William Carlos Williams: Bunga Saxifraga
Buat James Laughlin
Pada sepertiga mula abad kita, perubahan terjadi dalam kesusastraan berbahasa Inggris. Perubahan ini—mirip dengan sesuatu yang berlangsung nyaris berbarengan di Amerika Latin dan sebagian Eropa—memengaruhi larik dan paragraf, sintaksis dan sensibilitas, imajinasi dan prosodi. Kerja ini dilakukan para penyair berbakat, dan kebanyakan di antara mereka berbangsa Amerika. Dalam kelompok penggerak tersebut, William Carlos Williams menempati kedudukan yang unik lagi pokok. Tidak seperti Pound dan Eliot, ia memilih untuk membenamkan dirinya di kota kecil di luar New York daripada mengemukakan dirinya ke Paris ataupun London. Tidak seperti Wallace Stevens dan E.E. Cummings yang juga menetap di Amerika Serikat, ia tidak memenuhi dirinya dengan elan kosmpolitan akan tetapi dengan menelusuri kemungkinan puitika Amerika. Hasilnya, sebagaimana ia jelaskan dalam esainya yang memukau; In the American Grain (1925), Amerika bukanlah realitas terberi melainkan sesuatu yang kita usahakan bersama dengan tangan, mata, akal, dan mulut kita. Realitas Amerika terbangun atas elemen material, mental, visual, dan yang terpenting, verbal: biarpun berbicara dalam bahasa Spanyol, Inggris, Portugal, ataupun Prancis, seorang Amerika menuturkan bahasa yang berbeda dari orang-orang Eropa asli. Lebih dari sekadar realitas yang kita temukan atau ciptakan, Amerika adalah realitas yang kita ucapkan.
William Carlos Williams lahir di Rutherford, New Jersey pada 1883. Ayahnya seorang Inggris, ibunya seorang Puerto Rico. Ia mempelajari ilmu medis di University of Pennsylvania. Di sana, ia mengenal Pound—sahabat sampai akhir hayatnya—serta H. D. (Hilda Doolittle), penyair yang mempesona kedua penyair muda itu. Setelah mendapatkan gelar sarjana serta menamatkan studi pediatrik dalam periode yang singkat di Leipzig, pada 1910 ia menetap di Rutherford. Dua tahun kemudian, ia menikahi Florence Herman: pernikahan yang langgeng semasa hidupnya. Sewaktu itu pula, ia menunaikan dua pekerjaan: dokter dan penyair. Meskipun tinggal di pelosok, ia tidak terasing, ia menyelami khazanah artistik dan intelektual abad kita, ia mengunjungi Eropa dalam beberapa kesempatan, ia pun menjalin persahabatan dengan penulis dari berbagai bangsa: Inggris, Prancis, dan Amerika Latin. Persahabatan serta perseteruan sastranya banyak lagi intens: Pound, Marianne Moore, Wallace Stevens, Eliot (yang ia kagumi dan benci), E.E. Cummings, dan lainnya yang lebih muda seperti James Laughlin dan Louis Zukofsky. Pengaruh serta persahabatannya sangat kentara pada Allen Ginsberg dan juga pada puisi karya Robert Creeley, Robert Duncan, dan penyair Inggris Charles Tomlison. (Puitika yang adil: penyair muda Inggris—yang sungguhlah Inggris—dipuji oleh seorang yang seumur hidupnya mempraktikan puitika anti-anglisisme serta tidak pernah lelah menyuarakan bahwa bahasa Amerika tidak sepenuhnya bahasa Inggris). Pada 1951, untuk kali pertama, ia menderita kelumpuhan. Ia bertahan selusin tahun dan mendedikasikan sisa umurnya untuk program kesusastraan yang langka peminat; buku-buku puisi, terjemahan Quevedo, memoar, pengajaran, dan pembacaan puisi ke setiap penjuru negeri. Ia meninggal pada 4 Maret 1963, di tempatnya menghabiskan seluruh hidupnya sejak lahir; Rutherford.
