangan dari Jayagiri ini sungguh indah sehingga menjadi inspirasi banyak lagu dan puisi. Dari tempat ini, sejauh mata memandang kita dapat melihat rangkaian gunung di kejauhan yang mengelilingi Bandung. Tak ayal jika gunung-gunung tersebut menjadi dinding alam yang tinggi dan tebal membendung aliran sungai Citarum menjadi sebuah danau raksana lebih dari seratus ribu tahun yang lalu.

Langit yang berawan menyembunyikan letak matahari. Tak terasa waktu sudah menunjukkan hampir pukul 12.00 WIB. Energi sudah terisi kembali, kami bersiap-siap untuk pulang. Setelah melewati warung, kami mencoba mengeksplorasi jalur pulang dengan memilih berbelok ke jalur yang berbeda dengan jalur pemberangkatan tadi.

Jalan ini berbatu dan memiliki lebar sekitar dua meter dengan sisi kiri-kanan berupa semak belukar dan pepohonan yang cukup rapat. Jalur ini kemudian menyambung ke jalan offroad selebar empat meter yang sering dilewati motor trail. Jalan ini lebih becek daripada jalur sebelumnya, dengan tanah merah dan kubangan lumpur di mana-mana. Jika tidak hati-hati, kaki kita bisa terjerembab ke dalam lumpur tersebut seperti salah satu kawan saya.

jygr4

Di jalur pulang. (Foto: Dokumentasi Ari)

Setelah cukup lama melewati jalan penuh lumpur, akhirnya kami sampai di hutan pinus. Kami beristirahat sejenak sambil mendiskusikan jalur yang akan dilewati selanjutnya karena jalan yang kami lewati bercabang. Akhirnya kami memilih jalan yang berbelok ke kiri dengan harapan akan kembali ke tempat masuk wanawisata Jayagiri. Namun, ternyata kami keluar hutan dan masuk ke pemukiman warga. Kami kurang mengenal daerah ini. Kami melewati sebuah masjid yang bertuliskan Kp. Cipariuk, Desa Sukajaya. Di mesjid ini kami menyempatkan untuk salat zuhur terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.

Berdasarkan hasil obrolan dengan warga setempat, kami dapat kembali ke Jl. Dr. Setiabudhi dengan berjalan kaki terlebih dahulu menuju jalan raya untuk selanjutnya dapat menaiki angkutan umum. Jalan yang harus kami lewati menuju jalan raya memiliki keadaan yang cukup baik. Sepanjang perjalanan kami melewati kebun kacang, rumah warga, kandang sapi dan tempat penampungan susu.

Hampir satu jam kami berjalan kaki namun jalan ini sepertinya tak ada ujung, jalan raya yang kami tuju pun belum juga nampak. Untungnya, sebuah mobil colt pengangkut pakan sapi berbaik hati mengangkut kami menuju jalan raya. Meskipun mobil ini sedikit beraroma tak menyenangkan, tapi kebaikan hati warga setempat sangat kami apresiasi.

Tak lama kemudian kami sampai di jalan raya dan menyewa angkutan umum menuju kampus Universitas Pendidikan Indonesia dengan ongkos sekitar Rp 8.000/orang. Kami tiba di gerbang II kampus UPI sekitar pukul 15.00 dengan menggenggam pengalaman sejuta cerita.

Sungguh Tuhan telah meninggikan langit dan membentangkan bumi untuk sebuah keseimbangan. Tinggal bagaimana kita tetap dan terus menjaga keseimbangan tersebut. Jayagiri semakin menyadarkan saya betapa manusia dan alam harus harmoni, mengingat begitu banyak bencana alam yang menimpa bumi pertiwi kita akhir-akhir ini. Perilaku yang tidak bijak kepada alam akan menjadi bumerang kepada kita sendiri. Jangan sampai pada akhirnya kita saling tuding siapa yang bersalah jika alam telah kehilangan keseimbangannya. Salam lestari![]

Sumber foto: Dokumentasi Manarul & Ari

KOMENTAR

Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI dan anggota ASAS UPI. Penikmat sastra dan pencinta alam.

You don't have permission to register