Di Bawah Naungan Kenangan
Akhir-akhir ini, saya punya kebiasaan setiap malam, memutar lagu-lagu Indonesia lawas di Youtube. Lagu-lagu yang sering didengar semasa remaja dahulu, saya ketik di kolom pencarian. Kemudian, sambil mendengarkannya, saya beranjak ke kolom komentar. Kenangan berhamburan di sana.
“Terasa damai mendengarkan lagu ini. Mengenang masa lalu, di mana masalah terberat dalam hidup cuma PR matematika.”
“Ingat denger lagu ini pake Nokia 3230 dulu. Lagunya minta dari temen lewat bluetooth.“
“Lagu jaman pertama pacaran, nih. Dengerin bareng doi pakai handsfree sebelah-sebelah di bus karyawisata.”
Seperti itulah secuplik komentar yang hadir, dan itu mewakili yang lainnya. Banyak orang sibuk dengan kenangannya masing-masing. Suasana menjadi hangat.
Saya tak terkecuali. Ketika memutar lagu “Damainya Cinta” dari Gigi misalnya, kenangan saat menghabiskan malam lebaran di rumah nenek langsung hadir dalam benak. Tiap malam lebaran dahulu, saya dan sepupu sering memutar lagu tersebut di ruang tengah rumah Nenek. Juga saat memutar lagu “Kau Auraku” milik Ada Band. Kenangan membawakan lagu itu bersama kawan-kawan di panggung RW saat perayaan 17 Agustus 2005—saya masih kelas 5 SD kala itu—hadir begitu saja.
Marcel Proust, sastrawan Prancis, pernah memperkenalkan tentang “involuntary memory” dalam novelnya, In Search of Lost Time. Pendeknya, involuntary memory adalah masa lalu yang seketika muncul karena dipicu oleh suatu hal. Ia berbeda dengan voluntary memory: masa lalu yang coba dihadirkan melalui aktivitas mengingat, yang acap kali justru gagal dihadirkan. Karenanya, seseorang mungkin akrab dengan ungakapan “lupa ingatan”, namun tidak dengan “lupa kenangan”.
Lagu merupakan salah satu perangsang terbaik untuk memanggil kembali kenangan. Mark Joseph Stern pernah membedah soal ini di Slate. Ketika seseorang mendengarkan sebuah lagu, saraf otak di bagian korteks akan terangsang. Korteks prefrontal, yang menyimpan informasi pribadi dan hubungan dengan orang lain, akan bereaksi saat lagu tersebut berhasil memicu kenangan. Usia 12 hingga 22 adalah masa ketika perkembangan saraf manusia sedang dalam puncaknya. Oleh karenanya, kenangan bisa cepat (di)hadir(kan) saat mendengarkan kembali lagu yang sering diputar semasa rentang usia tersebut.
Sarana Eskapisme
Selama tujuh bulan terakhir, hari-hari kita dihiasi oleh kampanye partai politik, calon legislatif, dan calon presiden. Utamanya di media sosial, keriuhan jelang pemilihan umum begitu terasa. Nyaris tiada hari tanpa perbincangan yang terkait dengan Pemilu. Sialnya, kebanyakan dari perbincangan tersebut hanya berkutat pada hal-hal recehan. Jarang ditemukan perbincangan yang benar-benar membahas perkara substansial.
Pertengkaran pun bukannya jarang terjadi. Saling sindir hingga hujat antarpendukung calon presiden amat mudah ditemui di lini masa media sosial. Satu unggahan artikel berita bisa menjadi bahan pertengkaran puluhan akun hingga berhari-hari.
Di dunia nyata keadaan tak lebih baik. Baliho calon legislatif dan presiden yang banyak terpampang di sembarang tempat membuat pandangan semakin sumpek. Sudah harus berhadapan dengan kemacetan setiap hari, ditambah kini melihat jalanan disesaki oleh ratusan baliho. Tidak sedikit bahkan baliho yang dipasang di trotoar sehingga menghalangi akses pejalan kaki.
