Fb. In. Tw.

Federico Garcia Lorca

oleh William Carlos Williams

Pada 1836, Lorca diseret melewati jalanan kota Granada untuk menghadapi regu penembak kaum Fasis. Tidak ada alasan yang jelas. Ia tidak aktif dalam gerakan kiri; meskipun memang ia memiliki kuasa—ia merupakan tokoh masyarakat. Buku-bukunya lantas dibakar.

Di Spanyol, terdapat dua tradisi (sekolah) penulisan puisi yang masyhur; yang satu bersandar pada khazanah sastra dunia dan yang lain berakar hanya pada sumber Iberia.

Lorca merupakan penyair keturunan terakhir tradisi Iberia yang sungguh-sungguh, yang seringkali direndahkan; disebut sebagai penyair populer. Di Spanyol, ia begitu populer sebab tidak ada penyair selain dirinya sejak masa-masa Lope de Vega. Ia bagian dari rakyat dan ketika mereka diserang, ia pun diserang kelompok yang sama. Namum begitu, ia juga pemenang tradisi.

Keindahan dalam puisi Lorca berasal dari masa-masa awal kesusastraan Spanyol. Dalam perang panjang bangsa Spanyol yang lebih dari empat ratus kali pertempuran untuk menaklukkan semenanjung dari bangsa Moor, berdiri seorang pemimpin yang saat itu begitu gagah, dan akan senantiasa hidup dalam ingatan rakyat, salah seorang pahlawan nasional: Rodrigo Diaz de Vivar, berjuluk El Cid Campeador. Popularitasnya tidak hanya terlahir dari kualitas kepemimpinannya tapi juga lantaran dirinya membebaskan rakyat dari cengkeraman raja yang bengis. Ia merendahkan dan meremehkan kedaulatan mereka. Periode kejayaan pahlawan tersebut menghasilkan Cantar de Mio Cid atau Poema del Cid, karya tertua yang selamat berkat lidah orang-orang Kastilia. Tulisannya memaparkan kemanusiaan, deskripsinya cepat dan kongkret:

Martin Antolinez mano metio al espada:
Relumbra tod’ el campo

Kilatan pedangnya menyinari segenap medan.

Poema del Cid, menurut tradisi, ditulis salah seorang pengikut setianya tidak lebih dari empat puluh tahun setelah kematiannya dirayakan; dan dari sanalah kesusastraan Spanyol memberikan bukti pertama yang meyakinkan akan kemampuannya menciptakan puisi yang mengatasi ruang dan waktu. Kualitas ini tidak pernah luntur. Dan, Lorca mengetahui betul hal tersebut dalam karyanya Llanto por Ignacio Sachez Mejias.

Poema del Cid tidak sekadar menjadi puisi pertama yang dilestarikan bahasa kastilia tapi sekaligus menetapkan standar bentuk bagi puisi Spanyol. Terkadang terlupa tapi selalu ada sebagai latar, metrumnya telah dipakai lagu-lagu rakyat—tidak ada puisi barat populer yang lebih penting dan berpengaruh sekuat milik Spanyol. Baris ini begitu masyhur. Enam belas suku kata purwakanti. Dalam periode panjang, untaian suku kata terkadang membentuk vokal yang serupa. Penulisan pada umumnya memecah baris jadi dua dan menjadi dasar bagi romansa atau balad. Dengan segala kemungkinannya, banyak romansa lama ada setua Poema del Cid itu sendiri atau bahkan lebih tua. Bentuk itulah yang sering digunakan Lorca dengan mengasersi, bukan mengubah, struktur barisnya sebagai basis karyanya.

Menulis dalam metrum tua yang mungkin berumur delapan ratus sampai ribuan tahun setelah penciptaannya, Lorca terpesona ketika dirinya pada suatu malam berjalan-jalan di sekitaran toko anggur di Sevilla. Ia mendengar kata-kata dalam copla yang ia tulis sendiri dinyanyikan gitaris yang buta huruf. Suku kata demi suku kata bergaya epik abad kedua belas.

