Fb. In. Tw.

Memegang Ucapan Lelaki Dalam Hari Terakhir di Rumah Bordil

Begitu novela Hari Terakhir di Rumah Bordil karya Bode Riswandi sampai di tangan saya, tentu bersegera saya membaca halaman terakhir, dan menemukan kalimat-kalimat yang rasanya tak asing. Seperti déjà vu, saya melihat adegan demi adegan yang berkelebatan di ingatan. Yakin betul, saya kenal adegan di halaman terakhir yang saya baca itu. Setelah mengingat-ingat, ternyata itu adalah salah satu adegan dari pentas keliling kelompok Teater 28 ketika mampir ke kota saya tinggal, beberapa waktu lalu. Dialog para tokoh dalam pentas teater dengan judul “Lakon yang Ditulis Kemudian” sangat berkesan bagi saya, terutama bagian paling mengiris perasaan ketika tokoh perempuan yang telah menyerahkan seluruh hidupnya dengan alasan cinta, malah teperdaya dengan cintanya sendiri yang jujur dan lugu itu. Saya merasa gemas sekaligus marah.

Kisah dalam novela ini dibuka dengan empat setengah halaman bertajuk “Ini Bukan Pengantar, Mungkin Pengarang Sedang Mabuk” yang dengan lugas berkata bahwa perempuan adalah kunci! Betul, saya setuju dengan kalimat tersebut. Perempuan sering dikatakan sebagai makhluk halus, yang lebih mengedepankan rasa daripada logika. Tapi perempuan juga adalah makhluk yang kuat, berani menanggung apa saja yang jadi takdirnya, bahkan kepada lelaki bajingan yang selalu mereka cintai.

Populasi para bajingan di dunia ini jumlahnya jauh lebih banyak daripada orang baik-baik. Bisa satu banding milyaran. Dan baik yang bajingan dan yang baik, sama-sama keluar dari ‘nganu’ perempuan. (hal. 8)

Penulis seakan menegaskan bahwa perempuan yang sering dianggap lemah itu, perlu diakui ternyata memiliki kekuatan yang tidak mungkin bisa dipikul para lelaki, yang bersembunyi dalam kegagahan dan stigma masyarakat sebagai pelindung perempuan, sebagai orang yang lebih berkuasa kedudukannya dibanding perempuan.

Ada dua kisah yang berbeda dalam novela setebal 128 halaman ini, tapi memiliki benang merah tokoh dari cerita satu dan lainnya. Meski demikian, sayang sekali kisah pertama rasanya masih nanggung dan meninggalkan rasa penasaran. Magdalena, sang benang merah itu, merupakan mucikari yang sama dari kedua tokoh utama yang diceritakan. Pada bagian pertama, dikisahkan betapa perempuan selalu terpojok oleh keadaan dan situasi.

Kenaifan gadis-gadis kampung yang lugu dan sering dimanfaatkan oleh oknum, sudah sejak lama menjadi kisah yang lumrah terdengar, terbaca, dan memang banyak terjadi di dunia nyata. Mimpi manis merah jambu akan rumah tangga idaman yang mulus bersama sang kekasih jadi hancur berantakan sejak mereka ditawari bekerja di kota dan dijebak masuk dalam pusaran bisnis berahi lelaki hidung belang. Tak ada yang berani melawan pada kekuasaan Magdalena, sang mucikari yang memiliki berbagai trik untuk mempertahankan anak buahnya.

Dalam pengisahan pertama, kengerian digambarkan dalam kebiadaban Mami ketika Yanti, salah satu perempuan yang tubuhnya dijadikan komoditas, melakukan perbuatan nekat: kabur. Sayangnya misi kembali ke jalan yang benar dan mimpi menikah dengan Firman, kekasih pujaan, harus raib bersama dengan kepolosan lainnya yang menyebabkan Yanti kehilangan kewaspadaan dalam pelariannya. Yang lebih menyedihkan lagi, ketika Firman menyambangi rumah bordil tempat Yanti bekerja dan mendapatkan informasi yang membuat pembaca terhenyak.

Sayangnya, Bode Riswandi, sang penulis, tidak merinci bagaimana Firman akhirnya tahu bahwa Yanti bukan bekerja sebagai karyawan pabrik tekstil seperti yang diketahui oleh keluarga dan orang-orang di kampung mereka. Ada semacam kejanggalan dan sedikit lompatan cerita yang membuat pembaca menerka-nerka bagaimana nasib Firman yang pulang kampung setelah menerima informasi bahwa Yanti menunggunya di sana.

Awalnya saya pikir ketika masuk bab bertajuk “Yang Datang dan Pergi” akan terselip petunjuk yang menghubungkan dengan cerita “Sukat” di bab selanjutnya. Tapi sampai berlembar-lembar halaman, saya lagi-lagi hanya bertemu dengan Magdalena, dan Sukat, agen mucikari yang menjerumuskan Yanti dan Dahlia. Nama terakhir itu merupakan perempuan yang bisa membuat Sukat tidak tenang dan kesengsem. Perempuan yang akhirnya bisa membuat Sukat sang Don Juan bisa takluk dalam pesona cinta dan kecantikannya. Namun takdir selalu membawa manusia pada hal-hal tak terduga. Ketika impiannya membangun rumah tangga dengan Dahlia sedang mekar, Sukat harus perang batin untuk memilih menyelamatkan nyawa atau mewujudkan harapan cinta yang telah menjeratnya.

