Fb. In. Tw.

“Intelligent Design” (3)

Sambungan dari Intelligent Design” (2) 

Ada beberapa konsep ikonik dalam teori intelligent design ini. Salah satunya adalah konsep ‘irreducible complexity’ yang dikembangkan oleh Michael Behe.

Di dalam konsep ini dinyatakan bahwa sebuah sistem kehidupan yang terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan secara tepat dalam sebuah fungsi dasar, jika salah satu bagian yang saling terkoneksi secara tepat tersebut dihilangkan, maka fungsi keseluruhan dari fungsi dasar sebuah sistem kehidupan tidak akan berjalan.

Behe menggunakan  analogi perangkap tikus dalam usaha menjelaskan konsepnya. Sebuah perangkap tikus terdiri dari beberapa bagian yang saling berhubungan satu sama lain. Ada papan sebagai dasar, ada per, ada alat penangkap dan beberapa bagian lainnya. Agar perangkap tikus dapat berfungsi, semua bagian yang ada harus berada tepat pada posisinya.

Jika salah satu bagian saja dihilangkan, maka perangkap tikus tersebut tidak akan berfungsi. Begitu juga jika bagian-bagian dari perangkap tikus tersebut di pasang satu per satu, maka perangkap tikus tidak akan pernah berfungsi sampai semua bagian berada pada posisinya. Itulah mengapa konsep ini disebut sebagai irreducible complexity.

Behe pun memberikan beberapa contoh irreducible complexity yang ada di alam. Flagelum pada bakteri E. Coli adalah contoh utama dari konsep ini. Contoh lainnya adalah sistem imun, mata manusia, silia dan blood clotting cascade atau koagulasi.

Selain irreducible complexity, ikon lain dalam teori ini adalah ‘specified compexity’. Konsep ini pertama kali diangkat oleh Charles B. Thaxton di tahun 1986 yang kemudian hari dikembangkan oleh ahli matematika dan filsafat, William A Dembski.

Konsep ini menyatakan bahwa apabila sesuatu memperlihatkan sebuah kompleksitas yang tetap dan terarah serta simultan, maka bisa disimpulkan bahwa hal tersebut terjadi karena penyebab yang cerdas. Ini artinya, hal tersebut terjadi karena adanya proses perancangan. William A Dembski memberikan sebuah pengandaian:

“A single letter of the alphabet is specified without being complex. A long sentence of random letters is complex without being specified. A Shakespearean sonnet is both complex and specified.”

Maksudnya, sebuah huruf alfabet adalah sangat jelas maknanya tanpa harus menjadi kompleks. Sebuah kalimat panjang yang terdiri dari huruf-huruf yang acak adalah kompleks tetapi tidaklah jelas (tanpa makna). Sedangkan sebuah soneta karya Shakespeare adalah kompleks sekaligus memiliki makna yang pasti.

Menurut Dembski, apa yang ada di alam pun memiliki hal-hal seperti pengandaian di atas. Detil dari mahluk hidup pun bisa dikarakterisasikan dengan cara yang sama. Khususnya pada pola urutan molekul dalam fungsi biologis molekul seperti DNA. Oleh karenanya, sebuah sel adalah sonetanya Shakespeare, yaitu hasil dari  kompleksitas dan kepastian.

Dalam perkembangannya, teori intelligent design sendiri mendapat penolakan besar dari masyarakat saintifik yang memegang teguh pada teori evolusi Darwin. Richard Dawkins dan para kolega neo-Darwinisme secara keras mengkritik keberadaan teori ini. Dalam beberapa tulisan, para pendukung neo-darwinisme memberikan penjelasan ilmiah dalam kritiknya.

Di dalam tulisan lain, bukan hanya kritik ilmiah saja yang muncul. Banyak tulisan dari para pendukung teori evolusi Darwin menuduh teori ini sebagai teori yang tidak saintifik, sebuah pseudo-science.

Para neo-Darwinisme menganggap bahwa teori ini hanyalah upaya untuk menggiring sains kepada kepentingan teistik saja. Mereka takut apabila teori ini menjadi bagian dari dunia saintifik, akan menjauhkan dunia sains dari nilai-nilai ilmiahnya.—bukankah dengan memaksakan pemahaman evolusi Darwin, nilai-nilai ilmiah pun sudah tersandera?— Di pertengahan abad ke-20  pun, masyarakat saintifik pernah mengalami kekhawatiran yang sama.

Ketika teori big bang muncul, mereka berbondong-bondong menyerang teori tersebut. Bukan karena benar atau tidaknya teori big bang, tetapi lebih karena ketakutan akan inplikasi lanjutan dari kemunculan teori tersebut, yaitu penciptaan. Bila alam semesta diciptakan, atau kehidupan hasil dari perancangan cerdas, teori Darwin akan otomatis runtuh.

Meski mendapat perlawanan keras dari para pendukung teori evolusi Darwin, para pendukung teori intelligent design terus berkembang pesat. Para pendukungnya semakin banyak, dan fakta-fakta ilmiah terbaru semakin menguatkan teori ini.

Di belahan bumi lain pun, para ilmuwan pendukungnya terus mengembangkan teori intellegent design ini. Behe, Meyers, Dembski dan lainnya terus mencari fakta baru akan kebenaran teori ini. Semoga saja dengan adanya teori baru ini, semakin memperkaya dan mempermudah kita dalam mencari kebenaran ilmiah.

Di akhir tulisan ini, penulis ingin menyampaikan bahwa tulisan ini hanya sekedar ulasan singkat saja. Hanya berupa pemahaman penulis terhadap beberapa literatur dan tontonan yang membahas tentang teori intelligent design. Mungkin ada beberapa pemahaman yang kurang pas dalam tulisan ini. Oleh sebab itu, penulis mohon maaf bila memang ada.

Yang jelas, tulisan ini diangkat agar pembaca tahu bahwa dunia sains tidak hanya milik satu golongan pemahaman saja,—yaitu Darwinisme Atheistik—tetapi juga milik semua golongan pemahaman yang sama-sama mencari jawaban atas rahasia kehidupan. Mana yang benar? Itu kembali kepada pemaknaan anda.[]

Sumber :
Intelligent Design, Encyclopaedia Britannica, 2014
Intelligent Design, Wikipedia
– Harun Yahya.com
Creationism.com
Intelligent Design Theory, You Tube
Irreducible complexity, You Tube
False Proof Of Evolution, You Tube
Atlas of Creation, Adnan Octar, 2014
The Collapse of Intelligent Design-Kenneth R. Miller Lecture, YouTube
– dll.

Sumber foto: tumblr.com

KOMENTAR

Kontributor tetap buruan.co. Senang mengamati isu-isu sains. Tinggal di Cimahi.

You don't have permission to register