Di Toledo pada 1910, aku ingat satu malam di mana aku mendengarkan nyanyian serupa sebelum kubikel terbuka dari sebuah plaza. Beberapa orang sedang nongkrong dan salah seorang dari mereka menyanyi mengikuti petikan gitar. Aku, pemuda yang tidak begitu mahir berbahasa mereka dan tentu seorang asing, masuk ke sana dan mereka tampaknya jadi canggung. Setelah minumanku habis, aku langsung pergi dari tongrongan itu. Mereka tampak seperti penggembala menyeberangi jembatan kecil bersama anjing besarnya yang kulihat sore itu.

Menjelang pertengahan abad ketiga belas, Alfonso X, berjuluk Si Bijak, pertama kali memberi penghormatan terhadap bahasa negara dengan memerintahkan segala dokumen publik ditulis dengan bahasa sehari-hari alih-alih bahasa latin seperti sedia kala. Sudah menjadi ciri khas bangsa spanyol untuk menyalahkan perubahan tersebut atas segala kekacauan dan bencana yang datang setelahnya. Pada 1253, Alonso X mengumpulkan seluruh kitab Cantigenas atau Letras untuk dinyanyikan dengan dialect gallego. Ia dilengserkan putranya sendiri dan diusir ke pengasingan sebelum meninggal bersama kesendiriannya di Sevilla. Sekitar seratus tahunan setelah itu, “di zaman menyedihkan itu,” begitulah ia dinamai, “orang-orang Kastilia tampaknya memiliki hati hanya untuk membenci dan menggunakan senjata hanya untuk membunuh.”

Namun, masa-masa rawan tersebut menjadi waktu yang cukup tepat bagi kemunculan kedua puisi termasyhur bangsa Spanyol, Libro de Buen Amor, Kitab Cinta yang Indah, karya dari pribadi paling menawan dari khazanah kesusastraan abad pertengahan Spanyol; Juan Ruiz, imam agung dari Hita. Ia menggambarkan dirinya sendiri dalam banyak karyanya sebagai berikut; gendut, berkepala besar, bermata kecil di bawah alis tebal sehitam batu bara, berhidung besar, bermulut besar pula, berbibir tebal, berleher pendek, dan berjalan santai—musisi yang terampil dan gay.

Jika Lorca meletakkan seluruh pengaruh puitikanya perihal bentuk struktural dengan jelas pada Poema del Cid, sebagian besar suasana hati dan semangatnya dapat ditemukan dalam perangai si bajingan tua, imam agung dari Hita.

Juan Ruiz adalah seorang pastor yang mbeling dan dapat ditolerir pada waktu itu. Rekan terbaiknya adalah rakyat, selalu rakyat, dan terutama warga spanyol, menurut Madariaga, “sangat sulit membayangkan hal tersebut di masa kini, di mana kaum Yahudi, Kristen, dan Moor menjalin persaudaraan yang ramah dengan penuh keriangan dan suka cita.” Saat ini, populasi semacam itu, mungkin, lebih mudah dibayangkan di daerah selatan, di sekitaran rumah Lorca, daripada di setiap tempat yang mungkin tidak pernah diinisiasi sebelumnya. Di sanalah rumah bagi lagu-lagu rakyat Andalusia. Di sana, Lorca dapat merayakan keindahan ganjil daripada “keputusasaan filosofis bangsa Arab, keputusasaan religius kaum Yahudi, dan keputusasaan sosial kaum Gipsi.” Ia begitu akrab dengan ketiga elemen tersebut.

Karya terbesar dari abad keempat belas di Spanyol, Libro Buen de Amor karya Ruiz, senyatanya merupakan novel picaresque, tersusun atas larik dan prosa, sebagian besar dialognya dipenuhi gelak tawa, berlenggak-lenggok dan berwarna-warni. Pemandangan dari satu sindiran yang luas terhadap masyarakat abad pertengahan. Penyair itu, atas segala kesalahannya dan penghinaannya terhadap kepastoran, memeroleh kemuliaan tersendiri. Ia mengetahui rahasia dari sebuah lompatan langsung menuju tindakan, serupa Poema del Cid, karya romansa Spanyol tidak lebih dari komedi Spanyol, dan sekarang lagu populer. Dari semua itu, Lorca mengambil pengaruhnya.

