Dua Soalan, Tiga Pertanyaan untuk Rashomon
Pertama-tama, yang membuat saya terhubung dengan karya ‘Morito Dan Dua Pelayan Di Rashomon’ dari Zulfa Nasrulloh adalah bagaimana satu karya berjejaring dengan sejarah, atau dirinya berada di dalam jaringan sejarah – sebagai satu jaringan pengetahuan. Pada pertemuan dengan Helly Minarti ( kurator tari ) di sela-sela lokakarya ‘Tubuh Gumarang Sakti’ – September, 2019 – di Sangkring Art Space, dirinya menegaskan pentingnya lokakarya dengan basis arsip tubuh ( terutama karena pematerinya adalah Benny Khrisnawardi ) yang adalah anggota dari Kelompok Gumarang Sakti, adalah mengenai pernyataan artistik yang tak pernah benar-benar lahir sendiri dan tiba-tiba, diri adalah lapisan yang bergulir dari kenyataan sebelum kita – misalnya gerak teknik berguling, melompat, gerak terpelanting – dipeluk oleh penari lain yang kini marak di pentas tari kontemporer hari ini, sebenarnya adalah kosa-gerak yang sudah lama ada dalam karya ‘Api Dalam Sekam’ (1998) garapan Gusmiati Suid dan Boi G Sakti. Tak bisa kita melihat garapan Bandar Teater Jakarta, tanpa melihat pertautan / pergaulan di Taman Ismail Marzuki era 1980-1990 dengan Boedi S Otong dari Teater SAE – yang bergulat dengan kesejajaran antara tubuh dan objek-benda-benda keseharian, dan tak ada tubuh dengan teknik ‘Under-Score’ tanpa Boedi S Otong melihat butoh Byakosa di Jakarta.
Apabila sejarah adalah kekinian, bahwa setiap detik yang berubah dari posisi seseorang yang duduk di menit ke 1 dan menit ke 2 selalu berubah, maka begitupun arsip. Istilah ‘menghidupkan kembali’ re-enactment dari pertunjukan Takao Kawaguchi pada Art-Summit 2016 – yang coba meniru Kazuo Ohno dalam pertunjukan ‘About Kazuo Ohno’ kemudian perlahan-lahan menjadi imaji yang lain, antara Takao dan Ohno lalu bertukaran, kita seperti melihat imaji ilusif dari Ohno dalam tubuh Takao, begitupun sebaliknya. Metoda yang ditawarkan oleh Takao adalah apabila Ohno ingin menampilkan tari sebagai impuls dari dalam – terutama mengenai kegelapan, Takao justru sebaliknya dirinya menjejaki ulang ( retracing ) artefak luaran / gerak yang fisik melalui arsip video pertunjukan frame demi frame – untuk menampilkan apa yang ada di dalam. Pada konteks ini menjadi penting untuk mempelihatkan bagaimana arsip adalah juga sebuah tawaran imajinatif yang memiliki peluang terbuka – dibongkar, digunakan, ditatap ulang. Tentu saja modal itulah yang saya tandai – dan juga saya pribadi tertarik, pada naskah karya Zulfa Nasrullah – pada dirinya sendiri sebagai teks sudahlah melintas, lintas-bangsa, lintas-generasi, lintas-terjemahan. Pertanyaan pertama – adalah tawaran metoda apa yang ditawarkan oleh Zulfa terhadap arsip-arsip tersebut.
