Fb. In. Tw.

Mengagumi Mark Rudan: Dedikasi untuk Christchruch

Dalam intensitas yang sangat tinggi, tribun stadion bisa mengembalikan fitrah manusia ke asalnya sebagai makhluk tak berpendidikan. Zen RS, jurnalis sekaligus pengamat sepak bola, pernah mengungkapkan itu pada suatu kesempatan.

Bagi mereka yang sering menyaksikan pertandingan tim kesayangan di tribun stadion, ungkapan tersebut tak berlebihan. Pekik-sorak penonton ketika kejadian penting tersaji di lapangan—baik itu peluang, pelanggaran keras, atau gol—membuat adrenalin kian terpacu. Dalam suasana intens seperti itu, amat sulit bagi seseorang untuk bisa berpikir jernih. Bukan hal aneh apabila seorang suporter bisa dengan plastis mengumpat atau bahkan melempari pemain yang dibencinya.

Sore itu, saya tidak berada di stadion. Saya menonton pertandingan sepak bola di warung kopi. Namun, suasana batin yang saya rasakan persis seperti sedang berada di stadion.

Persib Bandung, tim kesayangan saya, sukses memenangi pertandingan melawan Persija Jakarta. Gol kemenangan tiba di penghujung laga. Dramatis. Kawan saya yang ikut menonton, sampai menumpahkan segelas kopi ketika merayakan gol kemenangan itu. Persib semakin kokoh di puncak klasemen Liga 1 2018, berkat kemenangan yang diraihnya.

Usai pertandingan, kami tak langsung berpencar. Kami asyik-masyuk mempercakapkan pertandingan hebat yang baru saja lewat. Satu per satu nama pemain disebut. Menit per menit diceritakan ulang. Kami seumpama pasangan tua yang sedang mengenang kembali masa-masa indah pacaran dulu.

Hingga beberapa jam kemudian, kawan saya itu mengabarkan sebuah peristiwa nahas. “Ada suporter Persija tewas. Dia dikeroyok sekelompok bobotoh sebelum pertandingan,” katanya sambil membaca berita di gawainya.

Saat baru mendengar kabar itu, entah setan apa yang merasuki, saya menganggap kejadian tersebut sebagai hal yang biasa saja. Saya hanya sedikit terkejut, namun tak sampai prihatin apalagi bersimpati dan mengutuk para pelaku pengeroyokan. Malah sempat terlintas pikiran keji: “Siapa suruh dia [korban] datang ke Bandung. Itu sama saja dengan mengundang maut.”

Euforia kemenangan yang masih bergejolak dalam dada telah membuat saya leka. Sebagaimana seorang fanatik, saya malah mencari-cari alasan untuk mewajarkan perbuatan bengis itu. Saya kembali ke sifat asal sebagai makhluk tak berpendidikan.

Kesadaran akan kekacauan berpikir ini baru muncul keesokan harinya. Saat euforia kemenangan kian surut; adrenalin sudah mengendur. Ditambah saya melihat video yang menampilkan betapa kejinya pengeroyokan itu. Di situ, sakitnya baru terasa. Tak ada satu pun alasan yang bisa membenarkan pembunuhan tersebut.

Sepak Bola Tidak Lebih Penting dari Kemanusiaan
Jumat (15/3/2019), sekelompok orang melakukan penyerangan ke dua masjid di Christchurch, Selandia Baru. Mereka menembaki orang-orang tak bersalah yang sedang beribadah di sana. Hingga saat ini, korban tewas akibat penyerangan itu telah mencapai 50 orang.  Puluhan lainnya terluka parah.

Peristiwa itu jelas mencederai kemanusiaan. Pelakunya pantas dihukum seberat-beratnya.

Berbagai kalangan menyatakan simpati dan dukungannya bagi para korban. Perdana Menteri Selandia Baru, pemilik toko furnitur di Christchurch,  para mahasiswa, pengendara motor yang lewat, hingga pelatih klub sepak bola Wellington Phoenix, Mark Rudan. Bait terakhir puisi Satu karya Sutardji Calzoum Bachri seakan menggema di Christchurch.

daging kita satu arwah kita satu
walau masing jauh
yang tertusuk padamu berdarah padaku 

Mark Rudan bahkan tidak terpengaruh sama sekali atas kemenangan besar yang baru diraih timnya saat bertemu Sydney Wanderers di laga lanjutan A-League. Bagi Rudan, kemenangan yang berhasil mendongkrak posisi Phoenix ke papan atas klasemen itu tampaknya tidak penting untuk dibahas. Usai pertandingan, Rudan lebih memilih menggunakan sesi konferensi pers untuk mengungkapkan kesedihannya atas peristiwa nahas Jumat lalu.

Tak sedikit pun senyum terpancar dari wajahnya. Rautnya malah seperti orang yang kebingungan. Suaranya gemetar ketika mulai berbicara.

“Sepak bola tidak lebih penting dibandingkan dengan peristiwa mengerikan yang terjadi Jumat lalu. Peristiwa itu membuatku dan para pemain terguncang. Amat menyedihkan. Negeri ini tak pantas mendapatkan itu semua,” ucapnya  dikutip dari Stuff.

Ia mempersembahkan kemenangan Phoenix untuk para korban dan keluarga mereka. Walaupun, seperti yang ia katakan, menang atau kalah tidak lagi penting ketika peristiwa menyedihkan semacam itu terjadi.

“Kemenangan ini didedikasikan untuk para korban dan keluarga mereka. Semua yang dapat kami persembahkan ini sangat kecil. Kau menang atau kalah, tak lagi relevan saat peristiwa semacam itu terjadi. Namun, penting untuk tetap ambil bagian sekecil apa pun itu. Kami bermain untuk para korban dan keluarga mereka. Juga untuk Selandia Baru karena penduduk seluruh negeri sedang berduka.”

Saya kagum kepada Mark Rudan, dan mungkin perlu untuk meneladaninya. Ia mampu tetap berpikir jernih dan bersimpati  kepada para korban di tengah kemenangan penting yang baru saja didapatkan timnya.

Di stadion, Rudan tidak terbawa euforia yang berpotensi mengembalikannya ke sifat asal sebagai makhluk  tak berpendidikan. Ia tetap waras. Ia menunjukkan bahwa perkara kemanusiaan jauh lebih penting dibandingkan pertandingan sepak bola.[]

 

Referensi:
“Tearful Wellington Phoenix coach dedicates win to Christchurch shooting victims”. Stuff.co.nz

KOMENTAR

Redaktur Jeda Buruan.co. Bobotoh Persib, penyeduh senja dan pemuda pancaroba.

You don't have permission to register