Semenakjubkan Apakah Puisi Itu, Willy?
Seberapa jauhkah jarak antara Ramadhan KH (1927) dan Willy Fahmy Agiska (1992)? Apa yang masih bisa menautkan “Priangan Si Jelita” (1956) dan “Mencatat Demam” (2018)? Saya ingin membandingkan keduanya dalam tulisan ini dengan sejumlah alasan, yakni mereka adalah penyair Indonesia yang berasal dari Jawa Barat dan tumbuh dalam budaya Sunda. Ramadhan lahir di Bandung, lalu berpindah-pindah hidup di kota Cianjur, Sukabumi, Bogor, dan kembali ke Bandung. Willy lahir di Ciamis, kemudian menetap di Bandung, akan tetapi buku puisinya itu diterbitkan oleh sebuah penerbit indie beralamat di Ciamis. Latar budaya Sunda, citraan alam Parahyangan terbawa ke dalam sajak kedua penyair, dengan kadar yang tentu saja sangat berbeda, dan karenanya bagi saya, hal itu menarik untuk diperhatikan. Tanah Sunda dengan daya pikat dan pesonanya, dengan kepedihan dan kemolekannya, akan melahirkan syair dan para penyairnya.
Para penyair berlatar budaya Sunda, umumnya punya kesadaran yang kuat bahwa mereka adalah penyair, sebuah posisi yang tak jelas letaknya dalam peta sosial masyarakat itu. Kesadaran itu muncul atau terlihat dalam sajak (sebutlah dalam puisi yang metapuisi) atau dalam bagian sajak lain. Kita bisa menemukan itu pada sajak-sajak (sekadar menyebut beberapa nama dan sajaknya yang teringat) Saini KM, Wing Karjo, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar, Acep Zamzam Noor, dan tentu juga pada dua penyair yang hendak kita bicarakan.
Kita kutip lebih dahulu Ramadhan. Pada sajak 2., bab III Pembakaran “Priangan Si Jelita” ia menulis.
Penyair
kayu pertama
di tumpukan pembakaran
Penyair
abu landasan
di tumpukan reruntuhan
Bait ini bisa dibaca sebagai teks yang mandiri, tapi ia juga terkait dalam satu koherensi pada rangkaian sajak dalam buku itu. Apakah pembakaran yang dimaksud? Tindakan besar agar terjadi sebuah perubahan yang bikin diri menjadi lebih baik. Dara! Kalau mau ganti warna, meski ada pembakaran! Dara, Si Jelita Priangan itu, sedang dibujuk, diingatkan dengan manis dan pedih. Dan penyair dengan gagah meyakinkan, bahwa dialah orang pertama di tumpukan pembakaran itu. Maka, jangan ragu.
Dara!
Bimbang hanya
Mencekik diri sendiri!
Dara!
Takut hanya
Buat makhluk pengecut
Pada 2015, enam puluh tahun setelah Ramadhan menulis sajaknya, Willy menuliskan sajak “Jika Aku Tak Menulis Puisi”.
Jika aku tak menulis puisi
aku merasa tak berada di mana-mana
seperti udara – jika tak menyentuh apa-apa.
Jika aku tak menulis puisi
seperti takkan pernah mengerti kangen dan cinta
yang dipuja manusia itu semenakjubkan apa.
Saya ingin menautkan kedua sajak dan kedua penyair lewat jalan ini, yaitu jalan kesadaran penyair menempuh perannya sebagai pencatat kesaksian, mungkin juga pemberi peringatan. Karena persoalan hidup zaman ke zaman bukannya tak teratasi tapi berulang datang. Seperti virus yang tak bisa dimusnahkan. Manusia hanya membangun imunitas dalam tubuh agar bisa hidup damai dengan sang virus. Dan virus itu terus-menerus bermutasi.