Watak jejaring arsip dalam medium tari ( pada batas yang lain ) bisa kita lihat pada karya Ismael Ivo dan Johann Kresnik dengan karya Francis Bacon ( Re-enactment ) 2012, dimana kita bisa lihat tubuh-tubuh yang grotesque dan rusak pada lukisan Bacon – dengan beberapa ikon interiornya hadir juga dalam pertunjukan Ismael. Tubuh yang digantung, ruang yang berdinding, gantungan – lalu keluar dari bingkai lukisan menjadi daging yang memiliki durasi, dihidupkan – dalam pengertian dihidupkan kembalinya ‘re-enactment’. Apabila lukisan berhenti sebagai dunia dua dimensi, maka tari mengkoreografinya menjadi waktu dan tubuh yang hidup. Proyek ‘Morito dan Dua Pelayan Di Rashomon’ memiliki kesadaran untuk berada – atau menautkan diri pada semesta pengetahuan yang sudah ada sebelum Zulfa, yang sadar tak sadar membentuk konstruksi Zulfa tentang kekinian. Zulfa begitu juga, dirinya melampirkan dirinya sendiri / ‘self attaching’ pada satu bentangan sejarah kisah tentang ‘Morito dan Dua Pelayan di Rashomon’ dari Ryunosuke Akutagawa melalui dua medium cerpen dan film. Pertanyaan kedua adalah selain teknik bercerita – yang tentu tuturan tulisan pada cerpen dan tuturan gambar pada film berbeda, adalah kontribusi imajinasi apa yang ditawarkan si peminjam terhadap jejaring arsip / sejarah tersebut. Berangkat dari medium film, dua karya lainnya yang juga coba menunjukan watak kearsipan adalah ‘Tiger Of Malaya’ dari Teater EKAMATRA, oleh Alfian Saat di Singapur, yang coba melakukan split waktu dalam satu pertunjukan – bergegas dari arsip film ‘Tiger Of Malaya’ tahun 1943 – mempertukarkan kenyataan sinematik dan kenyataan teaterikal, dimana penonton dapat melihat kontras dan persamaan yang terjadi. Dua lapis yang ditonton bersama-sama, antara arsip film dan reenactment arsip pada bentuk teater. Juga pada proyek ‘Menonton Film Turang’ dari Akbar Yumni untuk menghadirkan kembali korpus arkeologi film – yang hilang karena Rezim, film ‘Turang’ dari Bachtiar Siagian ( Seniman film tergabung LEKRA ) – modus ini kemudian menggunakan seni pertunjukan sebagai cara mementaskan arsip yang seadanya, dan ingatan atas film Turang itu sendiri melalui narasi penonton ( Awal Uzhara ) dan bagaimana medium teater ‘mementaskan arsip yang hilang’.
Dramaturgi Sastra dan Dramaturgi Performans
Soalan kedua – selain tautan jaringan / kesadaran menempatkan diri dalam jaringan pengetahuan, kita dihadapkan pada dua medium yang berbeda satu adalah sastra dengan material / perkakas tulisan, dan teater dengan material peristiwa, antara tindakan membaca dan menonton. Saya akan lebih banyak membahas persoalan teater, atau kurang lebih seni pertunjukan, yang memiliki perkakas-dasar : tubuh, ruang, waktu, irama, objek, suara dan cahaya – pertanyaannya bagaimanakah performativitas atas sastra bekerja, tentu saja ini adalah selera masing-masing orang yang berbeda, secara personal saya cenderung menempatkan kedua hal tersebut dengan batas dan kemampuannya sendiri-sendiri, bahwa kebebasan bisa didapatkan setelah mengetahui batas dari medium, terutama mengenai waktu, dimana seni pertunjukan berdurasi (dalam bahasa Peter Brook – ruang dan waktu seniman dan penonton yang saat ini – dan sastra drama memiliki renggang waktu antara si penulis dan si pembaca). Seni pertunjukan tidak bisa meninggalkan jejak yang masih samar di kepala – dirinya harus mengada, hadir dan kongkrit, efek yang dihasilkan segera. Sastra dan kesegeraan ini mengingatkan saya langsung pada babak pertama pertunjukan Romeo Castelucci – Inferno ( 2008 ) dari puisi epiknya Dante Alighieri. Romeo datang ke depan penonton – menatap penonton dan memperkenalkan dirinya siapa, lalu lima anjing datang dengan penjaganya, sembari Dante mengenakan baju-pengaman. Setelah siap, kelima Anjing tersebut dilepaskan, dan menggigiti dengan ganas setiap inchi bagian tubuh Romeo, mengoyak dan menghempaskan tubuh sutradara, tergolek dan terbanting-banting oleh tenaga lima anjing. Efeknya menyengat dan menangkap langsung ‘primal-sensory’ kita, nyata, hadir, sebenar-benarnya. Teks Dante (1300 AD) misalnya dapat dikenali berikut ini:
Cerberus, the great hell hound, stood over the people that were submerged in the mud, barking with all his three throats. He had scarlet eyes, greasy, black fur, a big belly, and paws armed with cruel claws. He tore at the spirits, flaying and rending them. When Cerberus saw us, he opened his mouths and showed his fangs to us. His limbs quivered as if he were tensed to spring at us.
