Joker: Politik Pembangunan, Obat, dan Ibu
Pada minggu ini, Kompas (6/10) membuka resensinya atas film Joker (2019) karya sutradara Todd Phillips dengan kekhawatiran orang Amerika terhadap efek film ini. Mereka khawatir bagaimana jika aksi copycat (peniruan) akibat film ini?
Ditulis Washington Post, glorifikasi terhadap tokoh Joker dikhawatirkan dapat menginspirasi orang gila untuk melakukan penembakan. James Holmes menjadi kambing hitam atas kekhawatiran itu. Pasalnya, pada 20 Juli 2012, ia melakukan penembakan terhadap penonton The Dark Knight Rises di salah satu bioskop di Aurora, Colorado, AS. Dalam introgasi, James Holmes mengaku bahwa dirinya adalah Joker.
Bagi warga Amerika, film Joker membangkitkan kembali ingatan buruk tujuh tahun lalu. Atas surat yang dikirim keluarga korban penembakan di Aurora, Warner Bross urung memutar film tersebut di bioskop yang sama. Berbagai aturan diberlakukan saat menonton film itu, misalnya penonton tidak boleh mengenakan kostum Joker.
Bagi kita, persoalan di atas tidak terlalu penting. Bagi kita, film Joker dapat menjadi pintu masuk untuk mendiskusikan politik pembangunan, obat, dan ibu.
Politik Pembangunan, Obat, dan Ibu
Berita radio mengabarkan kondisi Kota Gotham yang penuh dengan sampah dan “sampah”. Di setiap ruas jalan, sampah dan tunawisma tergeletak begitu saja. Coretan-coretan pada dinding menunjukkan ketidaktertiban dan pemberontakan yang sedang terjadi. Kondisi ini menjadikan Gotham masuk sebagai kota terkumuh. Di sebuah ruang rias kantor jasa perbadutan, Arthur Fleck (Joaquin Phoenix) bercermin; merias dirinya sebagai badut. Suara berita radio itu masih terdengar. Ia menarik sudut bibirnya hingga ia tampak tersenyum. Seraya dengan itu, air mata Fleck mengalir bercampur dengan make up hitam di matanya. Tak ada yang senang dengan kondisi itu.
Deskripsi di atas adalah adegan awal film Joker. Sebuah adegan yang menohok. Itu adalah lead sebuah feature tragis dari seorang tokoh bernama Arthur Fleck. Lead itu seolah merepresentasikan hal-hal yang terjadi dalam film pada adegan-adegan selanjutnya sekaligus simpulan dari film ini. Ada dua peristiwa yang seolah terpisah: (1) kekacauan yang ada di Kota Gotham dan (2) kekacauan yang ada di hati Arthur Fleck. Keduanya berdiri masing-masing, dan pada akhirnya akan bertaut satu sama lain.
Pemerintah Kota (pemkot) Gotham tampaknya gagal mengelola kota. Kemunculan sampah merupakan malapetaka. Ia jadi pemicu atas kekacauan-kekacauan yang terjadi berikutnya. Pemkot di mana pun tentu akan menekankan kebersihan dan ketertiban di kotanya karena hal ini menyangkut keamanan. Pembangunan kota yang dilakukan bukanlah untuk tujuan esetika semata, melainkan politik kekuasaan untuk menciptakan rasa aman dalam diri setiap warga. Jika sebuah kota dipenuhi dengan masalah sampah, vandalisme, kemacetan, dan ketidakteraturan lainnya; keresahan masyarakat akan meningkat; kemungkinan besar, tingkat kriminalitas akan tinggi.
Oleh sebab itu, kekuasaan melakukan pembangunan; melakukan penataan; membuat kota tampak bersih; membuat infrastuktur yang dapat mengatasi kemacetan. Dalam hal ini, saya selalu terkenang dengan buku Abidin Kusno Ruang Publik, Identitas, dan Memori Kolektif: Jakarta Pasca-Suharto (Ombak, 2009). Dalam buku itu, ia menggambarkan cara Jakarta menciptakan rasa aman bagi warganya. Busway adalah salah satu cara itu; cara sebuah kota mengatasi frustrasi warganya atas pemkot yang tidak dapat mengatasi kemacetan. Tidak hanya transportasi, pembangunan ruang publik merupakan cara kekuasaan menunjukkan bahwa mereka berpihak kepada warganya.
