Fb. In. Tw.

Dongeng Pengelola Rumah Baca Manyar

Mengelola taman bacaan masyarakat di kampung itu ngeri-ngeri sedap. Bagaimana tidak ngeri, masyarakat yang selama ini hanya tahu bahwa buku itu berada di perpustakaan sekolah serta hanya khusus dibaca oleh pengisi sekolahnya, kini hadir di tengah-tengah mereka dan bisa dipinjam untuk dibaca.

“Apa gunanya kumpulan buku yang harus dibaca itu bagi kami? Buang-buang waktu saja. Mendingan cari duit daripada menghabiskan waktu dengan membaca buku.” Mungkin begitu racauan dalam kepala mereka ketika mendengar penjelasan saya tentang Rumah Baca Manyar, taman bacaan yang saya kelola.

Saya tidak mengada-ada dan melebih-lebihkan. Selama hampir sepuluh bulan mengelola Rumah Baca Manyar (RBM), dari sekian ratus kepala orang dewasa di tiga kampung, hanya satu orang yang rutin meminjam dan membaca koleksi buku di sekretariat sementara RBM.

Kalau anak-anak agak lumayan. Sampai detik ini ada sekitaran lima anak yang suka mengembalikan dan meminjam buku. Jumlah pembaca yang agak mending itu tidak lain berkat program Ngidong yang saya lakukan satu kali dalam seminggu.

Ngidong merupakan akronim dari ngider dongeng (dongeng keliling). Dengan Ngidong, saya mengajak anak-anak usia pra sekolah dan SD untuk berkumpul di rumah untuk menyaksikan saya “membusa” tentang dongeng Kancil dan Buaya atau tentang Hikayat Anak Ayam: dongeng yang saya karang sendiri ketika bahan dongeng sudah habis. Kemudian setelah selesai mendongeng, saya persilakan anak-anak untuk memilih buku yang sengaja saya bawa sebagai bekal bacaan di rumah selama satu minggu.

Dari Ngidong itulah saya mulai merasakan sedapnya mengelola taman bacaan. Belum habis seminggu, mereka sudah datang ke rumah saya yang merangkap sekretariat RBM itu. Mereka mengembalikan buku yang sudah dibaca dan tentunya ingin meminjam buku lagi. Celakanya koleksi buku anak di RBM tidak banyak. Jadi, meskipun tukar guling buku yang sudah dibaca dari satu anak ke anak yang lain sudah dilakukan, lama-kelamaan buku itu usai juga dibaca oleh keseluruhan anak.

Anak-anak pun kehilangan alasan untuk melanjutkan kebiasaan membaca mereka.

Selain pada anak-anak, aksi Ngidong saya tujukan juga pada orang tua. Aksi ini tidak saya lakukan dengan mengajak mereka untuk berkumpul dan melihat saya berbuih di depan mereka, tetapi dikunjungi secara perorangan langsung ke rumah yang kira-kira akan menerima niatan saya.

Puji Tuhan. Ada dua rumah yang bersedia saya dongengi, yaitu rumah Bapak Rehaban dan Bapak Ruchman. Kepada mereka saya bacakan cerpen-cerpen karya pengarang Sunda, Indonesia, dan dunia. Harapan saya tidak muluk-muluk, yang penting mereka mau menerima dan terhibur dengan pembacaan saya. Hal itu sungguh menyedapkan hidup dan menambah energi saya untuk terus bergerilya dalam dunia perliterasian.

Dari sekian cerpen yang saya bacakan kepada mereka, ada beberapa cerpen yang berkesan dalam benak mereka, yaitu Bedug ti Nagri Ajrak karya Ahmad Bakri, Kawung Ratu karya Wahyu Wibisana, Mang Konod jeung Bandar Munding karya H. Usep Romli, Tak  Ada Jalan Lain karya Y.B. Mangunwijaya, dan Tuhan Tahu Tetapi Dia Menunggu karya Leo Tolstoy.

Indikator keberkesanan saya simpulkan dari reaksi mereka ketika menyimak cerpen yang saya bacakan. Misal ketika saya membacakan Bedug ti Nagri Ajrak, Mang Konod jeung Bandar Munding, dan Tak Ada Jalan Lain di depan Bapak Rehaban dan istrinya. Meski dalam keadaan sakit dan terbaring di ranjang, Bapak Rehaban bersama istri berkali-kali tergelak karena kelakuan tokoh-tokoh dalam cerpen yang saya bacakan. Sedangkan dari mendengar pembacaan Kawung Ratu dan Tuhan Tahu Tetapi Dia Menunggu mampu membuat mereka tercenung dan kagum dengan ketabahan tokoh dalam cerpen tersebut.