Kerjanya banyak lagi beragam: puisi, fiksi, esai, teater dan autobiografi. Puisinya terkumpul dalam empat jilid: Collected Earlier Poems (1906-1939), Collected Later Poems (1940-1946), Pictures from Breugheul (1950-1962), dan Paterson (1946-1958), satu puisi panjang dalam lima buku. Ada pula buku tipis prosa-puitik yang kadang kala mengingatkan seseorang akan gaya automatic writing a la Breton dan Soupault yang berkembang dalam kisaran waktu yang dekat: Kora in Hell (1920). Namun, dalam mengambil bentuk puitika yang diciptakan penyair Prancis itu, Williams mengubah dan mengonversi hal tersebut menjadi metode ekplorasi bahasa serta ketidaksadaran kolektif yang berlapis-lapis. Kora in Hell adalah buku yang hanya bisa ditulis penyair Amerika dan semestinya dibaca dalam perspektif buku yang terbit kemudian, pokok soal Amerikanisme Williams, ars poetica-nya: In The American Grain. Aku tidak akan mempertimbangkan novel, cerita, dan potongan teaternya. Bentuk-bentuk tersebut cukup tepat dikatakan sebagai kepanjangan tangan dan pancaran sinar puisinya. Batas antara puisi dan prosa selalu sulit digariskan dan penyair ini menggariskannya lebih tipis lagi: sajak bebasnya begitu dekat dengan prosa, bukan saat tertulis melainkan saat terucap, bahasa sehari-hari, dan prosanya selalu ritmis, seperti pantai diterpa ombak sajak—bukan larik melainkan ucapan yang bergulung-gulung membangkitkan larik.
Sejak kali pertama menulis, Williams menunjukkan ketidakpercayaannya akan ide/gagasan. Ini merupakan reaksi terhadap estetika simbolis yang dianut oleh banyak penyair pada masanya (ingat Lopez Velarde). Dalam kasusnya, pragmatisme Amerika ini dikombinasikan dengan pekerjaan medisnya. Dalam puisinya yang terkenal, ia mendefinisikan pencariannya; “To compose: not ideas but in things”. Akan tetapi, hal-ihwal itu senantiasa mengawang atau dengan kata lain; hal-ihwal itu sendiri tidak dapat disentuh. Karenanya, Williams tidak berangkat dari “hal-ihwal” akan tetapi dari sensasi. Namun, sensasi itu tidak berbentuk dan sekelebatan; seseorang tidak akan mendapat apapun juga daripada sensasi murni selain kekacauan. Sensasi memisahkan sekaligus merekatkan kita dengan hal-ihwal. Pintu yang membukakan jalan kita menuju “hal-ihwal” serta menyadarkan kita bahwa diri kita sendiri bukan “hal-ihwal”. Untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang objektif, sensasi itu mesti dijadikan “hal-ihwal”. Agen perubahannya adalah bahasa. Olehnya, sensasi dimungkinkan menjadi objek verbal. Puisi adalah objek verbal yang menggabungkan dua hal yang bertentangan satu sama lain: sensasi yang berdaya hidup dan perihal yang objektif.
