Fb. In. Tw.

Bandung dalam Kacamata Remy Sylado (2)

Catatan Mudris Amin

 

Bandung Sebagai Kontradiksi
Tapi dalam kenyataanya Remy tidak demikian. Ia memahami Bandung dalam setiap jengkal kontradiktif di dalamnya. Hal ini bisa kita lihat dalam Perempuan Bernama Arjuna 2, di situ Remy menulis:

“Oh, ya, omong-omong, saya lihat banyak orang Bandung yang tampaknya sangat gandrung bernostalgia ke zaman kolonial Belanda yang kareseh-peseh itu. Dan, karena semangatnya hanya melulu nostalgia ke masa lalu itu, serta kurang periksanya pada peta sejarah, bahwa di zaman itu orang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa terpelajar, maka ironisnya orang sekarang ini, yang merasa diri berpendidikan tapi tidak mengerti bahasa Belanda, seenaknya menulis kata bahasa Belanda untuk sebuah nama mal di Jalan Sukajadi secara keliru.

Tadi siang kami jalan-jaan di mal yang salah tulis itu, yaitu “Paris van Java”. Nah, itu ngawurnya, maunya berkareseh-peseh tapi malu bertanya sesat di jalan. Sebab, harusnya kalau memakai kata van maka bahasa Belanda untuk Paris adalah Parijs. Jadi ejaannya yang betul adalah Parijs van Java, dilafalkan sebagai ‘pareis fan iafa’. Ini julukan yang direka oleh orang Belanda pada zaman kolonial dalam mempromosikan kota ini sebagai tujuan wisata: yaitu wisata kuliner lantas wisata seks.”

Dengan paparan seperti itu, Remy ada di di balik keindahan yang disaksikan para pelancong. Baginya julukan Parijs van Java yang nampak membanggakan itu ternyata mengandung persoalan etik bagi Bandung sendiri. Sebagaimana disampaikan di atas, bayangan keindahan itu merupakan bagian pencitraan turisme kolonial yang tidak sepenuhnya pas diterapkan kembali.

Tapi di sisi lain, Remy yang ada di balik keindahan itu, mungkin tak bisa menampik adanya fakta:

“Sampai sekarang ini toh ditengah-tengah pusat kota Bandung tetap berdiri kompleks pelacuran bernama resmi Saritem, konon kependekan dari bahasa Jawa yang sudah populer sejak zaman Bung Karno kuliah di ITB, yaitu ‘sari tempik’, dan oleh para preman zaman kiwari dijuluki sebagai ‘bursa heunceut’, atau lebih jenaka lagi disebut oleh penganut life style sebagai ‘purenva’, singkatan dari “pusat rental vagina”. Itu memang penamaan yang betul.Sebab sesungguhnya pelacur bukan ‘menjual diri’ tapi ‘menyewakan tubuh’.

“Tapi, dalam bahasa Bandungnya perempuan-perempuan profesional itu disebut ungkluk  atau ublag.”

Pandangan semacam ini hanya bisa dilakukan oleh orang yang terlibat langsung dalam dinamika sebuah kota. Ia memahami akan sebuah kontradiksi-kontradisksi di dalamnya. Dengan demikian ia menjadi pengamat yang lebih obyektif dalam melihat kota itu sendiri:

“Kasihan, para moralis yang biasanya adalah juga para munafik – yang menjadi munafik karena jaim oleh jabatan publiknya – menyebut pelacur-pelacur itu ‘sampah masyarakat’. Itu kelewatan. Padahal siapapun yang pernah kuliah di Bandung, tentu diam-diam memandang pelacur-pelacur itu sebagai penolong sejati yang paling bermanfaat di saat pikiran dan perasaan mendadak sumpeg oleh birahi yang menggila dan membuyarkan konsentrasi belajar. Maka, atas dasar ingatan itu, apa salahnya menyebut para pelacur sebagai ‘pahlawan tanpa tanda jasa’? Ya, pahlawan syahwat.Mereka selalu siap sedia dalam semua waktu membuka celana buat ente.

“…di Bandung sini, istilah itu disebut ‘ngewe’. Di Surabaya disebut ‘ngencuk’. Di Makassar disebut ‘gandrang’. Di Manado disebut ‘cuki’. Di Jakarta disebut ‘ngentot’.”

Pengamatan yang obyektif sebagai sosok yang berdinamika di balik kemolekan Bandung juga nampak dalam buku Kamus Isme-isme. Di buku itu Remy menulis:

“… Seperti kata orang, jangan harap ada nama jalan di Bandung –sebagai ibukota provinsi orang Sunda, yang terkait dengan cerita sejarah di balik Amukti Palapa, sumpah Gajah Mada untuk antaralain menaklukkan Sunda – yang dengannya bernama Jl. Gajah Mada, Jl. Hayam Wuruk, Jl. Majapahit

“Anehnya, di Bandung sampai hari ini banyak nama jalan yang memakai nama orang Belanda, bangsa yang menjajah Indonesia sampai 1949”

Masih di buku yang sama, Remy melihat perilaku unik dari warga kotanya. Bagian dari kemolekan yang mengandung pelbagai persoalan. Remy yang tinggal di bandung sejak akhir 1960an tahu persis dinamika sosial di kota ini. Dalam buku itu, Remy mencatat:

“Bondonisme, perilaku gadis-gadis muda meniru bondon. Kata ‘bondon’ lahir di Bandung pada 1980-an untuk menyebut pelacur-pelacur amatir, artinya gadis sekolah antara pelajar SMA dan mahasiswa PT, yang melakukan fornikasi atau hubungan seks bebas tanpa mengharapkan uang jasa mesum seperti lumrahnya lonte-lonte profesional. Sebelum lahir kata ‘bondon’ pada 1970-an penjaja seks amatir ini disebut ‘gongli’. Para gongli saat itu mejeng di Jl. Tamblong, dan bondon sekarang sekali-dua tempo mejeng di Jl. Dago, mencegat mobil yang macet pada malam Minggu lantas menyingkap sedikit blusnya dan menunjukkan puting payudaranya. Tindakan ini dijadikan syarat investasi untuk melaksanakan maksiat.”

Masih di buku yang sama Remy mencatat sejumlah persoalan warga kota yang mungkin kini hanya ada di dalam obrolan warung:

“Glamgolisme, perilaku premanisme khas Bandung yang pada 1970-an berkeliaran pada malam hari sekitar alun-alun. Kata glamgoli oleh anggotanya merupakan singkatan dari ‘gelandangan malam golok liar’. Di luar dari aksi kejahatan amatiran yang mereka lakukan, mereka juga dikenal sebagai pendukung pertama musik melayu yang kemudian bernama ‘dangdut’.”

Catatan Remy atas kata di atas sama saja dengan membuka kembali ingatan orang atas dinamika kota. Fenomena glamgoli di era 1970an membuat orang akan mengasosiasikan dengan fenomena terakhir tentang geng motor Brigez di Bandung. Keduanya mungkin setipikal hanya nama dan waktu yang berbeda. Dengan demikian Remy tidak sekadar pelancong, ia juga pencatat aktif dinamika Bandung meski dirinya bukan orang “asli” Kota Kembang…. bersambung ke sini

Sumber foto: catatanmerahhitam.wordpress.com

KOMENTAR
Post tags:

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

You don't have permission to register