Marina Jaber dan Sepeda
Dari Baghdad, Irak, seorang seniman perempuan bernama Marina Jaber pamer bersepeda di tempat umum. Sejumlah wilayah di Baghdad dijelajahi. Marina tidak sedang plesir di atas sepeda, ia tengah mengayuh untuk perjuangan kesetaraan perempuan. Meski pernah dipelototi dengan sinis oleh lelaki tua yang sengaja ia uberi dengan sepeda, Marina setidaknya membuat orang-orang di jalan mulai terbiasa melihat perempuan naik sepeda (Kompas, 11 Februari 2017).
Sejak ISIS bercokol sekitar 2003 di Irak, perempuan yang berada di tempat umum dengan gerak merdeka memang dianggap salah. Perempuan di atas sepeda dipandang memicu dosa. Mereka yang harus dituntut untuk tidak terlihat ‘hanya’ karena sebagian laki-laki tidak pernah belajar mengenali diri dan nafsunya. Pun secara eksplisit, membatasi tindakan fisik perempuan juga berarti mengendalikan-mengatur pikiran perempuan. Maka di senjakala keberadaan ISIS, Marina mewakili perempuan untuk menjemput kebebasan dari hal yang (seharusnya) biasa.
Pada abad ke-21, perempuan-perempuan di negara-negara Timur Tengah masih belum menikmati mengayuh sepeda seolah mengendarai angin. Sepeda dinaiki untuk mengabarkan bahwa tubuh keperempuanan mereka yang sering jadi sasaran pelurusan moral dan agama, mengharap hidup ekspresif. Perempuan memiliki hak berperistiwa sebagai bagian dari masyarakat global.
Keanehan perempuan naik sepeda juga melanda negeri-negeri Asia Timur pada awal abad ke-20. Sepeda memiliki kadar keasingan yang setara dengan pendidikan modern, agama baru bawaan para misionaris Barat, dan bahasa asing. Tubuh serta pakaian perempuan-perempuan sejak awal memang dikontruksi agar merasa tidak nyaman di atas sepeda. Perempuan naik sepeda dianggap tidak pantas, banyak polah, dan hilang keanggunan. Tindakan naik sepeda bisa mengurangi citra sebagai perempuan terhormat, termasuk mengurangi kepantasan sebagai menantu beradab bagi keluarga.
Dalam novel Dua Belas Pasang Mata (2013) garapan Sakae Tsuboi, ada kisah kehebohan Hisako Oishi, guru perempuan yang mengajar di desa petani dan nelayan nan terpencil di Jepang. Bertanda tahun 1928, sepeda Bu Oishi membelah jalanan desa dan membuat penduduk terkaget sinis sekaligus kagum. Anak-anak yang hendak mengerjai guru baru itu terpukau dalam kekalahan kecepatan, “… mereka semua merasa ciut, seperti dilemparkan tanpa persiapan ke tengah pertandingan judo.”
Si pemilik toko mengudarakan kecemasannya, “Dunia benar-benar sudah berubah. Guru perempuan naik sepeda! Bisa-bisa dia dianggap kelewat modern.” Sepeda dan kemeja putih serta setelan jas Bu Oishi jadi penambah kualifikasi peran sebagai guru yang sempat menerbitkan ketakutan bagi kepala sekolah. Sepeda Bu Oishi terlalu intelek untuk menjajaki keterpencilan desa.
Penemuan
Dunia modern sepertinya memang harus berterima kasih kepada masyarakat purba yang sering dikatai primitif. Roller atau gulingan kayu mengawali penciptaan terluhur dalam sejarah: roda (Egon Larsen, 1981). Roller yang bertransformasi menjadi bundar dan ceper karena gesekan, berputar mengubah cara berpindah. Dari sekadar niatan memudahkan mobilitas, penemuan sampai pada penciptaan peristiwa kolosal masyarakat. Ada simbok-simbok beronjongan bersepeda ke pasar, anak-anak sekolah berjemaah naik sepeda, dan para buruh ngontel menuju pabrik. Terkadang, ingatan atas guru atau pemuka agama di kampung justru tercipta karena mereka mengayuh sepeda.