Imajinasi, menurut Williams, adalah energi yang mengubah sensasi menjadi objek verbal. Secara esensial, itu sama dengan listrik, gas, atau uap. Dalam beberapa refleksi (termasuk atas puisi yang termuat dalam edisi mutakhir prosa yang salah tempat: Spring and All) yang ditulis pada 1923, Williams menyatakan bahwa imajinasi merupakan “daya kreatif yang membentuk objek.” Puisi tidak menyalin sensasi maupun “hal-ihwal”. Imajinasi tidak merepresentasikan tapi menciptakan. Hal itu mencipta puisi; objek yang sebelumnya tidak riil. Imajinasi puitik mencipta puisi, gambar, dan katedral sebagaimana alam mencipta pepohonan pinus, awan-gemawan, dan buaya. Williams memulas paradigma estetika lama; alih-alih menyalin alam, seni meniru proses kreatif alam. Tidak menyalin produk tapi cara produksinya. “Seni bukan cermin yang merefleksikan alam melainkan imajinasi yang mengatasi komposisi alam. Penyair menjelma alam dan bekerja sepertinya.” Menarik untuk melihat bahwa kritik sastra berbahasa Spanyol luput untuk menyoroti kemiripan ide tersebut dengan manifestasi dan pernyataan Vicente Huidobro. Betul! Ini soal gagasan yang muncul dalam banyak karya penyair dan seniman pada masa-masa tersebut (sebagai misal, pada Reverdy, yang memperkenalkan Huidobro kepada lanskap puisi-puisi modern). Meskipun begitu, kemiripan di antara seorang Amerika Utara dan Amerika Latin ini begitu impresif. Keduanya menginversi term yang nyaris sama dari estetika Aristotelian serta mengonvensinya ke era modern: imajinasi, seperti listrik, adalah sebentuk energi dan penyair adalah transmitornya.
Teori puitika Williams dan “Kreasionisme” Huidobro kembar dan bermusuhan. Huidobro melihat suatu hal yang setara dengan magis di dalam puisi. Ia mencipta puisi sebagaimana dukun primitif menciptakan hujan. Sementara itu, Williams memahami imajinasi puitik sebagai laku yang melengkapi serta menyandingi sains. Tidak ada seorang pun yang lebih jauh dari magis dibanding Williams. Dalam momen egoisme yang lucah, Huidobro mengatakan: “Penyair adalah Tuhan kecil”. Pengakuan ini sangat mungkin ditolak penyair Amerika Utara. Perbedaan lain: Huidobro berusaha menciptakan objek verbal yang tidak sama sekali mengimitasi objek nyata dan bahkan menegasikannya. Seni sebagai jalan keluar dari realitas. Judul salah satu bukunya mendefinisakan tujuan ini: Horizonte cuadrado (Horison Persegi). Usaha yang mustahil: seseorang hanya perlu membandingkan lukisan dari pelukis abstrak dengan gambar dari mikroskop dan teleskop untuk memberikan bukti yang kuat bahwa kita tidak akan pernah terlepas dari realitas. Seniman, menurut Williams (yang mengamini juga mengambil inspirasi dari karya Juan Gris), memisahkan hal-ihwal yang imajinatif dari hal-ihwal yang nyata; realitas kubisme bukan meja, cangkir, cangklong, maupun koran sebagaimana adanya melainkan sebagai realitas lain yang tidak kurang nyata. Realitas lain ini tidak menolak realitas hal-ihwal yang nyata; dalam waktu yang tepat, hal-ihwal yang lain adalah hal-ihwal yang sama. “Gunung dan laut dalam lukisan Juan Gris,” kata Williams, “bukan gunung dan laut tetapi lukisan gunung dan laut.” Hal-ihwal puisi bukan hal-ihwal tersebut: melainkan hal-ihwal lain yang menukar tanda kecakapan dengan hal-ihwal nyata.
Realisme non-imitatif Williams mendekatkan dirinya dengan dua penyair lain: Jorge Guillen dan Francis Ponge. (Lagi-lagi, aku menunjukkan kedekatan bukan keterpengaruhan). Larik Guillen mendefinisikan kebencian mereka akan simbol; “burung kecil berkicau, tak anggun polanya.” Apakah pola yang anggun menghilang? Tidak, dengan mengendap-endap, mereka memasuki puisi membelakangi penyair. Pola yang anggun tiada lagi pada burung yang nyata tapi ada dalam teks. Puisi soal hal ihwal tidak bisa dikaitkan dengan puisi-gagasan ala penyair simbolis. Kata adalah hal-ihwal yang bermakna. Kita tidak bisa menceraikan makna tanpa menceraikan tanda, yang terletak dalam bahasa itu sendiri. Lebih dari itu: kita akan membinasakan alam raya. Segala hal yang manusia sentuh mengandung makna. Manusia, dengan persepsinya, mengubah hal-ihwal sehingga bermakna. “Tidak bermakna” pun merupakan salah satu cara memaknai. Pada satu titik ekstrem, pemaknaan akan terasa konyol ketika makna mulai mempertanyakan dirinya sendiri yang esensial. Apa makna dari makna? Ambivalensi makna. Suatu celah di mana kita bisa keluar-masuk untuk menemui sekaligus meninggalkan hal-ihwal.
