‘Lutut’ Indonesia dan Thailand Ternyata Berbeda
Dua minggu ke belakang, saya disadarkan oleh mahasiswa saya yang asli Thailand, bahwa lututnya dengan lutut saya berbeda. Kesadaran itu datang ketika saya mengulas satu presentasi mereka tentang bagian tubuh.
Satu minggu sebelumnya, saya tugaskan beberapa kelompok untuk mencari dan mempresentasikan beberapa istilah untuk anggota keluarga, bagian tubuh, pekerjaan, peralatan menulis, peralatan dapur, dan peralatan pertukangan dalam bahasa Indonesia.
Untuk membantu dan mempermudah pekerjaan mereka, saya sarankan agar mereka mengunduh kamus Inggris-Indonesia, karena sepertinya kamus Thailand-Indonesia belum ada di playstore. Atau mereka bisa bertanya ke “Mbah” mereka, Mbah Google.
Pada hari besar itu, hari presentasi, setiap kelompok saya anggap membawakan presentasi mereka dengan lancar dan sukses. Lancar artinya setiap kelompok tidak ada yang mogok presentasi dan sukses artinya mereka mendapat pengetahuan dan kosa kata baru dalam bahasa Indonesia. Namun ada satu yang mengganjal.
Ganjalan tersebut saya temui ketika mengulas bagian tubuh. Seperti biasa, satu persatu saya sebutkan istilah atau sebutan untuk setiap bagian tubuh dari kepala sampai kaki, dan mereka mengulangi setiap tuturan saya.
Dari kepala, mata, hidung, tangan, sampai perut dengan baik mereka tuturkan. Tetapi ketika saya mengucapkan ‘lutut’ sambil menunjuk dengkul saya tentunya, mereka diam dan sebagian ada yang tersenyum. Lalu saya ulangi dan kali ini mereka tertawa. Saya bingung.
Kemudian saya bertanya, apakah ada yang salah dengan penuturan saya? Mereka jawab tidak ada. Saya bertanya kembali alasan mereka tertawa. Lalu seorang mahasiswa menjelaskan bahwa kata lututlah yang telah membuat mereka tertawa.
Lalu saya bertanya, “Apakah kata tersebut memiliki makna dalam bahasa Thailand?” Mereka kompak menjawab, “Iya.”
Saya bertanya lagi, “Apakah pengucapan kata tersebut sama dengan pengucapan dalam lafal Indonesia?” Kembali mereka menjawab, “Iya.”
Dan, pertanyaan terakhir meluncur, “Apakah kata tersebut memiliki pengertian yang sama seperti dalam bahasa Indonesia?” Lebih kompak mereka menjawab, “Tidak!” Diikuti tawa mereka.
Pada hari berikutnya, di kelas yang berbeda, reaksi yang saya dapat ketika saya mengucap kata itu adalah tawa mahasiswa. Lalu saya ceritakan hal tersebut kepada Kim, mahasiswa senior yang pada hari pertama saya datang ke Chiang Rai menjemput saya di bandara, dan dia terpingkal-pingkal mendengar cerita saya.
Dia pun menjelaskan, bahwa kata tersebut tidak pantas dan kurang sopan disampaikan dalam situasi formal. Kata itu biasanya diucapkan di antara teman dekat dan dalam situasi tidak formal. Tahulah saya akhirnya alasan mereka tertawa.
Jika di dalam bahasa Indonesia kita menyebut ‘lutut’ untuk merujuk pada bagian tubuh yang menjalankan fungsi sebagai engsel antara kaki bawah dengan kaki atas. Maka ‘lutut’ dalam bahasa Thailand adalah bagian tubuh yang menjalankan fungsinya sebagai—maaf—saluran pembuangan kotoran.
Kepada Kim, saya pun berkilah bahwa saya benar-benar bersyukur akhirnya menemukan satu kata dalam bahasa Indonesia dan Thailand yang pengucapannya sama, benar-benar sama, dan masih bagian dari tubuh. Meskipun letak serta pengertiannya tidak sama. Ucapan saya kembali disambar tawanya dan saya pura-pura serius saja.
Dalam tawanya, saya tiba-tiba ingat akan kesewenangan hubungan antara penanda dan petanda. Ya, kita bisa mengucapkan kata yang sama, tapi kita (mungkin) bisa berselisih karena kata tersebut. Hal itu bisa saja terjadi ketika kita tidak sama dalam memahami kata yang pengucapannya sama.[]
Sumber foto: Yussak Anugrah
Sorry, the comment form is closed at this time.
LilyMadjid
Sip Om Yussak. Saya jadi tahu kalau lutut kita dan lutut mereka berbeda ^_^