Fb. In. Tw.

Bubur

Catatan Selaksa Biru

 

Bubur Mang Jeki. (Foto: Yopi Setia Umbara)

Bubur Mang Jeki. (Foto: Yopi Setia Umbara)


Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku …
menghadapi kemerdekaan tanpa cinta
kau tak akan mengerti segala lukaku
kerna cinta telah sembunyikan pisaunya.
Membayangkan wajahmu adalah siksa.
Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan.
Engkau telah menjadi racun bagi darahku.
Apabila aku dalam kangen dan sepi
itulah berarti
aku tungku tanpa api.
(Kangen, WS Rendra)

Agar tahu bahwa hidup ini tidak sekadar tawa ada baiknya sekali waktu kita menangis. Ada waktunya pula kita perlu tertawa agar kita tahu betapa mahalnya nilai air mata. Bahagia dan sedih datang bergantian. Betapa gigihnya kita mempertahankan. Agar mata kita terus bertatapan hingga beradab lamanya. Kehidupan yang penuh warna pernah kita bayangkan. Meski pada akhirnya kehidupan dengan warna menakjubkan itu. Tak mampu kita pertahankan.

Ingatan yang mempertautkan kita kembali.

Seperti malam-malam panjang yang dilalui Ujianto Sadewa. Menggunting, mengelem, dan menata setiap lembar. Lalu menjadikannya RajaKadal. Jurnalzine sederhana penuh kenangan. Uji demikian kuatnya ingatan pada RajaKadal. Di setiap lembarannya ada semangat. Ketekunan dan kesungguhan. Bergelora.

Saya percaya, Ujianto tidak tahu makna kelahiran dan kematian dalam siklus waktu. Ia hanya ingin mengabadikan masa lalu, masa kini, dan masa depan. Yang, belum tentu ia tahu akan bermuara ke mana. Meski pada akhirnya zine RajaKadal tak mampu juga hidup lebih lama.

Rahmawinasa adalah nama lain. Ia penyair berbakat. Juga prosais berhasil. Ia menulis puisi panjang yang tergolong prosa liris. Ia juga menulis prosa dengan puitis. Namun, lagi, tak lama jejaknya berada. Layu sebelum berkembang. Sibuk.

Tapi kini kuncup baru yang mekar makin banyak. Bahkan berhasil, saya kira. Semoga mereka sampai dan percaya pada pesan Pablo Neruda menjelang kematiannya, “Aku selalu mengerjakan hal yang sama. Aku tak pernah akan berenti melakukan hal itu, menulis puisi. Menulis bagiku seperti pekerjaan tukang sepatu, yang tidak makin baik atau makin buruk.” 

Mengapa membicarakan Ujianto dan Rahmawinasa? Ya, karena ingatan. Tentang kangen.

Di sebuah perkampungan, dengan bayangan Tangkuban Parahu di utara; jauh dari tepian laut, tentu. Saya hampir menabrak tubuh lelaki itu. Ia sedang berdiri dekat gerobak tukang bubur. Kapan peristiwa itu terjadi, biarlah kenangan yang merawat rahasianya.

Ya, saya teringat tukang bubur itu. Saya kangen. Jika pagi tiba saya akan berjalan ke timur. Berjalan ke dekat pagar pembatas kampus dengan kampung. Berjalan di antara petak-petak rumah. Ya, rumah para pedagang yang biasa berjualan di sekitar kampus UPI.

Di petak paling ujung deret kedua. Mang Jeki berjualan bubur. Bubur ayam. Seribu rupiah harganya. Ini tentang bubur ayam langganan anak-anak Pentagon, kabarnya. Bubur ayam murah meriah. Meski murah rasanya enak. Lokasinya agak tersembunyi. Di belakang kolam renang UPI.

Mang Jeki tidak berjualan di dalam kampus lagi sejak kejadian itu. Tidak seperti Mang Duyeh, Kang Abdul, Kang Wahab yang berjualan di dalam. Mereka berjualan di dalam karena dagangannya bisa dengan mudah melewati besi pembatas itu. Besi sebesar betis yang ditanam di pintu kecil. Dagangan mereka dipikul. Siomay atau bakso tahu, cuanki, dan gorengan jualan mereka. Mereka berdagang kucing-kucingan dengan pihak keamanan.

Adalah Iid Abdul Muiz dan Muhammad Ankawijaya juga teman-teman UKSK yang berulang kali mendampingi mereka. Tujuannya agar mereka bisa berjualan di dalam kampus tanpa ketakutan dagangannya dirampas pihak keamanan.

Mang Jeki berjualan bubur. Di samping petak huniannya adalah hunian Kang Abdul. Di tempat Kang Abdul ini pertemuan-pertemuan para pedagang sering digelar. Malam hari lebih sering. Siang tentu mereka berjualan.

Hingga kini Mang Jeki masih berjualan. Harga bubur ayam Mang Jeki kini tidak seribu lagi. Bubur biasa demikian pembeli menyebutnya kini tiga ribu lima ratus hingga lima ribu rupiah. Jika ditambah ati ampela dan kulit perlu tambah tiga ribu. Selain mahasiswa dan warga sekitar, pelanggan bubur Mang Jeki juga pihak keamanan kampus.

Iwan petugas keamanan gedung FPBS adalah pelanggan tetap Mang Jeki. Iwan akan bergegas menuju pintu kecil di belakang kolam renang segera setelah matahari terbit. Setelah ritual baris berbaris selesai. Iwan suka makan bubur Mang Jeki. Meski dalam tugas para pendahulu Iwan pernah menumpahkan bubur Mang Jeki di suatu demonstrasi. Sejak kejadian itu Mang Jeki tak lagi berjualan di dalam kampus.

Ya, saya teringat bubur ayam seribu. Juga Ujianto, Rahmawinasa, dan lelaki itu. Seperti kata Rendra, “Tanpa sekejap pun luput kenangan padamu.[]
Bandung, 27 Oktober 2014

Sumber foto: Yopi Setia Umbara

KOMENTAR
Post tags:

Media untuk Berbagi Kajian dan Apresiasi.

Comments
  • anti tren

    mm..bubur ya? sepertinya bakal ada tulisan lanjutan tentang kedai mi rebus cucun di seberang terminal Ledeng

    28 Oktober 2014

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register