Di hadapan hidup yang demikian, penyair yang sadar bahwa dia adalah kayu pertama di tumpukan pembakaran, harus terus menulis puisi, peran utamanya itu: Penyair paling setia/mengajak sekali waktu untuk bersikap (Ramadhan, 1956), karena jika tidak, maka (dengan kutipan dan sambungan dari larik Willy) hidup akan terasing dari persoalan, tak menapak pada bumi dengan segala persoalannya, tak berada di mana-mana, tak menyentuh apa-apa, tangan tak sampai pada remas dadamu, juga tak merasakan penderitaan migrain seorang ibu.
Begitulah, saya melihat Willy dalam cakrawala perpuisian yang ia masuki, telah menyinambungkan dan sekalian memperbaharui apa yang dilakukan oleh pendahulunya, Ramadhan KH. Itu sebuah upaya yang besar harganya. Dalam kerangka sejarah, di bidang apapun, dan apapun yang kita perbuat, maka kita tak bisa lepas dari empat kemungkinan: menyinambungkan, mengulangi, memperbaharui, atau mengubah sama sekali apa yang sudah ada di masa lalu. Apapun yang kita lakukan hari ini, bisa menyumbangkan sesuatu yang berharga, atau mungkin hanya nonsens. Demi kemajuan sastra, tentu saja kita harus getol dan gandrung pada penyair dan karya dengan pencapaian-pencapaian baru, lewat penyinambungan yang segar, pembaharuan yang tetap berpijak pada bumi, dan perubahan yang memperluas wilayah estetis. Pengulangan yang hanya sekadar pengulangan, apa boleh buat, harus kita abaikan.
Yang juga disinambungkan oleh Willy dari Ramadhan adalah perhatiannya pada alam Priangan, tentu lewat sudut pandang, bangunan kesadaran, dan jalan penghayatan yang berbeda. Ia menulis sajak “Di Bandung Selatan” dan “Di Bawah Langit Bungbulang”. Keduanya adalah sajak imajis yang kuat, dengan sedikit bumbu sajak liris. Coba kita perhatikan bagaimana Willy membangun citraan dalam sajak imajisnya ini.
Di Selatan, udara adalah seseorang
dengan temperamen yang permanen.
Orang-orang dan pohon-pohon bernapas
atas bubuk-bubuk bukit pengerukan
dan bau pabrik coklat
yang makin mirip saudara dekat.
Saya tak akan berani meremehkan penyair dengan kemampuan membangun bait dengan citran sepadat dan sekuat apa yang dilakukan Willy pada baitnya ini. Serentak saya disergap citraan visual (penglihatan), citraan auditori (pendengaran), citraan taktil (rabaan/sentuhan), citraan gustatori (pengecapan), citraan olfaktori (penciuman), citraan organik (emosi internal), citraan kinestetik (gerak, energi), hanya lewat upaya puitikanya menjelaskan tentang udara di Bandung Selatan. Udara itu jadi hidup, dengan emosi seperti seseorang yang pemberang atau temperamental. Saya seperti disuguhkan visualisasi dari udara beruap yang keluar dari napas orang dan pohon, dan juga mencium aroma coklat dari pabrik. Semuanya, secara emosi pun masih bisa membetot saya lewat citraan organik dari larik makin mirip saudara dekat.
Sementara pada sajak “Di Bawah Langit Bungbulang”, Willy menunjukkan kemampuannya menulis lirik yang juga sangat kuat, yang berhasil menerjemahkan sentimen yang abstrak itu menjadi berwujud lewat bahan-bahan yang ia kenal dan amati dengan cermat.
Kesepian adalah gravitasi.
Selalu menarik-narik
dan menidurkan tubuh kita
sebagai anak-anak pulas
yang papa.
Aha, sepi yang terkenal itu adalah virus yang ada bertahan dalam jiwa semua manusia, bukan? Willy terhindar dari klise yang boyak, pengulangan yang hambar ketika ia ucapkan kesepiannya itu dengan segar lewat sebuah metafora yang diperluas: kesepian adalah gravitasi (yang) selalu menarik-narik dan menidurkan tubuh kita (dan sebuah metaphor lain lagi) sebagai anak-anak pulas yang papa.
