Mencari Sesuatu Keheningan Salju
Mari kita mulai kisah ini dengan sebuah nukilan dari novel Salju karya Orhan Pamuk. Keheningan Salju, pikir pria yang duduk di belakang sopir bus. Jika keadaan ini adalah awal sebuah puisi, dia akan menyebut perasaannya “keheningan salju”.
Bukan tanpa alasan bila nukilan itu disematkan di awal paragraf. Saat berada dalam perjalanan, petualang kita, tokoh kisah ini, teringat sepotong cerita ketika Ka melakukan perjalanan menuju Kars.
Tentu saja di luar bus tidak akan kita dapati salju yang lembut turun lambat seperti yang dilihat Ka. Tapi mungkin ada dingin yang sama. Meski, dingin yang dirasakan petualang kita disebabkan AC bus disetel dalam suhu sangat rendah. Sedangkan di luar jendela, cuma kegelapan terhampar sepanjang jalan Jawa Tengah.
Petualang kita, sebagaimana Ka, bisa dianggap sebagai penyair. Ia melakukan perjalanan dari Yogyakarta ke Bengkulu, menghabiskan waktu tiga hari dua malam, demi menghadiri sebuah pertemuan sastra. Ia diundang karena sebuah sajaknya lolos kurasi pertemuan itu. Maka, label penyair cukup beralasan disandingkan pada petualang kita—meski ia sendiri kerap risi dilabeli sebutan itu.
Di tengah kejenuhan hidupnya, petualang kita merasa perlu menemukan suatu hal baru untuk ditulis. Ia mencoba keluar dari hal-hal rutin yang selama ini dilakoninya: duduk di depan laptop, membolak-balik halaman buku. Perjalanan ini begitu penting bagi petualang kita. Sederhananya, ia bermaksud menemukan larik awal sebuah sajak, sebagaimana Ka menemukan “keheningan salju”.
Sebelum kisah ini dilanjutkan, mari putar jarum jam ke arah berlawanan agar kita sama-sama tahu apa yang dialami dan dirasakan petualang kita di awal perjalanannya.
1/
Petualang kita tiba di terminal Giwangan, Yogyakarta, sekira jam empat sore. Bus yang akan ditumpanginya dijadwalkan berangkat pukul lima, entah lima lebih atau lima kurang. Ia tidak merasa keberatan harus menghabiskan waktu di terminal meski jadwal tidak menentu.
Ruang tunggu terminal itu lengang. Rabu, 11 September, mungkin bukan hari yang lumrah untuk melakukan perjalanan, apalagi perjalanan jauh. Hanya terlihat beberapa orang, sebagian mereka adalah calo dan petugas keamanan.
Menjelang jam lima, seseorang menyalakan televisi di ruang tunggu. Setelah mengganti-ganti kanal, orang itu berhenti pada siaran langsung laga uji coba Indonesia U19 melawan Iran U19.
Petualang kita, yang awalnya menyaksikan siaran televisi, mengalihkan pandangannya ke layar telepon pintar. Ia masih kecewa atas kekalahan timnas Indonesia dari Thailand dan Malaysia beberapa hari sebelumnya. Karenanya, ia tak lagi ingin berharap. Harapan telah menuntunnya pada kekecewaan.
Petualang kita begitu terpengaruh oleh ungkapan Ellis Boyd Redding dalam film Shawshank Redemption (1994), film yang ditontonnya belasan kali. “Hope is dangerous thing, hope can drive a man insane.”
Meski demikian, petualang kita gagal untuk tidak berharap. Kelak, saat ia berada dalam bus dan menyaksikan kilas pertandingan lewat kanal Youtube—Indonesia U19 (1) – Iran U19 (0)—petualang kita merasa senang sekaligus kecewa. Ia senang karena Indonesia menang. Ia kecewa karena skor akhir semestinya lebih dari itu.
Ah, seharusnya ia tidak berharap lebih dari itu.
Kembali ke ruang tunggu terminal Giwangan, petualang kita menghabiskan waktu dengan mengusap telepon pintar atau sesekali berjalan-jalan di sekitar. Satu jam menunggu, bus yang harus ditumpanginya belum juga datang.
