Catatan untuk Haters Bu Tejo
“Siapa tadi yang sepuluh ribu?” tanya Bu Tejo dalam bahasa Jawa.
“Kasihan, ya, Bu Lurah,” seorang ibu berbicara kepada ibu lainnya.
“Kelihatannya sakit-sakitan terus, ya?”
“Udah semuanya, ya, ini (uang sumbangan)?” tanya Bu Tejo lagi.
“Udah!”
“Aku masukkan amplop, ya!”
“Iya!”
“Semua jadi saksi, ya!”
“Iya!”
Sebuah truk membawa rombongan ibu-ibu dari sebuah desa di Yogyakarta. Mereka hendak menjenguk Bu Lurah yang tengah sakit keras. Dian (Lully Syahkisrani) menjadi topik utama dalam percakapan di dalam bak truk itu. Dian adalah seorang gadis desa yang cantik dan dikabarkan suka menggoda lelaki desa, termasuk para suami. Melalui informasi dari Bu Tejo (Siti Fauziah), Dian adalah perempuan yang nakal yang senang kencan dengan om-om. Yu Ning (Brilliana Desy), sebagai saudara dari Dian, tentu saja, membantah kabar itu. Ia percaya bahwa kabar tentang Dian yang keluar dari mulut Bu Tejo 100% salah. Bahkan, di dalam truk itu, Bu Tejo dan Yu Ning sempat berdebat hebat. FYI, kabar sakitnya Bu Lurah bersumber dari Dian dan diteruskan oleh Yu Ning.
Setelah melalui jalan yang cukup jauh, akhirnya mereka sampai di rumah sakit. Namun, sialnya, mereka tidak bisa menjenguk karena Bu Lurah sedang di ICU. Lantas, mereka kecewa dan menyalahkan kejadian ini kepada Yu Ning karena Yu Ning membawa kabar yang tidak benar tentang Bu Lurah.
Kutipan dialog dan sinopsis di atas diambil dari film Tilik (2018) yang disutradarai oleh Wahyu Agung Prasetyo dan diproduksi oleh Ravacana Film. Film ini meraih beberapa penghargaan Piala Maya sebagai film pendek terpilih. Pada Agustus 2020 ini, film ini viral di Youtube dengan 11 juta penonton sampai tulisan ini dibuat.
Kutipan di atas adalah dialog awal film ini. Suara Bu Tejo begitu khas karena ia mendominasi seluruh perbincangan di atas truk. Dari mulutnya, kabar-kabar yang mungkin dianggap gosip atau hoaks keluar. Karena itu pula, penonton pasti tidak akan simpati kepada sosok ini. Penonton akan lebih bersimpati pada Yu Ning. Ia selalu kritis terhadap kabar yang disampaikan Bu Tejo. Padahal, kadar kekritisan Yu Ning hanya berlandaskan pada hubungan kekerabatannya dengan Dian.
Inilah alasan keunggulan film ini. Film ini mencoba mengonstruksi “tokoh jahat” yang disematkan kepada Bu Tejo. Bu Tejo, yang sejak awal menolak simpati penonton, justru menjadi hero di film ini.
Bu Tejo memiliki jiwa pemimpin—dan kabarnya suaminya akan mencalonkan diri sebagai lurah dan ia sangat cocok jadi Bu Lurah selanjutnya. Kutipan di awal menunjukkan bahwa ia memiliki keahlian manajemen. Ia mengumpulkan uang sumbangan dalam sebuah amplop. Meski sebagian yang lain tidak peduli atas hal yang dilakukan, Bu Tejo tetap menjalankan perannya dengan baik. Bahkan, ia meminta ibu-ibu untuk menjadi saksi bahwa tidak ada seperak pun uang yang ia lipat masuk ke kantong celananya. Bu Tejo pun mampu menggiring opini. Ia berhasil membuat ibu-ibu percaya bahwa kabar yang ia sampaikan bukanlah kabar burung belaka. Ia juga dapat menyelamatkan Gotrek, si supir truk, dari penilangan. Di akhir cerita, Bu Tejo mampu mengambil keputusan saat rombongan ibu-ibu itu gagal menjenguk Bu Lurah; menyelamatkan ibu-ibu dari kekecewaan itu.