My guide opened his hands wide, took fistfuls of dirt, and threw them into the ravenous maws.
As a dog that barks when hungry becomes quiet when he eats his food, and is intent and fights only to consume it, so became the filthy faces of the demon Cerberus, who for the moment ceased thundering at the souls so that they wished they were deaf.
We were walking among the shades who were subdued by the heavy rain, often stepping upon their translucent forms, which nevertheless seemed as substantial as living bodies. They all lay on the ground except one, who quickly sat up as he saw us passing by.
Frasa panjang tersebut – ditarik, dimampatkan dan tanpa bertele-tele, Romeo menohok langsung fungsi sensasi di tubuh kita, berbicara dengan langsung, pada sasaran, yang darurat di tubuh aktor maupun penonton. Tentu, efek digigit anjing lima ekor, sudah cukup menjelaskan. Dalam percakapan para seniman performance art di Indonesia, perbincangan saya dengan Aliansyah Caniago dan Agung Eko Sutrisno ada satu istilah yang saya kira menarik – mengenai kualitas performativitas sebuah karya, yaitu istilah ‘strong image’ – kira kira tentang gambar bentuk – yang langsung dengan kuat memiliki tegangan dengan mata dan tubuh kita, yang tak lagi berdiri sebagai makna / intelektualitas – tapi juga pengalaman / peristiwa. Karya lain – juga yang bagi saya berhasil membetot / menarik sastra pada pengalaman wujud yang kongkrit, adalah pertunjukan ‘THYESTES BRÜDER! KAPITAL / anatomy of a revenge’ dari Claudio Bosse, kebetulan saya berada di rumahnya di Senefeldestrasse Prenzaluer Berg Berlin (Mei, 2019) – di satu sore dia memanggil saya untuk melihat foto-foto karya yang sedang dikerjakannya – sebuah dapur / kantin tak terpakai dengan ruangan luas dan tubuh yang hadir sebagai ‘daging’ ketubuhan, wanita yang tua, seorang pria yang kurus, juga ada yang gemuk. Claudia menarik satu gagasan mengenai pertarungan kuasa dalam teks sastra klasik (Roman Tragedy) yaitu : Thyestes oleh Senece, seorang anak yang dibiarkan oleh ayahnya untuk dimakan oleh saudaranya – sebuah persaudaraan yang saling memakan / kanibalisme dalam keluarga – yang oleh Claudia Bosse kemudian dipertemukan dengan gagasan konsumsi dan produksinya dari Karl Marx terutama dari esai ‘grundrisse: fundamentals of political economy criticism’ mengenai siklus kapital dan material yang sama-sama saling memakan – dan menimbulkan apa yang disebut Claudia sebagai ‘anatomi balas dendam’, saya terpikat dengan gagasan instalatif dari limpa dan jantung yang dijahit dan dijadikan sejajar dengan kedagingan tubuh aktor. – bawa daging adalah ultim dari properti,
Satu yang juga tak bisa dilupakan adalah karya instalasi-tari dari Anne Imhof yang meminjam cerita/legenda klasik Jerman, FAUST dalam satu karya keruangan yang mementaskan tubuh dalam dua ruang berbeda antara batas-tipis kanan dan kiri, atas dan bawah – selama ajang Venice Biennale 2017, dan yang memenangkan Golden Lion pada tahun itu, satu-satunya seniman dalam pameran seni rupa yang menggunakan medium interaktifitas dan tubuh, ruang juga waktu – dan menang. Tentu, selain kemenangan seni performans – saya juga melihat kerja dramaturgi performans memang memiliki spekluasi imajinatifnya yang langsung menghadapkan kita pada cara-cara bekerja dengan material / medium / organologi yang berbeda, dengan desain dan bentuknya tersebut, bisa saja sastra hanya dipinjam atau dipotong dan