Dalam hal ini, pemkot Gotham gagal. Hal yang kemudian terjadi adalah ketidakpercayaan warga pada kekuasaan. Akhirnya, terjadi konflik antarkelas. Lebih tragis lagi, media di Gotham berpihak pada kekuasaan atau kaum elit. Berita-berita yang disiarkan adalah keresahan kelompok kelas atas, misalnya berita tentang sampah, super-rat, dan penembakan tiga orang (kelas atas) di stasiun. Bahkan, untuk pembunuhan tiga orang kelas atas menjadi pembahasan di talkshow. Saat itu, komentar Thomas Wayne (Brett Cullen), calon Wali Kota Gotham, yang juga merupakan bos dari tiga korban tersebut, menimbulkan reaksi keras dari warga kelas bawah dan memicu gerakan “Kill the Rich”. Ia menyebut bahwa pembunuh adalah orang yang pengecut karena bersembunyi di balik topeng badut. Komentar itulah yang memicu pengunjuk rasa menggunakan topeng badut dalam aksi unjuk rasanya. Berkat itu pula, warga kelas atas menjadi sasaran protes, bahkan pembunuhan. Dalam konflik antrakelas itu, Arthur Fleck—dalam wujud Joker—hadir.
Dalam film ini, salah satu hal yang banyak mendapat pujian adalah pengembangan karakter. Tidak seperti Gundala (2019) yang terkesan tergesa-gesa dalam membangun karakter, terutama dalam pentransformasian Sancaka ke Gundala. Pengembangan karakter film Joker pantas pendapat nilai tinggi. Nilai tinggi atas pengembangan karakter lahir dari kesabaran film ini dalam menceritakan biografi Arthur Fleck. Oleh sebab itu, penonton akan mendapatkan plot yang lumayan pelan, hati-hati, dan sabar. Pada awal cerita, penonton akan melihat Arthur Fleck didestruksi oleh lingkungannya.
Di depan sebuah toko alat musik, Arthur Fleck tengah mengangkat papan bertulis “Everything Must Go!” Tampaknya itu adalah slogan promosi. Sekolompok pemuda, secara tiba-tiba, merebut papan itu dan membawanya lari. Arthur mengejar mereka. Orang-orang di sekitar tak ada yang peduli saat Arthur meminta bantuan. Saat sampai di sebuah gang, ia dihajar oleh papan itu hingga papan itu rusak. Para pemuda itu menyerangnya; menendangnya. Kamera mundur; memperlihatkan Arthur yang tengah tergeletak bersama sampah-sampah di sana, seperti sampah-sampah di sana.
Di kantor jasa perbadutan, seorang kawan memberikan pistol. Arthur menolak karena ia tahu bahwa orang dengan gangguan mental tidak boleh memiliki senjata. Namun, kawannya itu memaksa. Pistol itu dapat digunakan Arthur untuk menjaga diri. Tak lama kemudian, bosnya memanggil dan meminta Arthur untuk mengganti papan yang rusak atau gajinya akan dipotong untuk papan itu. Bagi siapapun, itu tidak adil.
Di sebuah gerbong kereta yang penuh dengan coretan-coretan. Tiga laki-laki bankir muda, karyawan Thomas Wayne, menggoda seorang perempuan. Pseudobulbar affect-nya kambuh. Arthur tertawa. Tiga laki-laki muda itu mengira bahwa Arthur melecehkan perbuatan mereka. Arthur pun diserang. Namun, secara tiba-tiba, Arthur menembak ketiga laki-laki itu. Ia lari dari Stasiun Wall Street dan bersembunyi di dalam sebuah toilet. Di sana, ia menari, seperti menemukan jati dirinya yang lain atau yang ia sebut sebagai “The negative thoughts”.
Pada fase ini, penonton dapat melihat Arthur sebagai “manusia yang gagal”. Ia gagal menjadi badut—pada akhirnya ia dipecat karena ketahuan membawa pistol saat menghibur pasien kanker di sebuah rumah sakit. Ia pun—sebenarnya—gagal menjadi komedian tunggal. Leluconnya aneh, menurut Murray Franklin (Robert De Niro) dan ia mengaku bahwa komedinya tidak memiliki kalimat lucu (punch line).
Pada tahap selanjutnya, Arthur Fleck mengalami transformasi. Transformasi itu dimulai setelah ia membunuh tiga laki-laki di Stasiun Wall Street. Perubahan dari Arthur Fleck ke Joker selanjutnya terjadi pada saat ia tidak lagi mendapatkan obat dari pemerintah dan saat ia berpisah dengan ibunya. Obat dan ibu menjadi pemicu transformasi Arthur Fleck ke Joker.
