Puisi-Puisi Mario F. Lawi
Kita
Seorang bocah
Terseret ke pintu pagi
Memegang erat bayangnya
Yang coba direbut matahari.
Sungai melayarkan perahu kertas
Dari bekas suratnya,
Waktu mengacak susunan
Huruf-hurufnya.
Sekarang kaubuka pintu,
Berdiri di depanku,
Mengucapkan kalimat yang,
Dulu sekali,
Rasanya begitu akrab kukenali.
Stasiun Baldo degli Ubaldi
—terkenang Kim
Kereta ini menelanku.
Tak sempat kuciptakan
Seekor burung dari udara.
Belum kuletakkan
Rinduku sebagai kelepak
Sayap-sayapnya.
Cintamu ada,
Selalu,
Bahkan di saat aku
Mengabaikanmu.
Trinità dei Monti
Naldini mengatur warna-warnanya,
Membentangkan dunianya
Dan menemukan
Dirinya sendirilah yang mencurahkan
Air ke kepala Yesus.
Kusampaikan rasa kagumku
Pada tangan ajaibnya.
Ditebalkannya awan untuk menaungi
Sepotong jalan menuju stasiun Spagna
Dari 42 derajat Celcius matahari Roma
Sebagai ungkapan terima kasihnya.
Kumasuki stasiun setelah memintanya
Menebalkan warna anggur
Pada sepasang ginjalku yang nyeri
Memoles kembali cahaya hatiku
Yang digerogoti virus
Agar dapat lebih riang kuingat
Wajah Eropa para malaikatnya
Yang bersemu merah
Ketika Sabda menggelegar
Dan Merpati menghampiri
Sang Manusia.
Forum Caesaris
Ada sehelai tenunan, panjangnya satu pertica,
Gabungan dari dua helai tenunan terpisah
Masing-masing berukuran satu passus,
Dibentangkan seorang penenun
Di bawah kaki Bucephalus.
Di sisi paling kiri ada kapal-kapal yang
Terdampar di tepi pantai, siluet putih
Seorang jelmaan dewi, bongkahan kabut
Dan Neptunus yang memegang trisulanya.
Bergeser ke kanan, seorang ratu berdiri
Di depan istananya, menyambut
Ksatria Dardania dan armadanya.
Lalu rangkaian gambar yang lain
Adalah kisah-kisah pembantaian di medan
Perang, dan seorang perempuan yang melepaskan
Genggaman sang kekasih. “Pergilah,” katanya.
“Takdir tak akan menungguku.”
Di ujung paling kanan ada gambar seorang
Bayi. Tubuhnya penuh bekas tikaman belati.
Venus menangis sambil mengusap mahkota
Dafnah di kepala sang bayi.
Sepasang tangan si penenun menulis nubuat
Teiresias di atas tenunannya. Seorang Kaisar,
Yang menolak menenggak empedu sebelum
Takdir sendiri yang memotong benang-benangnya,
Meminta seorang kepala serdadu membawa
Belatinya dan pergi mencari si penenun.
Dua milenium kemudian, di depan kuil Venus,
Kau masih bisa melihat sepasang tangan si penenun
Menggambar di atas kainnya kisah-kisah tentang
Bengisnya penduduk kota terhadap para pengembara
Keturunan Dido, nama lain bagi tragedi yang pernah
Menerima dengan sepenuh hati Aeneas dan armadanya.
Ponte Sant’Angelo
Para malaikat menjaga ingatan
Dengan kesedihan: jalan-jalan penuh
Pukulan, bunga karang dan cuka,
Dan ancaman kematian.
Bangkit dari Tevere aroma perang
Dan nyanyian, kisah panjang
Yang bisa jadi asing, kecuali para
Pahlawan adalah juga para penyanyi
Lagu-lagu cinta.
Ke mulutku, si malaikat pemegang bunga
Karang mengarahkan tongkatnya:
“Biar lidahmu jadi fasih memeram
Lebih lama lagu yang ingin kaunyanyikan.”
“Ini untuk ingatanmu, untuk semua
Masa kanak-kanak yang membawamu
Ke sini,” satu malaikat lain menyodorkan
Mahkota duri padaku.
Malam kian dalam, dan delapan
Malaikat lain melagukan mazmur,
“In aerumna mea dum configitur spina…”
Sepanjang jalan ke basilika, refreinnya
Melukai telingaku: “aerumna et spina mea,
Sed culpa tua sed culpa tua.”
Via Appia Antica
Kauhidupkan Romulus sejak baris ke-777
Buku keenam. Bagian yang paling diingat
Dari dirinya oleh orang-orang sekarang
Adalah bekas kakinya di ujung jalan
Di batu terakhir yang tak terambil
Ketika jalanan ini diperbaiki.
Di sini Statius memutuskan warna
Baju pertama yang digunakan Akhilleus kecil
Ketika menerakan “Magnanimum”
Memulai rangkaian epik yang tak selesai.
Kau dengar juga jejak kaki para Saulus,
Dari masa lalu, tergesa-gesa, memburu
Para penyantap lima roti dan dua ikan
Diselingi suara tembakan.
Kicau biru burung-burung, udara hijau
Bikin orang-orang seperti Strozzi dan Bentivoglio
Akan mudah mengambil siapa pun
Untuk sebuah kisah di Skyros, termasuk
Tokoh-tokoh Yunani dari puisi-puisi Latin
Yang mereka kenal: Orpheus dari Georgica,
Ariadne dari Catullus 64,
Daphne dari Metamorfosis, para gembala
Dari Ecloga, Dido dari Aeneis,
Dan jalan ini berubah jadi sebuah panggung
Di Venezia 1641 atau Ferara 1663,
“Wahai pembaca, lihatlah Akhilles bertopeng
Di hadapanmu, di hari-hari Karnaval ini.”
Romulus memasuki mausoleumnya. Di dekatnya
Ada reruntuhan gereja, dan sepasang pengantin
Yang berpose untuk foto pernikahan. Kau
Akhirnya mengerti, mengapa di helai
Daun populus yang gugur Vergilius
Menulis “di bawah bayang-bayang”
Sebagai penutup epiknya.
Sebagian lain penyusun jalan ini adalah
Bayang-bayang abadi, seperti cahaya,
Dan kisah sebatang populus di Mantua.