Untuk memahami seluruh pengaruh kepada gaya puitika Lorca, apa yang ia tolak dan apa yang ia terima, mesti melihat perkembangan puisi Spanyol yang sambung-menyambung dari para penyair lama. Terjadilah satu perubahan yang kentara dari “selera lama” yang mereka lekatkan pada masa-masa Juan de Mena. Dalam permasalahan ini, letak geografis selalu berperan penting.

Spanyol merupakan semenanjung yang berada di sudut paling bawah eropa, seolah-olah terpisah dari eropa, sebab pegunungan Pyrenees, membuatnya tampak menyerupai pulau tersendiri. Berada di barat menjauhkannya dari semua pengaruh langsung Eropa. Di sisi selatan, invansi bangsa Moor, dengan pengaruh yang makin menipis, telah gagal, dan terpukul mundur, setelah berkuasa selama empat abad, ke daerah asalnya, Afrika, meskipun jejaknya masih tertinggal di beberapa daerah Spanyol dan bahkan eropa.

Lorca yang tinggal di Granada mengetahui peninggalan ini. Invasi Moor lekas berhenti dan menyurut sementara pemikiran Latin, mengikuti perjalanan Caesar, memasuki sisi timur Iberia, melalui lembah Rhone, melewati Prancis sampai ke utara. Dengan demikian, kelenturan dan selak-beluk pemikiran dari alam pikir dan gagasan cemerlang Prancis tetap saja tidak dikenali di Spanyol. Tertutup dari pengaruh asing membuat bangsa Spanyol memertahankan pandangan dunianya yang dibatasi tanah tanpa jalan keluar (selain daratan di seberang lautan yang telah mengecewakan mereka) yang mereka injak dan pada pendalaman lain, realitas jiwa, mereka telah membuktikan diri mereka sebagai pahlawan yang boros.

Hanya sedikit mendapat pengaruh dari renaisans dan tidak sama sekali dari reformasi, kesusastraan Spanyol di masa-masa awal, sebelum penemuan Amerika, mencapai akhirnya pada karya Juan de Mena (1411-1456). Dalam dua ribu tahun setelahnya, selama abad lima belas dan enam belas atau sebelum masa Gongora, “selera lama” bercirikan dari sumber-sumbernya, terbatas dalam kemampuanya, mudah menyerah, dan pengaruh Italia yang mendominasi.

Quintana, dalam kata pengantar untuk karyanya Poesias Selectas Castellanas (1817), menyampaikan bahwa “penulisan puisi dengan purwakanti tua berupa octosyllabic (delapan suku kata) lebih cocok untuk madrigal dan epigram daripada untuk puisi yang bernarasi besar, tidak akan bisa bertahan tanpa keanehan dan terasa mentah—seperti yang Juan de Mena tulis. Tidak pantas untuk konsep luhur dan imajis. Kekuatan pemikiran, kehangatan perasaan, harmoni dan variasi, yang tanpa semuanya tidak seorang pun bisa dianggap sebagai penyair, terasa kurang”. Akan tetapi, Cristobal de Castillejo menyindirnya dengan “membandingkan kebaruan petrarquistas, sebagaimana ia menyebutnya, dengan protes Luther pada keimanan”.

