Puisi-Puisi Fajar M. Fitrah
Pangkur
seja nyaba ngalalana
ngitung lembur, kutan lian kamari
bergolak ungkapan itu di teras ingatanku
seusai senja dikekalkan anyir bensin
jerit mesin dan doa kutilang tanpa sarang
matahari mewariskan wanita poni kuning
dan pom yang miskin
di jalur perbatasan
kota yang haus, bukit-bukit hangus
aku dan secarik peta serupa kelana buta
menjinjing lentera. nyatanya sia-sia
memacu motor, nomor-nomor, alamat
nyatanya, rindu yang sesat
di sini, dusun tak lagi
rimbun angsana mengundang botram
di atas daun pisang, karedok dan asin sepat
gatrik dan petak umpat, tinggal isap geladak
rimbun angsana, mengapa seperti buyutku
subuh lalu, terbang tak menyisakan tanah
dan memo ziarah
seusai senja, di antara tuter menggeram
dan wanita berambut ketapang
tinggal pucuk bukit, runcing, hitam
tempat masa silam dikuburkan
henteu panggih nu dijugjug
balik teu puguh rasa
ada sebuah pondok di pojok
malam, lampion-lampion perjamuan
susunan bambu dan menu yang tabu
seperti kue putu, tak manis, tak hijau
lengket dan amis ikan. seperti juga
ulen namun digulung, lezat presisi
tersaji bersama saus, petik kecapi
dan logat yang dipermak
dalam batik abu-abu remaja bercakap
dalam safari kelabu orangtua melahap
mengulum riang, menelan ringan
seakan lupa lidah dan tanah
seakan lupa, di antara hangat bambu
dan jamuan itu, ada tangis gubuk
lalungse lengkah, hariwang kanu rusuh
di jalur perbatasan
di ingatan bergolak
begini getir kuungkap
tunggul malam, garis rayon
tunggal ladang, giris balong
seperti pohon ceroboh
pohon yang terjulur
ke jalan, runcing ranting
mengukir dendam pengendara
atau akar di lalu lintas pasar
kerap tergilas gerobak, memanggil
opsir dan keluh warga, menudingnya
simalakama. seketika riuh karang taruna
nyali yang kemiri, sekop dan gergaji
memusnahkannya, lumrah melupakannya
oh kenangan malam rayon
bibir ladang, bibir balong
seperti juga batang ki hujan
kurus dan sepi di jalur perbatasan
menanti pemilu sebelum tumbang
geus teu guyub panenjoan
hate miang mana deui
sayup-sayup murotal di masjid alit
memanggil kenang seusai alif
seusai Sapu Jagat dilantun kanak
kerikil-kerikil, beradu
tapal kuda, gema yang syahdu
kerikil-kerikil, bertemu
sado cengkir, segmen yang gigil
ketika mengeras aroma bakung
di ujung bunyi lonceng dan gaun eneng
semoga senantiasa angin dusun
mengelus doa yang murung
semoga esok lebih elok seperti sujud
memar di hening marmar, setia
menjaga langkah yang patah
dan akalku yang goyah
seja nyaba ngalalana
ngitung lembur, kutan lian kamari
henteu panggih nu dijugjug
balik teu puguh rasa
lalungse lengkah, hariwang kanu rusuh
geus teu guyub panenjoan
hate miang mana deui
seusai bukit terbakar, kota dan majelis
nyatanya esok yang miris
pekan demi pekan memacu terus berjalan
dengan tubuh runcing, mata menguning
layaknya takdir pabrik, letih dan pahit
jerit motor, kodrat kantor, alamat
segudang draf, 360 menit
yang mencekik
tak ubahnya sebentuk paham
bahwa harapan, ilusi warisan
seusai bukit terbakar, rindu dan memoar
tinggal isya yang sasar
di jalur perbatasan, di dusun kenangan
sebuah masjid tanpa pengeras suara
samar-samar melantun murotal
dan aku kelana yang sakit
menyusun lagi alif
dari airmata
dan kerikil
2019
Sekar Ageung
/sinom/
namamu muslihat bunga
aroma kekar setanggi
ruap sesaji perawan
di lebuhan malam ini
terhirup sampai hati
ngilu, dan tak lagi mampu
kedua kakiku pilah
mana pantai menyeringai
dan mana kerut ombak yang mengancam
kau ibarat angin barat
7 purnama dinanti
sawah kritis, borok camar
ratapan rumah dan pantai
di lebuhan malam ini
aku dan pisau kemarau
berdoa engkau menyerah
dengan desahan gerimis
sebelum purnama yang mandul dan fana
/dangdanggula/
seekor elang masih menjerit
antara pasang dan mercu merah
komposisi luka eter
ketika perahuku
giris, menjala sirip mimpi
bentang sisa usia
layar kusut itu
betapa kau tak juga paham
keindahan nestapa seorang abdi
cinta akan bahaya
betapa kau tak kunjung mengerti
di tengah ejakulasi ombak
ada gelap yang menggeser
menghasut perahuku
gagal menjaring malam ini
pasrah pada lautan
nafsu ajal itu
lantas kekal kau memandang
cintaku, ganggang atau kelomang pantai
menolak gugur mumbang
/kinanti/
barangkali ada lagu
dan cahaya tak terperi
membiusmu ini malam
selayaknya siul suling
memainkan lidah kobra
dan kibas ekor merpati
barangkali guru lagu
yang kusunting hati-hati
jadi selezat mukjizat
sepanjang malam menanti
tubuhmulah rahasia
meliuk-liuk di pantai
/asmarandana/
apa yang padamkan api
selain sepi yang pasang
seperti seorang blonde
tanpa pemandu dan arak
biar kutukar ombak
dengan kapal-kapal bisu
atau sajen amis darah
apa yang kikis berahi
selain sunyi yang tajam
sebab kau sebatas kode
di antara mabuk bulan
dan setanggi mencekam
tak lagi jiwa untukmu
cuma lenguh kecemasan
2019
Asmaraloka
permainan cahaya di jarimu
di Pantai Matahari Terbit, hampar pasir
angin semilir, buih-buih yang renyah
saat sirip cakrawala menandai batas
buhul mengikat kita, rasa
dan pagi, di kemarau manis
seorang turis mengukir hanacaraka
dalam puisi, melambungkan nalar
sampai jauh, sampai jauh
seperti Katyanini di singa yang tertib
di mega-mega arif, meloloskan laut ungu
meloloskan candu
seperti juga ia dan sebuah puri
kekal tanpa jampi, hanya serpih lokan
dan keringat nelayan
buhul kita, vakansi putih
di Pantai Matahari Terbit
pohon dan cahaya sama rindangnya
puisi dan ombak sama kekalnya
ketika angin memainkan frekuensi
bir dingin dan cakap yang intim
selembut jejak feri di langit tropis
seringan gema pagi di kemarau manis
putih jemarimu, jisimku merapat
layaknya ombak, batas
rasa dan gelap
2019