Edy Rahmayadi, Cenayang Sepak Bola Indonesia
Tim Nasional Indonesia gagal di Piala AFF 2018. Timnas tak mampu melenggang ke semifinal setelah finis di posisi keempat Grup B. Kegagalan ini memperpanjang catatan buruk Timnas yang belum pernah mengangkat trofi Piala AFF sejak turnamen tersebut digelar pada 1996.
Sosok yang paling disorot oleh media atas kegagalan tersebut adalah Ketua Umum PSSI kala itu, Edy Rahmayadi. Namun, alih-alih memberikan penjelasan mengenai sebab kegagalan Timnas dan langkah apa yang akan ditempuh selanjutnya oleh PSSI, Edy malah memberikan pernyataan yang kontroversial.
Baca juga:
– Mengagumi Pak Nur Khalim
– Cara Membuat Lima dari Dua Tambah Dua
Ia mengatakan bahwa untuk menciptakan Timnas yang baik, maka wartawannya harus baik. “Wartawannya yang harus baik. Jadi kalau wartawannya baik, nanti Timnasnya baik,” ujar Edy.
Bagi saya, ucapan Edy itu ngawur tapi agak misterius. Ia seperti sedang bernubuat. Mengingatkan saya kepada tokoh remaja tanggung bernama Dilan dalam novel Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 karya Pidi Baiq.
Dilan yang siswa SMA itu, sebagaimana Edy, sering mengucapkan hal yang misterius semacam, “Kamu Milea, kan? Aku ramal nanti kita akan ketemu di kantin.” Perkataan itu tiba-tiba diucapkannya kepada tokoh Milea yang baru dikenalnya dalam perjalanan menuju sekolah.
Sebagaimana Milea yang terheran-heran dengan perkataan Dilan, publik pun dibuat heran oleh perkataan Edy Rahmayadi. Pernyataan Edy seketika menjadi perbincangan publik. Tak sedikit pula yang menanggapinya sebagai lelucon—berbagai meme Edy Rahmayadi tersebar menghiasi lini masa.
Kebenaran Ucapan Edy
Usai Edy mengeluarkan pernyataan tersebut, keadaan tak berubah. Media justru semakin ramai menyoroti kegagalan Timnas dan kebobrokan PSSI dalam mengelola sepak bola Indonesia.
Kanal opini dan editorial di berbagai media, ramai dengan tulisan yang mengkritisi kinerja PSSI. Berbagai isu disinggung. Dari mulai bermasalahnya jabatan ganda Edy Rahmayadi hingga kabar tentang adanya skandal pengaturan skor di kompetisi sepak bola Indonesia.
Program televisi Mata Najwa adalah salah satu media yang mengulas hal ini. Mata Najwa membahas isu pengaturan skor di Liga 2 dengan tajuk “PSSI Bisa Apa”. Pemicunyaadalah kejanggalan penalti PSMP Mojokerto saat melawan Aceh United di babak 8 besar Liga 2.
Berbagai pernyataan mengejutkan keluar dari beberapa narasumber yang dihadirkan. Seorang narasumber mengaku pernah ditawari suap oleh salah satu anggota Exco PSSI bernama Hidayat. Seorang yang lain menuding PSSI sengaja membiarkan runner yang ia sebut “Sontoloyo” berkeliaran bebas di lingkungan sepak bola Indonesia.
Alhasil, publik seolah mendapatkan momentum untuk kian melempar kritik ke tubuh PSSI. Banyak yang berasumsi bahwa biang dari macetnya prestasi sepak bola Indonesia adalah masih suburnya praktik pengaturan skor di level kompetisi.
Asumsi itu semakin kentara setelah Hidayat menyatakan mundur dari keanggotaan Exco PSSI. Publik semakin mendesak pihak berwenang untuk turun tangan mengusut kasus ini.
Mata Najwa kembali menggelar acara dengan tajuk “PSSI Bisa Apa Jilid 2”. Kali ini, Mata Najwa kian mendorong agar pihak kepolisian bisa turun tangan mengusut kasus pengaturan skor. Hal ini terlihat dari para narasumber yang didatangkan. Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian hadir sebagai narasumber. Dihadirkan pula Peneliti Hukum Olahraga Kemenkumham, Eko Noer Kristiyanto.
Di acara itu, Kapolri lantas memutuskan akan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Anti-Mafia Bola untuk mengusut kasus pengaturan skor. Undang-Undang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap dapat dijadikan dasar hukum bagi kepolisian untuk masuk ke ranah Football Family.
Satgas dibentuk pada tanggal 21 Desember 2018. Satgas cukup cepat dalam bekerja. Hingga saat ini, belum genap dua bulan sejak dibentuk, Satgas telah menetapkan 15 orang tersangka.
Yang terbaru dan paling ramai dibicarakan adalah ditetapkannya Plt. Ketua Umum PSSI, Joko Driyono, sebagai tersangka. Berdasarkan keterangan tiga orang saksi, pria yang akrab disapa Jokdri itu dituding sebagai aktor intelektual perusakan dokumen keuangan Persija Jakarta yang menjadi barang bukti dugaan pengaturan skor.
Publik tentunya semakin geram ketika mengetahui hal ini. Banyak yang menuntut Jokdri mundur dari kepengurusan PSSI. Bahkan Dewan Pembina PSSI, Syafruddin, juga mendorong Jokdri untuk mundur.
“Sudahlah Jokdri sebaiknya mundur. Orang sudah tersangka. Seperti ketua umumnya [Edy Rahmayadi] itu gentle. Padahal ia tidak punya salah. Ia hanya merasa di dalam [PSSI] ada yang tak beres. Lalu mengundurkan diri,” ujar Syafruddin dikutip dari tirto.id.
***
Terungkapnya skandal pengaturan skor hingga ditetapkannya para tersangka yang terlibat di dalamnya, tak dapat dipisahkan dari peran para wartawan. Para wartawan punya andil besar dalam memberitakan dan mendorong kepolisian untuk mengusut kasus ini.
Mata Najwa dengan Najwa Shihab sebagai jurnalisnya mungkin yang paling menonjol. Namun, para jurnalis yang berkiprah di media cetak maupun daring juga punya andil besar. Mereka tanggap dalam memberitakan perkembangan isu sehingga isu tersebut tetap hangat menjadi perbincangan publik.
Dengan demikian, pernyataan misterius Edy Rahmayadi pun menemukan kebenarannya. Jika ingin Timnas baik, maka wartawannya harus baik. Di saat para wartawan dari berbagai media kompak menguliti isu tentang pengaturan skor, maka perbaikan untuk sepak bola Indonesia pun mulai terbuka.
Baca juga:
– Penyebab Bencana Bernama Anti-Intelektualisme
– Merenungkan Kembali Resolusi
Kendati dipicu dengan sesuatu yang pahit (kasus pengaturan skor), mudah-mudahan ini menjadi awal bagi kemajuan sepak bola Indonesia. Sebagaimana orang yang sedang sakit, terkadang ia harus menelan pil pahit dulu untuk bisa kembali pulih dan berlari.[]