Baris-Berbaris
“Upacara bendera dan latihan baris-berbaris adalah contoh bentuk pembinaan nasionalisme paling mendasar yang akan dilakukan,” kata Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Hadi Tjahjanto—yang diringkas akun Twitter resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemendibud RI)—dalam rapat koordinasi dengan Kemendikbud (21/6/2019).
Berikut adalah pernyataan lengkap Panglima TNI yang saya kutip dari laman Kemendikbud.go.id, “Pembinaan karakter di wilayah perbatasan tidak memiliki kesulitan karena adanya personel di seluruh tanah air, dengan pembinaan paling ringan misalnya pelajaran baris-berbaris dan upacara bendera. Ada penanaman cinta tanah air dan bela negara, kemudian disesuaikan dengan kebutuhan siswa.”
Mendengar baris-berbaris membuat saya teringat lagu tentara KNIL dalam sebuah alur novel Burung-burung Manyar (Djambatan, 1981) karya Y.B. Mangunwijaya. Saat itu, Teto, yang masih bocah, sedang jalan-jalan di sekitar Tidar, Magelang. Lantas ia berjumpa dengan sepasukan KNIL yang berbaris lengkap dengan tambur dan terompet. Dengan polosnya Teto bergabung di belakang mereka, yang disebut Bapak Kolong. Sambil berbaris para tentara itu menyanyikan:
Dréng! Déréng… déréng déndéng!
Nanti makan déndéng céléng!
Si Pak Kopral muka bopéng!
Si Mbok Kopral kulit srundéng!
Dréng! nDréng-déréng Déndéng!
Teto adalah nama kecil Satadewa, protagonis Burung-Burung Manyar. Teto merupakan representasi model manusia pascakolonial dalam salah satu karya penting Romo Mangun ini. Tokoh Teto hidup mulai dari masa peralihan, kolonialisasi Belanda, kedatangan Jepang, masa Revolusi Kemerdekaan, hingga zaman Orde Baru. Latar berkisah antara tahun 1934 hingga 1978.
Menurut Romo Mangun, ia terdorong menulis Burung-Burung Manyar sebagian karena merasa teraganggu oleh “pemalsuan-pemalsuan dan pemitosan peristiwa sejarah yang tidak sehat” sambil “merenungkan kembali pertanyaan dasar kehidupan.” Karya yang sarat kritik atas sejarah Revolusi Indonesia ini telah mendapatkan penghargaan sastra di Asia Tenggara, South East Asia Write Award (1983) dan Ramon Magsasay Award (1996).
Sementara itu, pernyataan Panglima TNI pada pembuka tulisan ini merupakan salah satu bentuk pembinaan dalam Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Pada pelaksanaan PLS ini Kemendikbud menggandeng TNI untuk membina siswa, mulai dari tingkat SD, SMP, SMA dan SMK. PLS akan berlangsung selama dua minggu awal masuk sekolah.
“Kami (Kemendikbud) akan melibatkan personel TNI untuk penyelenggaraan kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS), mulai dari jenjang SD, SMP, SMA dan SMK, dengan penguatan materi dasar berkaitan nasionalisme, bela tanah air, cinta tanah air, sebagai bagian dari penguatan pendidikan karakter siswa,” ujar Mendikbud Muhajir Efendy.
Dengan kata lain, sekarang TNI mulai masuk sekolah. Tujuannya adalah membina karakter nasionalisme siswa berdasarkan empat pilar kebangsaan Indonesia, yaitu Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.
Secara pragramatis, saya mengartikan pembinaan siswa dengan cara militer. Pembinaan yang paling sederhana, seperti dikatakan Panglima TNI, yaitu dengan baris-berbaris. Siapapun yang pernah ikut baris-berbaris pasti sadar bahwa esensi latihan ini adalah menjadi patuh.
Bagaimana tidak menjadi penurut, ketika disuruh hadap kanan, semua hadap kanan. Disuruh balik kanan, semua balik kanan. Kalau salah, bisa dihukum push up atau semacamnya. Hukuman itu tentu saja untuk menimbulkan efek jera. Peserta baris-berbaris tidak boleh melakukan kesalahan saat mendengar komando dari pemimpin barisan.
Menariknya, dalam baris-berbaris tidak ada “balik kiri”. Kenapa? Saya belum menemukan jawaban yang masuk akal sampai sekarang. Apa karena kata ‘kiri’ identik dengan komunisme, jadi tidak ada “balik kiri” dalam kegiatan teknis yang sangat terpimpin itu?