Nama-nama besar dalam perpuisian Spanyol, beberapa penyair termasyhur dalam sejarah kesusastraan Spanyol, bermunculan menyusul perombakan “selera lama” ini. Semuanya berkarya di bawah pengaruh yang terbarukan dengan keyakinan akan memperluas dan memperkaya prosodi dan keseluruhan sumber daya bahasa mereka. Fernando de Herrera merayakan keagungan kekaisaran Spanyol. Ada pula mistikus bernama Fray Luis de Leon dan di antara mereka ada seorang mistikus termasyhur bangsa Spanyol, Saint Teresa, yang hanya menghasilkan sedikit puisi, tidak lebih dari tiga puluh buah, yang mengabaikan tata bahasa (gramatika) dan logika, mengabaikan segalanya selain isak tangis yang kelu dari jiwa, menderas langsung dari hati, membuat mereka tampak seperti tangisan penderitaan kita sendiri yang didengar lewat kedua telinga kita.

Itu adalah perulangan dari warna-warna cerah dan baris-baris yang menyiksa milik El Greco; nada-nada melengking yang tidak terjamah. Kabur! Ketika ide-ide mendatangi daratan Spanyol, mereka akan berhenti dan akhirnya menanjaki langit. “Aku melanjutkan,” ujar Umanumo di abad kedua puluh, “apa-apa yang mereka namai pernyataan sesuka hati, tanpa pencatatan, tanpa pembuktian, berada di luar alam pikir modern eropa yang memandang rendah metode penciptaan tersebut.”

Namun, menjelang akhir abad keenam belas, muncul reaksi khas bangsa Spanyol. Hal ini sulit dimengerti sehingga menarik untuk diperhatikan, bagaimana Quintana yang pendiam menyambut hal tersebut dengan penuh suka cita, untuk pertama kalinya, ia terasa hangat pada subjeknya dan ronanya berseri-seri ketika ia menuliskan, “pada saat ini (1570-1580) sewaktu dengan masa muda Gongora dan Lope de Vega, minat baru terhadap romansa lama mulailah berkerjapan…”

Terlepas dari tipu daya dan kekejaman yang merupakan keniscayaan dalam peniruan suatu gaya, pengarang mengabaikan apa-apa yang diberikan ode Horace ataupun Canciones Petrarch; dan lebih disusun perasaan alih-alih seni, romansa tidak dapat memiliki kompleksitas dan elevasi seperti ode Leon karya Herrera dan Rioja. Tapi, itulah puisi lirik yang kita miliki; di dalamnya musik menemukan aksennya sendiri; itulah lagu yang kita dengar diiringi alunan gitar atau harpa, dari jendela dan di jalanan setiap malam.

Di dalam karya mereka terdapat ekspresi yang lebih indah dan semangat yang lebih menggebu, menghentak dengan cerdik dan lembut, daripada di setiap puisi kita yang lain. Akan tetapi, setelah beberapa tahun pembaharuan selera ini berhasil membangkitkan minat terhadap puisi dan menyelematkannya dari batasan imitasi yang direduksi para penyair tua, mulailah tampak kesalahan dalam dirinya dan karena itu ia perlu perombakan sebagaimana ia telah meruntuhkan “selera lama”. Gongora adalah orangnya!

Ialah Luis Gongora, penyair lirik yang membawa petualangan baru hingga mencapai puncaknya, lantas meninggalkannya untuk melampauinya—menuju efek yang lebih mengagumkan.

Gongora adalah satu-satunya penyair Spanyol dari awal abad ketujuh belas yang pengaruhnya masih menarik hati kita sampai saat ini. Salah satu dari sedikit penyair Spanyol yang memperoleh reputasi dunia sebab kualitas tulisannya. Perhatikan potretnya; dagunya menyentuh dasi, dahinya seluas Gibraltar, rautnya seolah terpesona namun tampak kokoh, kalau bukan tidak tergoyahkan, wajahnya seolah menyatukan kepulauan yang tangguh dan tidak merepresentasikan apapun selain gambaran Spanyol itu sendiri. Di sana kau dapati semangat yang kini berada pada Lorca.