Tapi apa yang Priangan, apa yang Bungbulang pada bait itu? Bukankah gravitasi itu ada di mana-mana? Mungkin kita bisa rasakan suasana pastoral pada Bungbulang, sebuah nama yang mengingatkan saya pada salah satu nama kecamatan di Garut (tempat saya KKN dulu), lewat bait lain dalam sajak yang sama.
Dan seperti capung-capung
atas tangkai-tangkai jagung itu,
kita ialah pendatang sementara
atas apa saja, atas siapa saja.
Ini bait tentang kesementaraan. Capung dan tangkai jagung, dua gambar yang lazim. Tapi ketika yang satu singgah atau hinggap pada yang lain, yang terasa memang sebuah kesementaraan, jika bukan kesia-siaan. Pada tangkai dan rambut jagung-jagung itu juga singgah lebah atau kupu-kupu. Maka kita yang capung, bagi hidup yang jagung, memang hanya terhubung lewat sebuah singgah yang tak sampai tercipta sebuah permutualan. Willy, dalam hal ini, adalah seorang pencatat dan pengamat yang jeli. Modal penting bagi seorang penyair untuk menulis sajak imajis dan sajak liris.
Saya masih melihat banyak hal lain bisa dicatat dari sajak Willy. Pada beberapa sajak, ia menempuh cara Goenawan Mohamad menghadirkan alusi lewat nama-nama tokoh yang memikat perhatiannya. Pada sajak lain, ia membangun cara ucap yang mengingatkan pada Afrizal Malna, dan sedikit bayang-bayang Sutardji Calzoum Bachri. Itulah yang saya sebut sebagai berkah dan kutukan bagi penyair yang datang kemudian. Jika tidak kuat, maka selama ia menempuh jalan sementara di kapling-kapling penyair terdahulu, ia hanya akan melakukan pengulangan-pengulangan.
Penyair yang baik adalah dia yang sadar memungut benih berlimpah yang tersedia di taman dan kebun penyair terdahulu, lalu melakukan percobaan, menghibrid agar lahir kultivar puisi baru. Dan Willy melakukan itu. Terhadap Afrizal misalnya, Willy saya lihat dengan selektif menuang sesendok yang ia ciduk dari kekentalan sajak Afrizal, lalu melarutkannya pada seduhan baru miliknya sendiri. Masih terasa ada aroma Afrizal, tapi suguhan Willy adalah sebuah oplosan baru yang segar.
Anjing!
Dusta menyalak tengah malam
minta sepotong batin.
(Apologia tengah Malam)
Anjing!
Seonggok dagingku fana,
seperti dunia! – tapi tidaklah Bahasa.
(Tengah Malam Buat Anjing)
Saya ingin tutup ulasan ini, tapi pembicaraan atas sajak Willy terlalu sayang untuk diakhiri, dengan kutipan dua sajak di atas. Saya percaya kreativitas lahir dalam ketegangan. Willy berada dalam dan sedang merawat ketegangan itu. Sebuah ketegangan besar, yaitu kepercayaan pada bahasa dan kesadaran bahwa apa yang ia percaya itu sedemikian rapuhnya. Di satu waktu, dia merasa menemukan diri kaku sebagai batu karena kata-kata hilang ucap, tapi di waktu lain dia percaya pada “bahasa” yang mengatasi kefanaan dunia. Selama masih merasakan ketegangan itu, merasakan diri sebagai seorang penyair yang terusir, yang menulis Tuhan dengan palus, juga bila ia memasuki wilayah ketegangan lain yang baru, maka kepenyairan Willy akan terus melesat. Dan lewat sajak-sajaknya yang kelak datang lagi, kita menemukan jawaban lagi: puisi memang bisa terus memukau dan menakjubkan kita.