Hal sedap lain dari Ngidong adalah ucapan terima kasih yang tulus dari mereka serta permintaan untuk datang kembali minggu berikutnya. Dan bonus sedap tak terhingga lainnya datang dari Ibu Yuniara, istri Bapak Ruchman, yang meminta antologi cerpen yang saya baca untuk ditinggalkan selama seminggu. Tentunya buku tersebut akan dia baca, bukan untuk dijadikan bantal.

Sayangnya Bapak Rehaban meninggal Februari lalu.

Setelah itu masa PSBB pun berlaku. Otomatis saya pun menghentikan Ngidong hingga sekarang. Saya tidak mau mengambil risiko (bila saya terjangkit) menularkan virus edan itu kepada kedua keluarga yang sudah sepuh.

Mabar
Upaya berikutnya yang saya lakukan agar RBM tetap hadir di tengah masyarakat yang belum ngeuh adalah Mabar. Mabar adalah kegiatan membaca bersama Roman Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya. Mabar itu membaca lambat. Setiap peserta hanya membaca satu paragraf. Saya sebagai mentor akan membahas dan menjelaskan dengan rinci isi dari paragraf tersebut. Ketika pembahasan dan penjelasan sudah disampaikan, pembacaan dilakukan oleh peserta berikutnya, begitu seterusnya selama kurang lebih dua jam.

Peserta Mabar adalah keponakan dan anak tetangga.

Metode membaca seperti ini memang akan memakan waktu yang lama serta membutuhkan ketahanan dan kesabaran dari mentor dan para peserta. Namun dari upaya ini saya menemukan bahwa penyerapan makna dan informasi dari novel yang akan peserta dapatkan itu sedikit demi sedikit tetapi mendalam dan menyeluruh.

Saya memilih Roman Burung-burung Manyar karena latar sejarah. Alasan saya memilih roman karya Romo Mangun ini karena Burung-burung Manyar merupakan cerita panjang yang mengambil latar tiga masa, yaitu masa kolonial, masa revolusi, dan masa awal Orde Baru berkuasa.

Dengan demikian, melalui pembacaan roman ini, sedikit demi sedikit para peserta Mabar mendapat tambahan pengetahuan tentang sejarah bangsa dan negara mereka: Indonesia. Selain itu, dalam roman ini juga menekankan bahwa gagasan kemanusiaan itu di atas segalanya, termasuk nasionalisme, yang menurut pikiran sederhana saya cocok sebagai pembelajaran untuk memahami dan mencintai negara dengan akal sehat.

Selain mendapat pelajaran tambahan sejarah nasional Indonesia pada masa revolusi, melalui Mabar pula saya ceritakan sejarah lokal tentang generasi kakek buyut mereka (orang-orang di kampung kami) yang ambil bagian dalam mempertahankan republik pada masa agresi militer Belanda (baca Kompi Kristen di Batalion Hizbullah: historia.id). Dengan begitu, tanpa mereka sadari saya tanamkan kesadaran kepada para peserta Mabar untuk mengambil peran seperti kakek buyut mereka dalam membangun dan mempertahankan negeri ini, karena mereka bukan alien di tengah bangsa yang besar dan beragam ini.

***

Demikian dongeng singkat saya sebagai pengelola dari Rumah Baca Manyar yang baru berusia sepuluh bulan. Apa yang saya tulis di sini bukan bermaksud untuk mengglorifikasi diri sendiri. Melalui tulisan ini saya hanya ingin menyampaikan bahwa mengelola taman bacaan itu ternyata tidak sama dengan membalik telapak tangan, tetapi jika terus diupayakan tentu akan terlihat hasilnya. Itu saja.

KOMENTAR
Post tags:

Pernah mengajar Bahasa Indonesia di Universitas Mae Fah Luang, Chiang Rai, Thailand. Saat ini dia sedang merintis sebuah ruang baca, seni, dan budaya bernama Rumah Baca Manyar di kampung Seuseupan, desa Sindangsari, Ciranjang-Cianjur.

You don't have permission to register