Makna senantiasa menggerogoti puisi; mempreteli realitas sebagai objek indrawi serta hal-ihwal unik bagi ide, definisi ataupun “pesan.” Untuk meruwat puisi dari makna yang rakus itu, penyair menempa aspek material mereka; bahasa. Dalam puisi, properti fisik atas tanda, suara, dan citra lebih penting daripada properti semantik. Atau sebaliknya: makna kembali menghamba kepada bunyi. Penyair mengerjakan nostalgia di mana petanda merasakan penanda. Ponge menempuh proses ini dengan bermain-main di antara prosa dan puisi, humor fantastis dan akal sehat. Hasilnya, wujud autentik: objeu. Semuanya sama saja, kita bisa mempermainkan makna, membuyarkannya ataupun meleburkannya. Meskipun begitu, kita tidak akan membinasakan makna, keseluruhannya ataupun perca-percanya yang hidup menggeliat. Seperti sisik naga, makna bergonta-ganti. Di satu sisi, Ponge sebagai moralis mendeskripsikan kreativitas sebagai kritisisme terhadap dunia. Di sisi lain, Ponge yang precieux, gampangnya, objek Gracian, mengubah daya kreatif menjadi proeme. Sementara itu, Guillen merayakan dunia dan hal-ihwal untuk menghasilkan sejarah, satir, elegi; dan lagi-lagi, makna. Berbeda dari kedua penyair tersebut, Williams menawarkan solusi lain untuk kondisi esensial bahasa—kata-kata sebagai hal-ihwal dan makna. Ia bukan seorang Eropa yang memanggul sejarah. Ia seseorang yang menghadapi dan menciptakan sejarah. Ia tak membetulkan puisi dengan moralitas prosa atau memugar humor sehingga menggurui nasib. Sebaliknya; prosa adalah tanah yang menumbuhkan puisi dan humor adalah imajinasi yang bertaji. Williams ialah penabur benih-benih puisi. Benih yang ditanam, bahasa orang Amerika, hanya akan mendapati buahnya apabila dialiri dan disinari imajinasi puitik.
Kedamaian antara makna dan hal-ihwal senantiasa parsial dan sementara. Makna—kritik terhadap dunia bagi Guillen ataupun terhadap bahasa bagi Ponge—dalam pemahaman Williams menjelma kekuatan aktif yang melayani hal-ihwal. Makna mencipta, membidani objek. Seninya berusaha “untuk mempersatukan orang-orang dengan batu-batu melalui metafora,” seorang Amerika dan lanskapnya, makhluk yang berbicara dengan objek yang bisu. Puisi adalah metafora, di mana objek berbicara dan kata-kata, berhenti menjadi gagasan, menjelma objek indrawi. Mata dan telinga: objek mendengar dan kata-kata tergambar. Sehubungan dengan yang pertama, Williams ialah ahlinya dan teman para objektivis: Zukofsky, Oppen. Sehubungan dengan yang kedua, Black Mountain School: Olson, Duncan, Creeley. Imajinasi tidak hanya terlihat: itu terdengar; tidak hanya terdengar: itu terucap. Dalam pencariannya atas bahasa Amerika, Williams menemukan (mendengar) dasar ukurannya. Variabel kaki pes metrum berdasarkan aksen tiga sekawan. “Kita tidak mengetahui apapun,” ujarnya, “selain tarian; semua yang kita tahu adalah ukuran.” Hal-ihwal dalam puisi merupakan objek verbal yang ritmis. Ritmenya mengalihkan irama bahasa sehari-hari. Dengan bahasa, sensasi dan perihal, Williams melontarkan dirinya ke dunia sejarah.