Gongora, seorang ahli dalam romansa, salah satu ahli termasyhur dalam burlesque dan satir, telah menetakkan reputasi yang tak terbantahkan ketika ia, di akhir hayatnya, mengangkat harkat puisi Spanyol, menghiasinya dengan pengetahuan dan konsep baru, memperkaya bahasa dengan nada tertentu dan perubahan yang membedakannya dari prosa. Ambisi tersebut menginspirasi pula Juan de Mena dan Fernando de Hererra; akan tetapi Gongora kekurangan, sebagaimana mereka katakan, kebudayaan dan kesederhanaan pendahulu.

Dan begitulah Gongora mengakhiri hidupnya dengan terus menuliskan romances yang indah, “mengembangkan satu gaya—nyaring dan sukar, menggairahkan hari tuanya, yang lantas masyhur sebagai Culteranismo. Dan sejauh Gongora merupakan penyair terbesar Culteranismo, gaya ini lantas bersinonim dengannya; Gongorismo.

Apa lagi ini kalau bukan pelarian yang mendaki langit! Sebagaimana puisi-puisi Saint Teresa! Ketika Gongora menemukan dirinya dipenjara gaya tua, ia tidak sudi meminjam kembali mode ala Italia. Ia melepaskan diri dari pingitan tersebut dengan cara tidak rasional, melangkahi kelaziman, para pendahulu. Ia tidak dapat kembali pada Latin, pada Yunani, ataupun pada Italia. Tidak sekali pun pada Prancis. Ia pun mendaki langit! Mendaki, menuju irasionalitas, mencapai baris-baris yang menyiksa milik El Greco. Karena itu, ketika Luzan bersama humanis lainnya (yang seabad kemudian memulihkan keindahan) menghancurkan sektarianisme dan akibatnya—mengkhianati pendirinya—mereka pun menerima karya Gongora bersama penyair tercela lainnya.

Federico Garcia Lorca mencari solusi atas masalah tersebut di zaman kita. Sebagaimana Gongora muda, Lorca mengadopsi gaya lama Spanyol. Aku akan memaparkan analisisku atas buku Llanto por Ignacio Sanchez Mejias (Ratapan atas Kematian Seorang Matador) di akhir esai.

Bangsa Spanyol tampaknya selalu tidak yakin bahwa metrum autentik mereka cukup bagus, setidaknya mampu bertahan di tengah tekanan modernitas. Akan tetapi, dalam bentuk tua itu, Lorca menyelidiki esensi zamannya yang tercerahkan cahaya pemikiran abad kedua puluh. Realitas, keterusterangan; sebab kejelasan akan gambar, menuntut pikiran selalu terjaga. Mekanik modern yang istimewa ini telah ada dalam genggaman Lorca. Ia mengambil tradisi lama, dan dalam waktu yang menyenangkan, bekerja dengannya, ketika kebanyakan orang tidak bisa melakukannya, sampai ia mau tidak mau—bukan meminjam—mengangkuti apa-apa yang telah datang kepadanya, yang selamat melalui waktu, keramahtamahan, dan tidak tertutupi tirai berupa turunan imitasi—dunia seluas pandangannya.

Kenikmatan mengasyikkan dari purwakanti ini di banyak puisi dalam buku ini mempertahankan kualitas nyanyian puisi Spanyol dan, di saat yang sama, mendapat sentuhan nada-nada monoton khas lagu primitif—termodernisasi dengan apik di sini: pada romansa pertama yang menghabiskan separuh halaman awal buku, La Casada Infiel permainannya ada pada huruf o; di Preciosa Y El Aire berada pada huruf e; di Romance de la Guardia Civil Espinola berada pada huruf a; dsb, dsb. Ini pengaruh langsung dari El Cid; tapi tidak dengan jukstaposisi kata dan imaji yang gemilang di tiga Romances Historicos (di bagian terakhir buku), di mana samar-samar irasionalitas, seperti pembiasan cahaya yang menunjukkan realitas lain—sebuah usaha menanjaki langit, pengaruh dari Saint Teresa, El Greco, dan Gongora, yang tidak dimengerti atau tak diharapkan untuk dimengerti pada zamannya. Obskuritas yang dilanjutkan Unamuno, “Augustine, seorang afrika yang masyhur, berapi-api jiwanya yang memadamkan dirinya dengan retorika yang bergelombang, frasa yang terpelintir, antitesis, paradoks, dan penuh akal bulus … Gongorine dan konseptualis di satu waktu. Hal ini membuatku berpikir bahwa Gongorismo dan Konseptualisme adalah perwujudan gairah dan gelora dalam bentuk sejatinya, alamiahnya”.

