Fb. In. Tw.

Secuil Ingatan dan Hal-hal Kecil di Belakangnya

Lama aku memandang ke semburan-semburan lidah api yang meleleh ke bawah itu. Elok, ya, indah. Banyak yang kejam keji tampak indah dari kejauhan.
(Burung-burung Manyar – Y.B. Mangunwijaya).

Setelah Senin sampai Jumat yang padat, maka akhir pekan yang santai memang tak ubahnya dunia dan seisinya. Sayangnya hal-hal yang tampak lumrah itu, tidak lantas menjadi mudah untuk terjadi. 

Seperti kala itu, hari Minggu pukul sepuluh. Seharusnya memang akan menyenangkan, jika aku lantas acuh pada dering telepon yang terus berdengking, dan lanjut melahap mie goreng instan di antara bunyi gerimis yang liris.

Sialnya bunyi telepon itu ternyata lebih keras kepala dari dugaanku. Terus saja ia berdering menggerogoti lubang telingaku. Dan, pada lengkingnya yang kesekian akhirnya aku tak lagi tahan: kuletakkan mangkuk mie, lalu berjalan menuju gawai yang layarnya masih berkedip-kedip. 

Sungguh aku masih ingin merasa ini adalah sebuah akhir pekan yang indah, sayangnya nama yang tertera di riwayat panggilan mau tak mau membuatku berpikir akhir pekan akan segera berakhir dalam hitungan beberapa menit ke depan. Ibu, begitu nama yang tertera dalam layar.

Ibu tahu belaka bahwa aku sedang tidak baik serta tidak sedang ingin diganggu pada bulan-bulan belakangan. Namun, jika perempuan usia enam puluh lima tahun itu sampai meneleponku berkali-kali, tentu ia bukan sekadar ingin mengabarkan bahwa ini adalah hari Minggu dan esok adalah hari Senin, bukan? Lagipula, sungguh nyaliku hanya selebar daun kelor untuk lantas mengabaikan ibu dan tak meneleponnya balik. 

“Halo…,” suara ibu memecah nada panggil. Serak, lemah, dan bergetar—persis pohon belimbing wuluh di halaman belakang rumah kami yang bunganya lebih sering rontok ketimbang jadi buah yang montok. 

Jelas ini tidak baik, dan aku, meski juga sedang tidak baik tetap harus tampak baik dengan alasan apa pun, demi agar perempuan yang melahirkanku itu dapat meruahkan persoalan yang meresahkan hatinya.

Pada saat-saat seperti itu, biasanya kakak perempuanku berperan sebagai pemain utama. Bagaimanapun ia punya telinga serupa sponge yang mampu menyerap ratusan keluh kesah kami sampai tandas. Tak heran kami kerap mengandalkannya kala kami sedang dikerubuti masalah. Kabar buruknya kali itu justru dialah alasan yang mengubah ibu menjadi mirip belimbing wuluh dan akhirnya tak henti menekan nomer teleponku.  

***

Tiga puluh menit sudah keluh kesah itu berlangsung. Aku mulai merasa terjebak dalam mimpi buruk yang panjang. Gaya bercerita ibu yang selayak kuda balap, jelas membuatku tergagap kala menerima tumpahan kisah yang lebih mirip air bah itu. Sayangnya ibu tak tanggap. Terus saja perempuan berambut kelabu itu bercerita seolah ini adalah sandiwara tanpa episode akhir.

Akhirnya, pada ratapannya yang kesekian, aku yang mulai blingsatan, menukas ucapannya dengan memberinya saran sepedas merica, “Sementara ini diam dan tak usah lakukan apa-apa dulu!” ucapku tegas, yang aku yakin, seandainya ibu melihat langsung, ia akan tahu betapa seriusnya wajahku saat kata-kata itu keluar.

Mendadak senyap. Hanya hela napas ibu yang kentara tak rela dengan saran yang kuberikan. Apa mau dikata. Selain, sungguh aku tak piawai menjadi bijaksana, bagaimanapun, seringkali pada sikap diam kita justru mampu menjangkau banyak hal dibanding kala kita melakukannya dalam keadaan tergesa, bukan? Setidaknya begitu yang aku maknai dari kata-kata si kartun Winnie The Pooh, “Doing nothing often leads to the very best of something.”

Sudah barang tentu aku mengenal ibu, dan yakin betul, saran-saran semacam itu tak akan membuatnya lekas puas. Sedang ibu, sepertinya juga tak (mau) tahu kalau daun telingaku mulai panas akibat ditempeli ponsel lebih dari setengah jam. Selain itu, mie goreng instan yang aku bayangkan sangat  nikmat itu, kini tampak gemuk dan tak lagi menarik, bahkan sekadar untuk diendus aromanya. Ah menyebalkan!