Sekira pukul enam, sebuah bus tiba di terminal. Petualang kita dipanggil kru perusahaan otobus agar segera masuk ke bus itu.
Ia melangkah memasuki subbab baru kisah ini.
2/
Di kursi nomor 17, kursi yang sengaja dipesannya, petualang kita berusaha duduk senyaman mungkin. Belum juga bus berangkat, seorang ibu menghampirinya. Ibu itu berkata, meski tanpa menunjukkan tiketnya, bahwa kursi yang ia pesan adalah kursi 17, 18, dan 19.
Ibu itu datang bersama seorang ibu lain yang lebih tua dan seorang lelaki yang tampak sebaya. Sebentar bicara dengan sang ibu dan kru otobus, petualang kita mengalah. Baginya, perkara ini bukan soal menang dan kalah, bukan soal mempertahankan dan merelakan. Ia pindah dua baris kursi ke belakang, dan duduk sendirian.
Kemudian bus melaju dan kegelapan mulai menampakkan diri di luaran. Saat meninggalkan wilayah Yogyakarta, saat itulah petualang kita teringat potongan kisah Ka. Ia bertekad menemukan sesuatu seperti “keheningan salju”.
Sekarang, sementara petualang kita tertidur, kita baca sepotong kalimat lain yang ditulis Pamuk dalam Salju “Dia mungkin akan melihat sejak dini bahwa dirinya telah memulai sebuah perjalanan yang akan selamanya mengubah kehidupannya; dia mungkin akan mundur.” Dan seperti biasanya, petualang kita tak pernah tahu adakah yang berubah atau tetap tinggal di dalam dunianya.
Tiga-empat jam kemudian, saat perbaikan jalan di sekitar Kebumen membuat bus terjebak kemacetan, petualang kita terjaga. Ia hanya melihat kehampaan yang hitam, dan kerlap kerlip cahaya hampir redup dari lampu perumahan.
Petualang kita lantas menyibukkan diri dengan pikirannya sambil mendengar How to Dissappear Compeletly lewat pelantang telinga. Ia menganggap How to Disappear Compeletly bukanlah ajakan untuk bunuh diri, namun sebuah ajakan untuk tak pernah ada sedari awal.
Di momen ini, petualang kita membayangkan dirinya menjadi Kafka Tamura, protagonis dari novel Dunia Kafka yang ditulis Haruki Murakami. “Sejak melarikan diri, aku selalu mendengarkan musik yang sama berulang-ulang—Kid A dari Radiohead, Very Best of Prince. Kadang-kadang My Favorite Things dari Coltrane.”
“Kid A” yang dipahami petualang kita hanyalah gumaman liris di antara bunyi-bunyian elektris. Dan Radiohead, baginya, adalah tempat persembunyian yang tak nyaman—meski ia sadar: ia tak tahu tempat lain untuk bersembunyi. Petualang kita menerka, apakah Kafka Tamura punya pemahaman yang sama soal “Kid A”?
Hampir tengah malam, masih di daerah Kebumen, bus tiba di tempat peristirahatan pertama. Petualang kita mulai basa-basi dengan penumpang lain—asal dari mana, mau pergi ke mana, punya maksud apa, dan lain sebagainya. Dalam obrolan demikian, petualang kita percaya, manusia tak perlu sebuah nama.
3/
Siang, hari kedua perjalanan, petualang kita mondar-mandir mencari sesuatu di atas feri. Ia tidak mau melewatkan sesuatu yang seperti “keheningan salju”. Di dek tiga, bertemu seseorang yang ia jumpai di tempat peristirahatan pertama, basa-basi dilanjutkan kembali.
Orang itu asli Bengkulu. Tapi ia tinggal dan punya sebuah toko herbal di Yogya. Selama berbicara, rokok kretek filter jarang lepas dari “mulutnya”. Di tengah percakapan, satu orang lagi bergabung. Itulah pak sopir, yang sama-sama dari Bengkulu, tapi punya kedudukan sebagai ketua adat.