Di rumah, kantor, atau kedai, topik obrolan dengan orang yang ditemui sering tak terhindarkan dari Pemilu. Jika orang tersebut memiliki preferensi politik yang berbeda, obrolan kerap menjadi kurang nyaman.
Kini, Pemilu sudah selesai. Tapi, pertengkaran belum usai. Masing-masing pendukung calon presiden saling klaim kemenangan dengan berlandaskan acuan yang berbeda.
Sebagai indikator kebebasan berpendapat, terbukanya pertengkaran kata-kata tersebut perlu ada. Namun, adakalanya sebagian dari kita ingin menepi dan menyepi dari segala kebisingan itu. Bayangkan: urusan sehari-hari macam tenggat pekerjaan, cicilan, hingga lembur di hari libur saja sudah membuat penat. Ditambah dengan menyaksikan orang ribut-ribut demi membela seseorang yang hendak berkuasa.
Pergi sejenak ke masa lalu bisa jadi solusi untuk menghibur diri. Tentu tak ada kendaraan yang bisa membawa kita ke sana seperti halnya tokoh Gil Pender yang menggunakan taksi tua dalam film Midnight in Paris (2011). Atau seperti tokoh Ismed yang bisa kembali ke masa lalu dengan cara memasuki lemari antik dalam novel Misteri Lemari Antik (1989) karya Abdullah Harahap.
Namun, kita bisa menghidupkan kenangan. Kenangan adalah harta paling berharga yang dimiliki manusia, sebut Haruki Murakami. Tanpanya, hidup kita hanya ada di waktu sekarang.
Setiap orang bisa menghidupkan kenangan melalui beragam cara. Menghadirkannya lewat lagu, seperti yang biasa saya lakukan, hanya satu dari sekian banyak cara. Kenangan juga bisa hadir lewat rasa makanan yang kita cecap, foto yang kita tatap, hingga wewangian yang kita isap.
Menengenang dan bernostalgia dapat menguatkan seseorang meghadapi keadaan hari ini. Clay Routledge, ahli psikologi dari North Dakota University, menyatakan bahwa bernostalgia dapat menghubungkan masa silam dengan keadaan sekarang.
“Bernostalgia membuat seseorang merasa dicintai dan dihargai. Meningkatkan persepsi kehangatan serta dukungan di saat sedang kesepian,” ucapnya dikutip dari Huffington Post.
Oleh karena itu, tujuan mengenang dan bernostalgia bukan sekadar mengelap-lap album tua masa silam. Ia juga berguna untuk masa kini: penguat diri di tengah keadaan yang buruk juga teruk.
Saat belasan anak dari tim sepak bola Wild Boars, Thailand, terjebak dalam Gua Tham Luang yang banjir selama berminggu-minggu, salah satu cara mereka menguatkan diri adalah dengan mengenang hal-hal indah yang mereka punya. Ini tampak dari surat yang mereka kirimkan untuk keluarga di rumah.
Dalam surat yang nantinya dikirimkan oleh Angkatan Laut Thailand itu, salah satu anak menulis, “Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Tolong katakan kepada Yod bahwa nanti aku ingin diajak makan di kedai ayam goreng.”
Dirinya jelas sedang berada di tengah gua yang gelap lagi dingin. Akan tetapi, kenangan akan hangat dan nikmatnya ayam goreng yang disantap bersama sanak mampu mengalihkan kesedihannya dan, pada akhirnya, menguatkannya.
Selalu ada jalan keluar di tengah keadaan yang paling berengsek sekalipun. Kenangan adalah jalan keluar mewah yang kita miliki. Selama kita waras, kita akan selalu bisa mengenang untuk menghibur dan mengobati diri.[]
Referensi:
Neural Nostalgia, Slate.com
The Incredible Powers of Nostalgia, Huffpost.com
Lima Belas Hari di Dalam Gua, Panditfootbal.com