Menarik membaca kisah para perempuan yang terpaksa berada dalam jebakan keadaan. Kegetiran nasib perempuan yang terpaksa jadi “barang dagangan” itu tak melulu karena alasan ekonomi, tapi bahkan bisa jadi karena cinta! Iya, cinta yang dijadikan alat untuk memperdayai ketulusan hati perempuan pada lelakinya.

Tak pernah ada yang bisa menerka arah hidup seseorang. Pun demikian dengan para perempuan yang dikisahkan dalam buku ini. Bagaimana akhir hidup mereka dan perjuangan mereka menjalani hari-hari demi bertahan dari remuk redam perasaan yang harus mereka tutupi demi menyelamatkan nyawa, demi menunggu hari pembalasan tiba.

Kita telanjur menerakan cap negatif kepada perempuan yang terpaksa menjajakan diri itu. Kita memberikan nama-nama yang jumlahnya puluhan itu sebagai kata ganti untuk pekerjaan dan status mereka. Kita telanjur menganggap mereka sebagai perempuan kotor dan kehilangan martabatnya. Tetapi bukankah itu juga berasal dari ketidakberdayaan mereka menghadapi kerasnya hidup yang disuguhkan?

Betapa ringannya mulut kita melabeli seseorang itu pelacur, lantaran kerjanya menjajakan kehormatannya. Jika atas nama kehormatan yang digadaikan, apakah hal lain di luar itu bisa dibilang pelacur? Seorang pejabat negara yang rakus makan duit rakyat, agamawan yang menjual ayat-ayat demi kepentingan partai dan golongan, para hakim yang memutuskan pasal pada berapa besar pasokan yang diterima, teori-teori kaum intelektual tercerai dari realitas kemasyarakatan, atau para seniman yang pandai menulis derita sosial menguatkan pada diksi namun kopong dalam aksi. (hal. 102)

Satu paragraf tersebut terasa menohok, bukan? Kenapa hanya pada perempuan yang tak berdaya itu kita menyematkan predikat tersebut? Apakah ini juga akibat stigma yang dibangun oleh para lelaki yang dengan jumawa mendudukkan perempuan sebagai objek, sebagai persona yang bisa diatur bagaimana mereka suka?

Yang menarik dari bagian akhir novela ini adalah kekeraskepalaan Dahlia yang menunggu Sukat penuh dendam rindu hanya untuk mengatakan: “Perempuan yang dipegang kesetiaannya, dan lelaki ucapannya!” kemudian melakukan apa yang ditunggu selama 48 tahun! Bayangkan! Betapa lama waktu untuk membuktikan kesetiaan dan menunjukkan kekuatan cintanya yang berselimut dendam!

Sebagai penyeimbang, suatu kelebihan selalu menyertakan kekurangan. Begitu pun dengan buku ini. Memang, di beberapa halaman saya menemui beberapa “ganjalan”:  salah ketik, dan kata-kata yang biasa disematkan sebagai diksi khas puisi-puisi Bode Riswandi. Selain itu, kata-kata yang mestinya merupakan bahasa lisan terasa kurang pas dijadikan kata-kata dalam tulisan. Di halaman terakhir, ada sedikit blunder, tentang posisi Dahlia yang memeluk Sukat, tapi kemudian kalimat lain menerangkan Dahlia berada di belakang Sukat, dan kalimat pamungkas bagaimana mata Sukat menatap ke arah Dahlia. Andai saya tak melihat pementasan teater dari kisah ini, gambaran visual atas adegan itu bisa membuyarkan imaji saya.

Suka atau tidak pada gaya penceritaan Bode Riswandi dalam novela pertamanya ini, berpulang pada selera masing-masing. Tapi sebagai seseorang yang kerap membaca karya-karya Bode, cerita realis dalam buku ini terasa lebih dekat dengan keseharian di sekitar kita. Maksud saya, jika dibandingkan dengan kisah dalam cerpen-cerpen Bode yang surealis, bahkan kadangkala absurd.

Baiklah, saya sarankan Anda membaca sendiri kisah perempuan-perempuan yang berusaha setegar karang memamah sajian nasib dalam hidupnya sebagai takdir yang harus dilakoni. Dan memahami bagaimana kalimat “wanita yang dipegang kesetiaannya, dan lelaki ucapannya” itu meresap ke dalam pemikiran Anda.

Identitas Buku
Judul               : Hari Terakhir di Rumah Bordil
Penulis            : Bode Riswandi
Tebal               : 128 halaman
Penerbit          : BASABASI
Cetakan         : I, Februari 2020
ISBN                 : 978-623-7290-63-6

KOMENTAR
Post tags:

Menulis puisi, cerpen, dan artikel. Aktif di Himpunan Sastrawan dan Dramawan Garut (HISDRAGA), serta di Penyair Perempuan Indonesia (PPI). Telah menulis 6 buku puisi tunggal dan 2 kumpulan cerpen. Buku cerpen terbarunya berjudul Perempuan yang Berhenti Membaca terbit November 2020.

You don't have permission to register