Mitos Tiga Pesona Dewa Alam
Siapa yang tahu pemandangan indah dan memesona pada keindahan peninggalan Bandung Purba? Sanghyang Poek, Sanghyang Tikoro, serta Sanghyang Kenit di antaranya. Pesona dari ketiga sanghyang tersebut menyimpan sejumlah mitos yang mungkin banyak orang percaya juga tidak.
Mitos yang terdapat pada Sanghyang Poek berhubungan dengan legenda Sangkuriang. Begitu pula dengan Sanghyang Tikoro dan Sanghyang Kenit, begitu kira-kira menurut Pak Endang (76 th). Pak Endang yang kami (Fasya, Ares, Kemri, Lukman, dan Utep) temui di Sanghyang Tikoro menceritakan tentang kejadian-kejadian yang dia juga warga sekitar temukan dan rasakan terhadap Tiga Pesona Dewa Alam.
Terciptanya nama Saguling, menurut dia adalah kegagalan Sangkuriang akan perintah dari Dayang Sumbi dengan membendung aliran sungai Citarum buat berlayarnya mereka. Saguling berasal dari kata ‘sagulingeun’. “Jadi sagulingeun deui Sangkuriang téh méréskeun bendungan, ngan balébat moncorong panon poé. Sangkuriang murang-maring, kusabab bogoh ka Dayang Sumbi, tuluy diberik lumpatna ka Sanghyang Poék. Ples wéh teu kaningali naon-naon di dinyamah. Sanghyang Poék téh ti dinya asal mulana,” tutur Pak Endang.
Gunung tempat Dayang Sumbi mengibaskan kerudung Cindé Wulung yang membuat fajar menyingsing adalah Gunung Putri. Gunung Putri sendiri letaknya tidak jauh dari ketiga pesona dewa alam tersebut.
Begitu semangatnya sang kakek bercerita membuat kami hanyut dalam ceritanya, “Dayang Sumbi teh sabenerna sok maké kembang Jaksi dina buukna, matak awét ngora terus. Saeunggeus kajadian éta, kembang Jaksi ngaleungit, bapak ge can kungsi ningali kembang Jaksi sapertos kumaha. Cenah mah, lamun manggih kembang Jaksi bisa awet ngora.”
Sanghyang Poek serta Sanghyang Tikoro sampai sekarang dijadikan tempat sakral oleh penduduk sekitar juga orang-orang yang percaya dengan hal-hal yang berbau mitos. Banyak orang yang datang ke sana untuk melakukan ritual-ritual meminta ilmu atau yang lainnya.
Biasanya orang yang datang ke sana membawa sesaji daging babi dan bir. Entah kenapa sesaji itu yang diminta. Biasanya sesaji berupa kembang tujuh rupa, pisang, kelapa, rokok, serta kemenyan. Saya beranggapan bahwa ini hanya bagian dari sebuah dinamika kehidupan.
Mitos
Perlukah kita mengenal mitos, mempercayai mitos atau bahkan membuat mitos? Saya kira perlu dalam beberapa hal. Banyak hal positif dari mitos-mitos, salah satunya menjaga alam dari kerusakan, menjaga lupa akan masa lalu, serta nilai-nilai sosial yang terkandung pada mitos tersebut. Sepertinya mitos yang kita kenal sekarang adalah pendidikan pendewasaan anak pada zaman dahulu, anak diajarkan untuk melestarikan lingkungan, serta diajarkan tentang nilai-nilai.
Mitos ini terus berkembang hingga sekarang, banyak kajian serta teori yang mengarah pada mitos dan banyak orang pula yang takut dengan mitos. Mitos juga perlu kita buat untuk menghadang pembanguan yang luar biasa terjadi pada zaman sekarang.
Banyak sekali pembanguanan yang tidak mengindahkan kelestarian alam, akibatnya alam rusak, banjir, longsor dan lain sebagainya. Dengan mitos orang akan berpikir ulang karena takut, atau bahkan kena karma dan lain sebagainya.
Kembang Jaksi dan Kerudung Cinde Wulung
Banyak orang yang mencari kembang Jaksi sekadar untuk mengabadikan tubuhnya, supaya terlihat awet muda dan tetap enerjik. Namun kembang ini tidak ada yang tahu keberadaannya.
Banyak yang bertapa di Sanghyang Poek untuk mencari wangsit guna menemukan keberadaan kembang Jaksi, yang didapat hanya cerita-cerita tentang buta serta keraton yang ada di Sanghyang Poek tersebut. Bahkan banyak orang yang linglung.
Kembang Jaksi serta Kerudung Cinde Wulung sendiri mungkin hanya simbol yang jika kita gali banyak terkandung nilai sosial budaya di dalamnya.
Pertemuan saya dengan Sanghyang Poek, Sanghyang Tikoro, dan Sanghyang Kenit lebih pada fase mirror stage kalau meminjam istilah Jacques Lacan. Bagaimana seseorang itu berfantasi, mengenal dirinya lewat cermin. Selain itu untuk menjaga lupa dengan peninggalan-peninggalan Bandung Purba yang masih tersisa di alam. Salam.[]
Sumber foto: Heri Maja Kelana