Paterson tercipta sebab sikap tersebut. Dari puisi akan hal-ihwal, Williams mengembangkannya jadi puisi sebagai sistem atas hal-ihwal. Sistem yang tunggal dan jamak: tunggal sebagai kota yang merupakan seorang pria dan jamak sebagai perempuan yang merupakan bunga-bunga. Paterson adalah biografi kota industri di timur Amerika Serikat dan sejarah seorang pria. Kota dan pria melebur dalam citraan air terjun yang melerengi gunung berbatu, deburnya memekakkan telinga. Paterson ditemukan di kaki gunung tersebut. Grujugan adalah bahasa itu sendiri, orang-orang tidak pernah mengetahui apa-apa yang mereka ucap dan senantiasa gelisah menyelidiki makna atas apa-apa yang telah mereka ucap. Grujugan dan gunung, pria dan wanita, penyair dan masyarakat, pra-industri dan era industri, riuh-rendah debur air terjun dan pencarian akan ukuran, sebuah makna. Paterson milik genre puitika yang ditemukan puisi Amerika modern, sekumpulan fragmen yang berkisar di antara Aeneid dan risalah politik dagang serta Divine Comedy dan jurnalisme. Contoh paling mengagumkan darinya adalah karya Pound; Cantos.
Setiap puisi dalam genre tersebut terobsesi akan hasrat untuk menyuarakan yang serupa dengan menciptakan realitas Amerika. Puisi-puisi itu merupakan pelanjut terbarukan Whitman. Dengan satu dan lain cara, mereka semua berusaha memenuhi nubuat Leaves of Grass. Dan dalam artian tertentu, mereka berhasil. Tema Whitman adalah perwujudan masa depan Amerika. Perkawinan masa kini yang konkret dengan masa depan yang universal: demokrasi Amerika merupakan universalisasi kebangsaan Eropa serta pencarian jati diri bangsa di tanah dan masyarakat yang khusus. Kekhasan tersebut berasaskan fakta bahwa masyarakat dan tanah tersebut bukan tradisi melainkan masa kini yang diproyeksikan ke masa depan. Pound, Williams dan bahkan Hart Crane adalah sisi lain dari cita-cita tersebut. Puisi mereka menunjukkan reruntuhan harapan tersebut. Reruntuhan yang tidak kalah megah lagi menawan daripada reruntuhan lainnya. Katedral adalah reruntuhan keimanan Kristen, stupa adalah reruntuhan keluhuran Buddha, kuil Yunani Kuno adalah reruntuhan polis dan geometri, namun kota-kota besar beserta kawasan suburban Amerika adalah reruntuhan masa depan. Di tengah gunungan sampah industri, filsafat dan moralitas mandek. Dibandingkan reruntuhan dari kedigdayaan kuno—Inca, Romawi, Cina dan Mesir, dunia modern yang menghancurkan masa depan terasa remeh dan sepele—tidak ada apa-apanya.