Di akhir cerita, penonton pendukung Yu Ning akan kecewa karena anggapan Yu Ning tentang Dian boleh jadi salah. Penonton akan pula kecewa pada film ini bahwa “si penyebar hoaks”, Bu Tejo, akhirnya menang?
Film ini bukan hanya menyoal hoaks atau gosip, melainkan lebih dalam dari itu. Film ini memotret kehidupan masyarakat perdesaan yang masih memiliki ikatan satu sama lain. Dominic Strinati, dalam buku Popular Culture (2016), membuat perbedaan antara masyarakat perdesaan dan perkotaan. Menurutnya. Masyarakat perdesaan adalah masyarakat yang memiliki kolektivitas yang kuat. Kolektivitas itu dibangun melalui institusi yang terdapat di desa, yakni institusi agama (masjid atau gereja) dan sosial kemasyarakatan (RT, RW, kelurahan, dsb.). Sebaliknya, masyarakat perkotaan, menurut Strinati, adalah masyarakat yang teratomisasi, teralienasi, dan terisolasi—secara sederhana dapat disebut sebagai manusia yang individualistis. Hal ini disebabkan oleh ketercerabutan mereka dari institusi yang ada di desa, tempat mereka tinggal sebelumnya.
Sekali lagi, dalam film Tilik, penonton dapat melihat gambaran masyarakat perdesaan. Penonton dapat melihat cara mereka membangun keterikatan atau kolektivitas itu. Bahkan, mereka dapat mengetahui kabar berita tentang warganya, salah satunya Dian. Di dalam bak truk itu, mereka membangun kekuatan untuk menentang Dian sebagai usaha untuk menjaga keutuhan institusi sosial mereka sampai yang terkecil: keluarga. Mereka mengonstruksi norma mereka tentang perempuan baik dan perempuan nakal dan cara yang baik dalam berperilaku di tengah masyarakat. Meski, bagi sebagian orang, norma itu akan mengekang dan menghukum manusia, kita harus mafhum bahwa itulah mekanisme masyarakat perdesaan sebagai usaha untuk mengokohkan dan menjaga komunitasnya.
Bu Tejo hadir sebagai sosok yang mampu membangun kolektivitas itu. Ia menyadarkan tetangganya bahwa desa mereka memiliki masalah: perempuan nakal dan pemimpin yang sakit-sakitan. Meski caranya terlihat ugal-ugalan, setidaknya, Bu Tejo menjadi dirinya sendiri, autentik! Memang, ia tidak selalu berusaha membangun citra positif tentang dirinya—jika ia ingin membangun citra positif tentang dirinya tentu penonton akan bersimpati kepadanya.
Bu Tejo bukanlah penyebar berita bohong—meski ada bumbu di dalam beritanya, entahlah. Ia menganalisis dengan media sosialnya dan memperkuat argumentasinya dengan saksi-saksi, berbeda dengan Yu Ning. Argumentasi Yu Ning hanya bersandar pada hubungan kekerabatan. Sementara itu, Fikri (Hardiansyah Yoga Pratama), anak Bu Lurah, si generasi milenial, sosok yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang kota—karena kurang bergaul dengan warga desa, tidak pernah percaya dengan berita tentang Dian yang tersebar di antara warga desa.
Dalam film ini, tokoh Bu Tejo berhasil menjadi inspirasi dan mampu menyediakan solusi bagi ibu-ibu di dalam truk, truk yang akhirnya parkir di depan Pasar Beringharjo. Atas alasan-alasan itu, kita membutuhkan Bu Tejo dalam kehidupan kita.