Dalam hal ini, kita melihat bahwa obat atau sektor kesehatan memegang peran penting dari segi stabilitas keamanan. Sistem kesehatan di sebuah negara (SKN) bukan hanya bertujuan membuat masyarakat/rakyat menjadi sehat dan produktif, melainkan untuk menjamin keamanan nasional.
Saat Arthur Fleck tidak mendapatkan konseling dan obat, pikiran-pikiran negatif muncul. Pada mulanya, pikiran-pikiran negatif itu adalah pikiran untuk bunuh diri. Penonton akan melihat Arthur yang mengandaikan tangannya dengan pistol. Lalu, ia arahkan tangannya ke kepalanya. Tabiat itu semakin kuat saat Sophie Dumond (Zazie Beetz), tetangganya di flat kumuh itu, melakukan hal yang sama, meski dalam konteks bercanda. Arthur pun memiliki kecenderungan untuk membunuh, tetapi kecenderungan itu lebih kecil daripada bunuh diri. Bahkan, saat Arthur diundang ke Murray Franklin Live Show, ia berencana untuk bunuh diri di talkshow itu. Sebelum ia datang ke sana, ia melakukan simulasi dengan mengarahkan pistol atau tangan ke kepalanya dan, “Knock, knock!” Namun, yang terjadi justru sebaliknya, karena Murray terus menekannya dalam wawancara.
Selain obat, ibu menjadi kunci transformasi Arthur Fleck ke Joker. Saat Arthur Fleck masih hidup rukun bersama ibunya, ia terlihat sebagai pria yang baik. Ia mengasuh ibunya yang memiliki gangguan mental. Ia bekerja untuk ibunya. Ia menuruti perintah ibunya untuk selalu mengecek kotak surat. Saat ia berbicara dengan ibunya, seringkali suara Arthur Fleck terdengar begitu naif.
Namun, keadaan itu berbalik saat Arthur Fleck mengetahui bahwa Penny Fleck (Frances Conroy) bukanlah ibunya. Pada saat itu pula, “pegangan hidup” Joker hilang. Ia kehilangan orientasi. Ia pun membunuh Penny Fleck. Dan saat ia akan tampil di Murray Franklin Live Show, ia meminta, “Can you introduce me as Joker?” Di sanalah ia mengubah identitasnya menjadi Joker.
Dalam pada itu, kita dapat melihat bahwa peran ibu sangat penting bagi kehidupan pribadi seseorang dan bagi kehidupan sebuah bangsa. Dalam artikel “Arab Woman in the National Life”, Qustantin Zuraiq berpendapat bahwa perempuan (ibu) memiliki peran domestik yang penting di masyarakat Arab. Tugasnya sebagai pengasuh anak dan perawat keluarga menopang tugas-tugas-suci laki-laki di luar rumah. Perempuanlah yang mendidik anak-anak sehingga ia menjadi kunci kualitas sebuah generasi. Hal ini berlaku pula di negara-negara lainnya yang masih terbelenggu budaya patriarkat, termasuk di Indonesia. Bahkan, di Indonesia, gagasan ini terlihat jelas pada era orde baru; perempuan—lebih tepatnya wanita—dikonsepsikan sebagai sosok yang mengurus kehidupan domestik: memasak, membersihkan rumah, mengurus, dan mendidik anak. Ia juga diberi tugas untuk mendukung suami dalam pekerjaan di luar rumah. Dengan demikian, barbar atau tidaknya suatu bangsa, menurut Zuraiq, ditentukan oleh peran perempuan di rumah. Dengan demikian, peran perempuan sebagai ibu menjadi penting bagi kehidupan suatu bangsa.
Joker cukup menyinggung gagasan patriarkat itu. Saat peran ibu menghilang, kekacauan terjadi. Apakah dengan demikian Joker adalah film yang ingin melanggengkan konsep patriarkat itu? Saya kira tidak juga. Apabila kita lihat, laki-laki atau ayah memang memegang peran pada teritori publik yang amat dominan. Thomas Wayne sebagai representasi dari laki-laki dan ayah tampak sebagai (calon) penguasa yang ambisius dan apatis terhadap kelas bawah.
Dari politik pembangunan, obat, dan ibu, kita dapat melihat kekacauan yang terjadi di Kota Gotham. Saya berharap pemkot Gotham dan pemkot lainnya dapat memperhatikan tiga hal itu agar tercipta suasana yang kondusif seperti yang diharapkan bapak Jokowi; agar tidak ada Joker-Joker berikutnya.😊