Puisi Williams kompleks dan tidak umum. Di samping intensitas fragmen yang magis ataupun realistis, di sana terdapat pula jurang yang panjang. Ditulis berhadapan dan sesekali berseberangan dengan The Waste Land dan Cantos, polemik dengan kedua puisi tersebut tidak terhindarkan. Ini prinsip pembatasan: pembacaan bergantung pada pembacaan lain sehingga penilaian pembaca mudah terjatuh ke dalam perbandingan. Pound dan Eliot membayangkan masa depan yang muram. Pesimisme mereka mendapat dorongan dari nostalgia feodal dan konsep pra-kapitalis. Karena itu, kebencian mereka akan uang dan modernitas, seketika itu juga, menghasilkan sikap konservatif dan, dalam karya Pound, perangai fasis. Williams juga tidak memiliki visi yang optimis. Meskipun begitu, ia tidak mengidealisasi masa-masa lain. Ini bisa saja menguntungkan, meski kenyataannya tidak: ia tidak meyakini suatu sistem filsafat maupun agama, tidak ada sama sekali gagasan atau keyakinan yang koheren dalam dirinya. Tradisi yang ditawarkan pendahulunya (Whitman) tidak lagi berguna. Kekosongan muncul di tengah konsepsi Williams (akan tetapi ini tidak muncul dalam puisi-puisi pendeknya). Budaya kontemporer Amerika yang kosong. Kekristenan The Waste Land merupakan kebenaran yang telah terkubur dan, dalam pandanganku, tidak akan tumbuh kembali meskipun kebenaran tunggal itu seperti cahaya dari bintang yang mati sesekali menyentuh kita. Aku tidak mendapati hal yang seperti itu dalam Paterson. Perbandingan dengan Cantos juga tidak menguntungkan Williams. Amerika Serikat adalah kekuatan adidaya, dan Pound, kalaupun tidak bisa menjadi Virgil, setidak-tidaknya ia adalah Milton; sama-sama membahas runtuhnya kekuatan adikuasa. Berdasarkan integritas serta moralitasnya, Williams tidak melihat sisi kedigdayaan dari negaranya; ia justru mengamati kebangsatannya.
Paterson bukan kesatuan bukan pula keyakinan yang lebih autentik daripada The Wasted Land—bahkan bila keyakinan Eliot itu tiada. Cantos, pada beberapa bagian, jauh lebih kaya lagi mewah daripada puisi Williams, satu dari sekian teks yang membicarakan kengenesan zaman kita. Lantas mengapa? Puisi yang bagus tidak diukur dari ekstensinya tetapi dari intensitas dan kesempurnaan karyanya. Serta dari keberdayaan hidupnya. Williams ialah penyair modern Amerika yang paling nyata. Yvor Winters tepat menyatakan “Herrick itu tidak lebih lihai dari Shakespeare akan tetapi ia tidak kurang hebat dan akan abadi sepertinya…Williams pun akan setangguh Herrick; di akhir abad, kita akan melihat dirinya bersama Wallace Stevens diakui sebagai dua penyair terbaik dalam generasinya.” Nubuat itu datang mendahului perkiraan Winters. Mengenai gagasannya soal puisi New World—apakah ia benar-benar penyair termasyhur Amerika pada zamannya? Aku tidak tahu juga tidak peduli. Di sisi lain aku tahu bahwa dia yang paling segar lagi jernih. Segar seperti air minum yang mengalir, jernih sebagaimana air tersebut dalam kendi kaca di atas meja kayu tanpa polesan dalam sebuah kamar berdinding putih di Nantucket. Wallace Stevens pernah menyebutnya sebagai “Diogenes-nya puisi kontemporer.” Pancarannya yang bersinar di siang hari adalah matahari kecil dengan cahayanya sendiri. Kembaran sekaligus lawan dari matahari: pancarannya menyinari daerah yang tidak diterangi cahaya alam.