Stanza pertama dari puisi terbaik Lorca, Llanto Ratapan, baris demi barisnya mengulang satu larik; A las cinco de la tarde—“Pukul lima sore itu”.

Perulangan tersebut, A las cinco de la tarde, mempesona Lorca. Itu merupakan esensi dari seluruh lariknya. Tepat akurat, di satu hari yang begitu penting. Menyertakan jam, di mana hari yang cerah mulai memasuki senja harinya. Tapi, bagaimanapun juga, ini nyanyian. Tanpa mendaraskan karya ini, maka esensi sesungguhnya dari puisi, lama dan baru, Spanyol tidak akan mungkin dipahami. Akan tetapi, penekanan pada suku kata pertama dalam “CINco” merupakan kemurnian alunan lagu kaum barbar, debaran jantung nyanyian manusia. A las CINco de la tarde. Apakah itu? Itu adalah keseluruhan waktu, ketiadaan waktu, dan keabadiaan di saat yang sama. Setiap menit adalah keabadian—dan itu begitu terlambat. A las CINco de la tarde. Satu tempo hasil petikan gitar yang tidak mampu melarikan diri dari dukanya, musik yang menerjemahkan perasaan akan maut yang senantiasa menghampiri. Penghabisan terakhir bangsa Spanyol, kesementeraan hidup dan nyanyian. A las CINco de la tarde, Mejias telah terbunuh! Terbunuh di tanduk seekor banteng! A las CINco de la tarde, ia telah menemui ajalnya!

Fakta yang kejam lagi mistis. Mengapa mesti seakurat A las cinco de la tarde? Misteri setiap momen menyeruak. Semangat Gongora, segenap suara obskur berada di sana.

Pemikiran Lorca semestinya telah lama ada dalam benak penyair tua ketika mereka terlilit metrum lama dan tidak ingin kembali ke gaya Itali para pendahulunya sampai kata-kata, jembatan di bawah dirinya, putus dan ia selamat terjatuh ke fragmen.

Lorca menuliskan puisi bertemakan kematian seorang matador di Meksiko ini dua tahun setelah kejadiannya berlangsung. Namun, biar bagaimanapun kejadiannya, ia tetap seorang lelaki dan ia terbunuh: bernilai etis dan kebebasan yang sama dengan nilai-nilai etika yang tergambarkan dalam El Cid dan Libro de Buen Amor. Kekuatan yang sama untuk menciptakan puisi yang mengatasi ruang dan waktu. Kenyataan yang serupa, perundakan hidup yang sama. Tidak ada yang lebih nyata daripada matador yang, tidak seperti kebanyakan orang, langsung menanjaki cahaya yang dipancarkan dan diterima puisi. Begitulah Lorca.

Refleksi yang sama juga memancar dari A Romance of Faithless Wife.  Kenyataan yang serupa dan penerimaan yang sama—bukan sekadar penerimaan dungu yang hanya ada di permukaan: Gipsi itu meminang perempuannya, ia memenangkan ekstasi darinya dan karenanya perempuan itu berterus terang ketika bicara padanya, namun perempuannya meyakinkan bahwa dirinya masih gadis hanya untuk diketahui si gipsi bahwa dirinya telah menikah. Pria itu senyata mungkin menikmati dan membayar perempuannya—seperti si gipsi, namun tidak ada cinta setelahnya—persis sebuah lagu dari tanah tinggi Asturian Pyrenees, seorang lelaki menyanyi;

Una nina bonita
Se asomo a su balcon
Ella me pidio el alma,
Yo lo di el Corazon
Ella me pidio el alma,
Y yo la dije adios.