dijadikan wahana material terbuka. Dalam pertunjukan ‘Tomorrow As Purpose’ dari Melati Suryordarmo yang dipentaskan di Indonesia Dance Festival 2018, judul yang diambil dari kata-kata seorang penyihir dalam lakon Macbeth karya Shakespeare. Kata-kata yang dilontarkan tatkala Sang Cenayang meramal bahwa Macbeth kelak akan menjadi raja, lalu kemudian beralih menjadi situs proyek riset tentang hubungan kekuasaan dan dunia supranatural – riset tersebut ditampilkan dengan baik pada adegan, dua aktor yang menutup tubuh mereka dengan jubah hitam, lalu mengangkat kaki mereka, dan melepaskan kain – hingga berjatuhan paku-paku dari dalam kaos kaki. Melesatkan ingatan pada konteks kekerasan, santet, kesakitan, tumbal, pengorbanan dan banyak lainnya. Dalam tahapan itu, teks yang berasal dari Inggris kemudian diubah dan ditarik dalam konteks ruang Indonesia – tentang mistik ( juga terjadi dalam mistisime pada FAUST nya Anne Imhof ), dan diubah lagi pada bentuk dan desain yang kemudian lain dan berbeda, ini adalah sebuah kompleksitas atau tegangan yang harus dibedakan – mengenai dua medan – antara keterbacaan dan kepenontonan, antara dramaturgi sastra dan dramaturgi performans.
Tegangan ini misalnya – hadir untuk bisa saya kenali nalar dramaturgi dari naskahnya, yang memiliki ikatan untuk menautkan diri – atau apa yang disebut Peter Eckersall ( professor performance studies di CUNY ) sebagai ‘dramaturgi jaringan’, namun pada dramaturgi performans dari karya ‘Morito dan Dua Pelayan Di Rashomon’ ini saya belum bisa mengetahui dan belum bisa mengalaminya ( karena belum menontonnya ), pertanyaan terakhir apakah sastra yang ditulis oleh dirinya sendiri tersebut akan diberlakukan sebagai hanya basis/instalasi ide – atau akan diwujudkan sebagai alam pemanggungan dari alam ceritanya – atau dalam bahasanya Fathul A Husein ‘dari kertas ke atas pentas’, sekali lagi ini bukan perhitungan bagus dan jelek, namun pilihan nalar dramaturgi dari masing-masing seniman, tentu dengan resiko-resikonya. Buat saya pribadi – membacanya sebagai seniman pertunjukan, teks-teks dialog dibawah ini sudah menghadirkan di hadapan saya bentang luas pilihan-pilihan penciptaan, dan dengan medium-medium yang berbeda-beda juga. Mungkin juga mengingatkan pada pilihan ‘jaringan’ penciptaan di waktu yang lain, ruang yang lain.
Tak mungkin sebuah pintu kumasuki jika kau tak membiarkannya terbuka!:
Mengingatkan saya pada adegan dari Film R.A Kartini ( 1982 ) karya Sjuman Djaya, dimana sebelum dipingit, agar tak bisa lagi berhubung dengan dunia luar, sutradara hanya menghadirkan mata Kartini lalu berganti dengan jendela yang ditutup, mata lagi – kemudian pintu ruang depan yang ditutup, mata lagi – kemudian ruang tamu yang ditutup, mata lagi – jendela kamar yang ditutup, pintu kamar yang ditutup hingga mata yang menutup. Adalah juga di bawah ini, beberapa kata yang bagi saya sangat instalatif, dan juga imajinatif.
Aku menemukan wajahku terluka seperti wajahmu. Jiwa kita sama-sama berlubang dan karenanya kita saling terhisap, saling menemukan bagian yang lama hilang dalam kehidupan kita.
Kita sama-sama mengerti, hubungan ini hanya cara menutup luka yang lama menganga di tubuh kita.
Kau pernah bertanya kemana perginya lembaran-lembaran perak, patung Budha, dan lempengan emas di tempat ini?
Nenek yang menyalakan api di Rashomon, mencabuti setiap helai rambut dari mayat-mayat tak bernama. Nenek tua tanpa kimono.