Dalam biografi anak, sepeda sering menjadi hadiah paling bermakna dari orangtua. Sekalipun sepeda hanya lungsuran atau bekas, ia berhasil menjadi teman paling penting dalam pertumbuhan diri. Di atas sepeda, anak belajar merasakan sakitnya jatuh dan upaya tetap bangun—menghindari jalan berlubang dan menghadapi rintangan. Penguasaan medan membutuhkan kontrol fisik dan mental. Demi bisa memiliki sepeda, seorang anak sangat rela menjadi sosok paling berbakti sekaligus sangat rajin menabung. Impian memiliki sepeda nyaris menjadi keinginan kolektif anak Indonesia. Belajar naik sepeda juga menjadi bagian dari asah-asih keluarga.
Buku bacaan lawas untuk Sekolah Rendah berjudul Titian (1950) garapan R.M. Djamain dan ilustrasi dari Sajuti Karim sempat merekam cerita “Beladjar Naik Sepeda”. Ali yang biasa duduk dibonceng ayah naik sepeda, ingin merasai naik sepeda sendiri. Diceritakan, “Ali tak berhenti-henti beladjar. Lama-lama pandai djuga ia sedikit. Ajah tetap mengikutinja. Ia harus berlari. Tapi makin lama makin tjepat.” Pengalaman naik sepeda bocah tidak selalu berakhir bahagia, mereka juga harus belajar merasa jatuh dan mengalami terserempet oto atau mobil di jalan. Belajar naik sekaligus bangkit dari kejatuhan hadir sepaket.
Titian menyumbang perbaikan persepsi bahwa penduduk Hindia Belanda tidak selalu menjadi warga sampingan alias babu seperti terekam dalam bacaan-bacaan anak masa kolonial. Buku bacaan bercerita keseharian bocah dan keluarga Indonesia sebagai tokoh utama. Meski, sulit disangkal bahwa dalam bacaan lawas selalu bocah laki-laki berhak naik sepeda—sedangkan anak perempuan lebih sering digambarkan bermain boneka atau masak-masakan di kebun.
Sukarno kecil pun menabung demi sepeda Fongers hitam keluaran Belanda. Sukarno mengatakan dengan dramatis, “Aku merawatnja bagai seorang ibu,” (Cindy Adams, 1966). Fongers menjadi impian sekaligus pengobat luka diskriminatif masa kolonial. Namun, kejadian buruk menimpa sepeda Sukarno. Harsono, anak Tjokroaminoto, diam-diam menaiki sepeda dan menabrak pohon. Remuk sudah! Sukarno menabung lagi dan membeli sepeda yang justru diperuntukkan bagi Harsono. Sepeda telah membentuk pribadi Sukarno yang penyayang dalam masa-masa remaja yang sering dilanda kemiskinan dan serangan rasis.
Saat ini, nyaris tidak lagi ada konflik kultural, termasuk bagi perempuan, berekspresi dengan sepeda. Hampir aktivitas dunia modern menyambut gempita sepeda sebagai cara melambat di tengah kecepatan sepeda motor, mobil, kereta, atau pesawat. Bukan karena sepeda lumrah menjadi moda transportasi harian, justru sepeda sukses memasuki gaya hidup urban. Sepeda keluar dari persepsi moda transportasi keseharian. Eksistensinya dibingkai ketertarikan publik pada hobi, hiburan, ataupun plesiran.
Wisata sepeda, olahraga sepeda, sampai kelahiran komunitas pecinta sepeda membentuk kebaruan identitas bersepeda bagi umat manusia mutakhir. Orang-orang yang biasanya bermobil menuju kantor atau sekolah, pada suatu Sabtu atau Minggu pagi bergaya dengan sepedanya di depan warung soto. Mau bersepeda ke mana hari ini, Bun?