Pria itu memberi hatinya kepada perempuannya, namun ketika perempuannya meminta jiwanya, ia ucapkan selamat tinggal.

Ketika membaca Lorca, keutuhan sejarah kesusastraan Spanyol mesti ada dalam pikiran. Saint Teresa yang hanya percaya pada jiwa dan tidak dengan raga, sangat tabah dan suci—tapi juga kenyataan bangsa Spanyol. Puisi Spanyol, menurut Madariaga, berada di atas sekaligus di bawah hamparan pemikiran. Sangat bodoh jika membicarakan Lorca sebagai sensualis. Kemurnian copla, seperti yang terkutip di atas, yang terlahir dari kebisuan hati dan pendakian langit, ada dalam segenap karya Lorca. Bacalah dengan kehati-hatian! Keluhuran bangsa spanyol hadir dalam setiap kejadian yang tidak diingkari seorangpun—tidak juga ia mengingkari akibatnya. Ya, ia akan memberikan raganya namun jangan pernah berharap untuk jiwanya! Di antara dua kenyataan, raga dan jiwa, ini, seorang Spanyol melayang dan berkembang dengan berdikari.

Itulah pengaruh yang menciptakan Lorca. Bentuk lama yang terlahir dan digunakan sebagai lagu. Demi memenuhi hidup, ia menyanyi. Kehebatan puisi yang dilupakan adalah puisi tercipta sebagai nyanyian—namun para kritikus memisahkannya dari bahasa tutur.

Lorca menghargai kenyataan naluriah bangsa Spanyol, yang telah melestarikan sikap hidupnya dalam bentuk puisi tradisional. Ia telah menunjukkan gaya tua, selera lama ini, mampu menerima angan-angan yang samar—tanpa kehilangan sentuhan akan realitas—yang telah mereka sangkal sepanjang waktu. Dalam “ketidakjelasan” kata-kata, seperti kepingan sejarah yang dialamatkan pada Saint Teresa pada romansa terakhir di bukunya, ia memaparkan bagaimana modernitas menyempurnakan gaya tua dari El Cid dan Kitab Cinta yang Indah. Ia berhasil melanjutkan perjuangan yang telah dimulai Juan de Mena dan diteruskan Gongora.

Federico Garcia Lorca lahir di provinsi Granada pada 1899. Ia menghasilkan beragam karya yang menakjubkan baik dalam puisi dan prosa dari usia delapan tahun sampai meninggal di usia tiga puluh tujuh tahun pada 1936. Ia seorang pianis, pengelola kelompok teater, dan penulis lirik terkemuka dari lagu rakyat Spanyol yang terkenal.

Banyak cerita beredar mengenai dirinya. Rakyat mencintai dirinya. Kematiannya, dibunuh regu tembak kaum fasis, mungkin, memang menyerupai keinginannya: mati di tanduk seekor banteng—jika seseorang tidak menusukkan pedangnya ke dalam hatinya. Seperti orang-orang hebat pada umunya, ia tidak begitu terkenal semasa hidupnya. Akan tetapi, ia meninggalkan kita senjata untuk mempertahankan pemikiran dan kepercayaan kita. Suatu keyakinan modern yang mungkin saat ini masihlah samar di dunia namun lestari di Spanyol dengan bangga menentang segala kehancuran yang ada di sana. Dengan itu semua, Lorca hidup.

 

William Carlos Williams (17 September  1883 – 4 Maret 1963), penyair Puerto Rico-Amerika. Pelopor puisi imajis Amerika. Selain menulis puisi, Williams yang merupakan seorang dokter ini juga menulis esai, novel, dan naskah drama.

Sumber
The Kenyon Review , Spring, 1939, Vol. 1, No. 2 (Spring, 1939), Kenyon College
diunduh dari Jstor.com

KOMENTAR

Mahasiswa fakultas filsafat. Menulis dan menerjemahkan puisi dan esai. Kontak via twitter @senorwenceslao

You don't have permission to register