Pada musim panas 1970, di Churchill College, Cambridge, aku menerjemahkan enam puisi karya Williams. Kemudian, dalam dua kesempatan di Velacruz dan Zihuatanejo, aku menerjemahkan puisi lain. Terjemahanku tidaklah harfiah. Tidak hanya mustahil, keharfiahan itu merusak karya. Terjemahanku pun (kuharapkan) bukan penulisan ulang: terjemahanku merupakan penaksiran dan kadang kala pemindahan. Sayang sekali, aku tidak mampu menemukan ritme bahasa Spanyol yang sepadan dengan kepunyaan Williams. Akan tetapi, daripada berlarut-larut membahas kesulitanku menerjemahkan karyanya, akan lebih baik bila aku menceritakan pertemuanku dengannya. Donald Allen mengirimkan versi bahasa Inggris dari puisiku (“Hymn Among Ruins”). Terjemahan itu membuatku terkesan sebab dua alasan: kualitasnya yang mengagumkan dan penerjemahnya ialah Wiliam Carlos Williams. Aku bersumpah akan menemuinya. Dalam salah satu kunjunganku ke New York, aku meminta Donald Allen untuk membawaku kepada Williams, sebagaimana ia telah mempertemukan aku dan Cummings. Di satu siang, kami mengunjungi Williams di rumahnya di Rutherford. Ia sudah menderita kelumpuhan. Rumahnya berbahan dasar kayu, seperti rumah seorang Amerika pada umumnya, dan lebih terasa sebagai rumah dokter alih-alih penulis. Aku belum pernah menjumpai seseorang yang kurang terpengaruh—kebalikan dari seseorang yang bijak. Alih-alih sibuk menjadi penyair, ia dikuasai puisi. Ia tidak selalu memandang dirinya serius. Kecerdasan dan ketenangan ini jarang dimiliki penulis Amerika Latin. Pada diri setiap penulis Prancis, Itali, Spanyol dan Amerika Latin—terlebih bila seseorang itu ateis ataupun revolusioner—senantiasa tersembunyi kebijaksanaan. Sementara itu, beberapa penulis Amerika memecahkan cangkang kepengarangan mereka dengan kepolosan, simpati dan humanisme yang demokratis—dalam arti sebenar-benarnya. Ini selalu mengejutkanku. Di negeri sekeras Amerika, keramahan senantiasa muncul seperti air yang menetes dari mata air abadi. Barang kali ini berkaitan dengan asal muasal demokrasi Amerika yang religius. Pemindahan komunitas religius ke dalam ruang politik, dari gereja yang tertutup ke ruang publik yang terbuka. Demokrasi agama Protestan mempelopori demokrasi politis. Di antara kita, demokrasi asalnya anti-agama dan sejak awal tidak mempekuat masyarakat di hadapan pemerintah, tetapi pemerintah di hadapan gereja.
Williams lebih irit bicara dibanding Cummings. Berbincang dengannya membuatmu mencintainya alih-alih mengaguminya. Kami membicarakan Meksiko dan Amerika Serikat. Sudah sewajarnya, kami turut membahas akar budaya. Bagi kami, aku memberitahunya, keberlimpahan sejarah dan masa lalu mengekang kami, akan tetapi kamu ditindas beban berat masa depan yang hancur lebur. Ia pun setuju dan memberiku buku puisi karya penyair muda yang baru saja terbit dengan kata pengantar darinya: Howl karya Allen Ginsberg. Aku bertemu lagi dengannya setahun kemudian, sesaat sebelum kematiannya. Meskipun penyakit merongrong dirinya, sikap dan pendiriannya tetap teguh. Kami membicarakan lagi tiga atau empat atau tujuh Amerika: merah, putih, hitam, hijau, ungu…Flosie, istrinya, membersamai kami. Saat kami bercakap-cakap, aku memikirkan “Asphodel”, puisi cintanya yang menawan. Kini, ketika aku kembali mengingat percakapan tersebut dan menuliskan esai ini, di dalam kepalaku aku memetik bunga tanpa warna dan menghembuskan aromanya. “Wewangian asing,” ujar penyair, “wangi moral.” Sama sekali bukan wewangian, “kecuali bagi imajinasi.” Ini bukan definisi terbaik bagi puisi: bahasa yang tidak mengatakan apapun selain kepada imajinasi? Di puisi lain, ia menyatakan: “Saxifraga, bungaku, memecah batu-batu.” Citraan bunga yang nyata adanya dan seketika menghubungkan manusia dengan hal-ihwal. Dengan demikian, penyair menciptakan dunia yang layak ditinggali.
Zihuatanejo, 20 Januari 1973
Sumber
Paz, Octavio. “William Carlos Williams: Saxifrage Flower.” On Poets and Others, terjemahan Michael Schmidt, Arcade Publishing: New York, 1986, hal. 13-24.
Octavio Paz (31 Maret 1914 – 19 April 1998), penyair dan diplomat Meksiko. Ia mendapatkan Penghargaaan Kesusastraan Internasional pada tahun 1982 dan Nobel Kesusastraan pada tahun 1990.