Fb. In. Tw.

Mengenal “Melati dari Jayagiri”

…Pada hening dan sepi aku bertanya
Dengan apa kuisi detikku ini

Tuhan kemana kami setelah ini?
Adakah Engkau dengar doaku ini?

(Detik Hidup, Abah Iwan)

 

Suatu hari saya mendengar lagu di radio. Kerapkali penyanyinya menceritakan pula sabab-nuzul dan kandungan pesan lagu tersebut. Saya terpesona. Ternyata penyanyi itu bernama Ridwan Armansjah Abdulrachman atau lebih dikenal dengan panggilan Abah Iwan. 

Detik Hidup. Salah satu lagu Abah Iwan yang membuat saya terkesan. Mendengar lagu tersebut seakan mendengar tausiyah segar yang –berbeda dengan kultum musiman– membuat saya tergerak untuk segera ngalenyepan diri. Sebuah lagu yang berbekas di hati. Di kemudian hari, baru saya tahu bahwa Flamboyan dan Melati dari Jayagiri -dua lagu lawas yang cukup akrab di telinga kita- ternyata buah karya Abah Iwan juga.

Selain di radio, perkenalan saya dengan karya Abah Iwan terjadi secara tidak sengaja pada sebuah diskusi sastra, sekitar 6 tahun silam. Waktu itu, seorang penyair entah karena apa tiba-tiba menyebut nama Ridwan Armansjah Abdulrachman dengan salah satu karyanya yang monumental yaitu 1000 Mil Lebih Sedepa. Saya tidak hapal lagu itu. Saya penasaran. Selepas acara, saya ke warnet lalu mencari lagu tersebut. Lagi-lagi saya terkesan.

1000 Mil Lebih Sedepa membuat saya semakin mengagumi karya-karya Abah Iwan. Vokalnya khas, petikan gitarnya ciamik. Lirik lagunya puitik dan bersahaja. Sehingga tiap kali mendengar lagu itu saya selalu menyesal kenapa saya tidak bisa bermain gitar.

Adapun Anggrek Merah, Balada Seorang Kelana, Bulan Merah, Sejuta Kabut, Senja di Bandung Utara –sekadar menyebut lima judul saja– adalah lagu-lagu Abah Iwan yang saya kenal dan saya sukai kemudian. Seperti halnya Detik Hidup, lagu-lagu tersebut sering membuat saya tersentuh. Di luar kualitas vokal dan teknik bermain gitar, kesungguhan Abah Iwan dalam bernyanyi dan menyuarakan hal-hal yang amat ia akrabi menjadi daya tarik tersendiri serta menjadi kekuatan karya-karyanya.

Satu tahun terakhir ini saya merasa beruntung dapat menikmati suara Abah Iwan secara langsung. Penampilannya di Padepokan Seni Mayang Sunda dan Gedung Kesenian Sunan Ambu STSI beberapa waktu lalu tak pernah saya lewatkan. Di atas panggung, penyanyi kelahiran Sumedang, 3 September 1947 ini, adalah seorang penghibur sekaligus motivator. Selain bernyanyi diiringi petikan gitar akustiknya sendiri, Abah Iwan sering kali menampilkan foto-foto perjalanan hidupnya sebagai ilustrasi bagi lagu yang ia bawakan. Dari foto-foto itulah beragam cerita muncul. Ada kalanya cerita dan foto-foto itu membuat penonton tertawa, tapi tak jarang pula membuat mereka tertegun.

Selain dikenal sebagai seniman, Ridwan Armansjah Abdulrachman merupakan insinyur pertanian sekaligus aktivis lingkungan. Seorang sipil yang menyandang bintang kehormatan militer. Dikenal juga sebagai salah satu anggota senior Wanadri, perhimpunan penempuh rimba dan pendaki gunung yang cukup dikenal dan disegani di negeri ini. Dalam kapasitasnya sebagai pendaki gunung, Abah Iwan bahkan tercatat sebagai salah satu instruktur tim 7 Summit Indonesia yang beberapa tahun lalu berhasil mencapai tujuh puncak tertinggi dunia.

Di luar semua itu, apa yang disampaikan Abah Iwan di atas panggung mengingatkan saya pada saat pertama kali saya mendengar Detik Hidup dari radio. Abah Iwan mengajak penontonnya untuk mengisi hidup dengan hal-hal yang berarti. Saya percaya, seluruh prestasi dan kehormatan yang kini diraih Ridwan Armansjah Abdulrachman adalah buah dari kesungguhannya menjalani hidup. Sebuah keniscayaan yang membutuhkan perjuangan keras.[]

Editor: Dian Hardiana

Sumber foto: youtube.com

KOMENTAR
Post tags:

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register