Romo Mangun Menolak Sistem Otoriter, Doktriner, dan Sentralistik
Kembali ke Burung-Burung Manyar. Terutama mengingat sosok pengarangnya. Romo Mangun adalah tokoh yang tidak menyukai militerisme. Meski ia pernah—terpaksa karena sekolahnya STM Jetis di Jogja dibubarkan untuk dijadikan markas perjuangan tentara RI—menjadi seorang prajurit pada masa Revolusi. “Dunia fasis kaum militer tidak saya sukai, sama seperti yang dirasakan seluruh rakyat bangsa saya yang masih nalar,” kata Romo Mangun.
Di samping itu, Romo Mangun adalah tokoh yang sangat peduli terhadap pendidikan Indonesia. Salah satu kiritiknya terhadap sistem pendidikan di Indonesia adalah kurikulum nasional hanya menekankan aspek kognitif saja. Meski kritik itu dilontarkan puluhan tahun lalu, tapi nyatanya masih relevan dengan kondisi pendidikan hari ini.
Romo Mangun juga menolak sistem yang otoriter, doktriner, dan sentralistik. Seperti ditulisnya dalam esai berjudul “Cah Bodo Sangsaya Akeh/Arang”, yang tua maunya hanya menasehati dan menatar, memberi pedoman, mengarahkan, mengintruksi, mengomando, mengdoktrinasi, menyuruh menghafalkan, mengarahkan sembarang apa yang dianggap harus dilakukan anak/murid/siswa agar berhasil kelak.
Kerjasama Kemendikbud dengan TNI yang akan segera dilakukan pada awal Tahun Ajaran baru adalah sesuatu yang bertolak belakang dengan konsep ideal Romo Mangun. TNI sebagai pembina dalam PLS nanti sudah pasti akan berperan sebagai “yang tua” kalau merujuk esai Romo Mangun.
Tujuan utama Kemendikbud menggandeng TNI dalam pembinaan siswa selama PLS ini adalah untuk menangkal radikalisme. Cara Kemendikbud ini sungguh telalu pragmatis. Seolah-olah kalangan dunia pendidikan tak mampu lagi—membangun karakter nasionalis anak-anak Indonesia—sehingga harus melibatkan tentara untuk menangkal radikalisme.
Apakah dengan melatih anak-anak sekolah baris-berbaris selama dua minggu cukup efektif menjadikan mereka nasionalis? Membuat mereka begitu saja menangkal radikalisme? Atau, apakah anak-anak sekolah ingin dijadikan seperti bebek yang mudah digiring ke mana saja oleh pengangonnya?
Mendikbud Muhadjir juga mengatakan, “Aparat TNI akan terjun ke sekolah SD, SMP, SMA, SMK paling lama dua minggu, dan kegiatan dilanjutkan dengan mengajak para siswa mengenal pusat persenjataan, dan berbagi pengalaman selama bertempur agar memberikan inspirasi bagi siswa mengenai nasionalisme.”
Masak nasionalisme ditanamkan dengan cara melihat senjata dan mendengar pengalaman bertempur? Saya pikir itu bukan cara menanamkan ide nasionalisme yang efektif. Tapi, semacam doktrin patriotik.
Nasionalisme adalah sebuah ide. Sementara, ide adalah sesuatu yang abstrak yang berhubungan dengan perasaaan dan nalar. Maka, lagi-lagi saya akan merujuk kepada Romo Mangun, kunci paling menentukan bagi perkembangan anak didik ialah perhatiannya, pilihan pribadinya, dan hatinya.
Oleh karena itu, jika pemerintah ingin menanamkan ide nasionalisme pada anak, sentuhlah nalar dan perasaannya. Bukan sekadar memerhatikan fisiknya saja dengan kegiatan baris-berbaris alias pembinaan oleh TNI.[]
Referensi:
Burung-Burung Manyar, Y.B. Mangunwijaya (Djambatan, 1981)
Impian dari Yogyakarta, Y.B. Mangunwijaya (Penerbit Buku Kompas, 2003)
Membaca, dan membaca lagi: (Re)interpretasi Fiksi Indonesia 1980-1995, Dr. Pamela Allen (Indonesiatera, 2004)