Pak sopir bercerita tentang upacara Tabot yang baru selesai digelar di kampung halamannya. Tradisi yang digelar untuk menyambut tahun baru Islam itu dilaksanakan selama sepuluh hari dengan berbagai kegiatan. “Di hari terakhir, masyarakat melarungkan macam-macam sesaji ke laut lepas.”
Percakapan pun berkembang. Mulai soal tumpahan minyak Pertamina di Karawang yang kian menyebar tapi belum tuntas ditanggulangi pemerintah, pengalaman sang sopir sebagai atlet lari, hingga pantangannya makan cabai.
Petualang kita lebih sering menyimak, ia merasa tak punya banyak cerita menarik untuk dibagi. Selain itu, ia memang hanya ingin mengetahui bagaimana seseorang bisa mencari bahan pembicaraan di tengah lautan seperti saat ini.
“Jane benar,” pikir petualang kita, “Dalam keadaan begini, seseorang harus terus bicara—sekalipun di atas feri, sekalipun tanpa scotch atau martini atau bulan berwarna ungu.” Ya, di sela percakapan, ingatan petualang kita melayang pada cerpen legendaris Umar Kayam. “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Dua jam pelayaran terasa cepat bagi petualang kita. Feri merapat di pelabuhan Bakauheni.
4/
Di tanah Sumatra, petualang kita tak tahu apakah ia telah menemukan sesuatu seperti “keheningan salju”. Ini adalah kali kedua ia menginjakkan kakinya di pulau paling panjang dalam peta Indonesia itu. Sekarang, tempat paling jauh yang bakal ia kunjungi adalah Bengkulu.
Bus kembali berhenti untuk beristirahat di Lampung, petualang kita bicara dengan penumpang lain asal Klaten. Mendengar langgam yang cepat namun pelan, ia harus mengulang kata “hah?” atau “gimana?” berkali-kali. Bila tak kunjung mengerti apa yang dikatakan teman bicaranya, petualang kita menggunakan jurus terakhirnya. “Iya,” katanya, mengalihkan pandangan, sebelum mengajukan pertanyaan berikutnya.
Setelah bus kembali berangkat, petualang kita mulai kelelahan—seperti daya teleponnya yang hampir habis. Maka ia tidak lagi mendengar Radiohead dari telepon pintarnya. Toh pelantang bus juga menggemakan suara manja Nella Kharisma. “Kamu sepuluh aku sebelas, kamu selingkuh aku balas.” Asal kau tahu, petualang kita cukup senang menikmatinya.
Malam, dangdut koplo berganti lagu-lagu pop Melayu. Petualang kita, yang tak mengerti bahasa Melayu atau Sumatera, merasakan kegetiran yang ganjil dari lagu-lagu itu. Dan tengah malam, saat terdengar ratapan Obbie Messakh lewat “Kau Tercipta Bukan Untukku”, petualang kita seperti kembali ke masa kecilnya. Masa ketika ia sering kali memutar lagu penyanyi asal Pulau Rote itu.
Sumatra, bagi petualang kita, tak ubahnya nostalgia yang asing. Ia merasa akrab dengan segala yang dilihatnya dari balik jendela: barisan rumah, kebun-kebun, juga lahan-lahan yang lengang. Selama perjalanan, kegelapan menyempurnakan kesendiriannya.
“Bukankah esok atau lusa, mati pun aku sendiri.” Ia dengar Obbie Mesakh terus bernyanyi.
5/
Mari kita pungkas kisah ini. Setelah melewati jalan berliku di daerah Lahat, lalu naik turun bukit, petualang kita sampai juga di Bengkulu. Hutan-hutan berkelebatan. Waktu-waktu berlewatan. Helatan perkumpulan sastra itu pun sudah pula diikuti petualang kita.
Kini ia telah kembali ke Yogya. Dalam perjalanan panjangnya, petualang kita merasa telah menemukan sesuatu seperti “keheningan salju”. Ia tahu hal itu tersimpan rapi di suatu tempat dalam kepalanya.
Alih-alih menulis larik awal sebuah sajak, petualang kita malah menulis kisah ini.[]