Namun pada makanan yang tak lagi menggugah selera itu, justru menyadarkan bahwa aku sedang berbincang dengan seorang penggemar mie goreng kelas berat. Tanyakan saja mie goreng mana yang enak di kota kecil tempat kami tinggal mulai dari zaman mudanya sampai sekarang, dijamin ibu akan menjawab tangkas. 

Maka, dengan dalih mencoba peruntungan, aku yang mulai kehilangan napas untuk memberi saran yang pas, akhirnya mencoba mencoba melempar tanya soal depot Mie Murni yang adalah depot mie langganan kami sekeluarga kala aku dan kedua kakakku masih bocah. Untungnya trik itu mustajab. Perlahan suara ibu mulai lunak, pun intonasi suaranya mulai landai, dan yang paling penting ia tak lagi membicarakan keluh kesahnya, bahkan mulai beralih mengisahkan soal bagaimana depot mie tersebut akhirnya tutup, lalu memilih pindah ke ibukota provinsi, sebelum akhirnya mereka gulung tikar usai rumah makan tersebut dilahap api.

 Tentu ini tidak sekadar menceritakan sejarah. Di dalam sepiring mie goreng, depot, dan segala ritual di dalamnya, terkandung lapisan masa lalu yang mencakup seluruh keluarga kecil kami. Masa di mana keruwetan bagiku hanya soal malas mengaji, tidak suka tidur siang, telat menggarap tugas sekolah, dan tak suka dengan menu pilihan ibu yang menurutku tidak keren dan tampak tua untuk dikonsumsi anak baru gede macam aku yang harusnya lebih cocok mengunyah burger atau kebab atau makanan waralaba apapun yang sedang hits kala itu. 

Saat ini masalah semacam itu jelas serupa debu di padang pasir—sepele belaka. Kejengkelan dan merasa tak keren sudah pasti repih digerus waktu. Sisanya hanya soal bahagia dan kehangatan semata.

Barangkali Romo Mangun benar, bahwa banyak yang kejam keji tampak indah dari kejauhan. Begitupun ingatan, seburuk apapun, ia akan tampak indah setelah terpaut jarak berpuluh tahun lamanya. 

Sebuah artikel yang tayang di New York Times pun makin menegaskan, bahwa nostalgia bukan melulu soal keriangan, namun, sekalipun kenangan itu soal yang menyedihkan, secara keseluruhan elemen positifnya masih selalu lebih dominan melebihi elemen negatifnya—setidaknya begitu menurut temuan para peneliti di Southampton University berdasar analisa metodis atas cerita yang terkumpul di laboratorium maupun majalah bernama Nostalgia. 

***

Menjelang satu jam pembicaraan telepon, tak sengaja ibu menangkap dengar celoteh cucu-cucunya yang mulai nggrenik minta digorengkan french fries dan nugget. Di luar dugaan, perempuan yang  langgam bicaranya mulai renyah dan meriah itu, berniat menyudahi pembicaraan panjang tersebut, tentu dengan menyepakati saranku soal tidak mengambil apa pun tindakan alias diam untuk sementara waktu.

“Bagaimanapun pada sesuatu bernama waktu, ada segala ketidakpastian yang bisa terjadi di dalamnya,” ucapku mencoba (sok) bijak demi menenangkannya.

Bunyi “tut” mengakhiri pembicaraan kami. Langkahku bergegas menuju kamar tempat anak-anak bermain. Dengan senyum mengembang aku katakan pada mereka, bahwa kali itu tidak ada kentang goreng dan nugget, makan saja nasi, sayur sop, dan perkedel kentang yang sudah matang sedari pagi.

Koor panjang menandakan mereka kecewa berat. Mungkin sama kesalnya kala aku menolak permintaan mereka untuk makan di gerai fast food dan malah membelokkan tujuan menuju kedai makan dengan menu tradisional macam tahu campur, rawon, dan rujak cingur.

“Nggak keren,” kata mereka. Diam-diam aku tersenyum kecut menyadari betapa tingkah mereka sebelas dua belas dengan tingkahku puluhan tahun lalu.

Namun, pada hal-hal yang mengecewakan itu, sedikit banyak aku menanam harap kelak mereka akan mengingat menu-menu pilihanku—alih-alih sebagai sesuatu yang menjengkelkan—barangkali sebagai sesuatu yang menghangatkan jiwa, dan lebih dari itu, siapa tahu mampu menyembuhkan luka-luka mereka, baik yang bersumber dari masa lalu, pun masa depan yang sedang mereka jalani.

KOMENTAR

Menulis esai dan cerpen, sesekali menjadi editor lepas dan berkontribusi pada beberapa laporan LSM yang terkait tentang kebencanaan. Kini tinggal di Jakarta Selatan.

You don't have permission to register