Fb. In. Tw.

Felix K. Nesi: “Saya Sudah Berhenti Berharap, Saya Benci Terhadap Semua Hal” (Bag. 1)

Obrolan ngalor-ngidul bersama Felix K. Nesi Pemenang Sayembara Novel DKJ 2018

Selasa malam (4/12/18), beberapa saat sebelum memasuki Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, tempat diumumkannya Sayembara Novel DKJ 2018, saya ngobrol ngalor-ngidul dengan Felix K. Nesi, salah seorang nominator.

Obrolan kami terbilang hangat mengingat: (1) sejak 2013 kami sonder ketemu; (2) seperti teman-teman Felix yang lain, saya haqul yaqin penulis asal Timor, NTT tersebut, akan memenangi sayembara itu.

Alasan nomor dua membuat saya tak putus-putus menggodanya.

“Felix, coba kamu jalan dengan badan dibikin tegap dan kepala sedikit didongakkan. Percaya sama saya, itu sikap wajar buat seorang pemenang.”

Felix cuma ketawa dan menganggap omongan saya gurau belaka.

“Tak apa-apa, Felix. Kalaupun nanti kamu memang tidak jadi juara, dan itu tidak mungkin, paling tidak kamu sudah bersikap laiknya seorang juara.” Saya kerap punya cara untuk membuat orang lain tertawa, walaupun—dalam banyak kesempatan—cara-cara demikian lebih sering dianggap menyebalkan.

Obrolan menjelang memasuki Teater Kecil itulah yang kemudian saya jadikan pembuka manakala keesokan harinya, dalam suasana penuh keriangan di Studio Hanafi, Depok, saya bertanya lebih intens kepada Felix mengenai banyak hal.

Obrolan saya bersama Felix terbagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, khusus membahas remah-remah seputar kebudayaan, problem masyarakat (biar mirip politikus), dan suka-duka Felix sebagai saudagar buku. Sementara, bagian kedua membahas Orang-orang Oetimu, draft novel yang membuat penulis berumur 30 tahun tersebut mengantongi uang 20 juta rupiah kala itu.

Felix, bagaimana perasaanmu saat memasuki Teater Kecil?

Saya senang karena sebelumnya biasa melihat Teater Kecil di video-video. Teater Kecil itu bagus sekali. Teaternya orang-orang Jawa. Itu pertama kalinya saya memasuki Teater Kecil…

Dan langsung menang Sayembara Novel DKJ 2018.

Hahaha. Saya masuk Teater Kecil itu senang-senang sebal. Orang Jakarta punya fasilitas bagus sementara orang-orang di daerah ya, gimana ya… Mewah sekali Teater Kecil itu. Kursi, lampu-lampu… Kalau kita lihat ke atas itu akustiknya sudah tertata. Bagus sekali. Saya lihat itu bukan hanya senang tapi sekaligus sebal: Kalian punya barang sebagus ini di kota sementara kami yang di daerah kalau mau buat acara bingung cari gedung. Dapat pinjaman gedung, aula, dindingnya kaca semua. Suaranya terpantul tujuh kali. Bong bong bong bong bong bong bong…

Dengan fasilitas semacam itu, menurutmu, “kebudayaan orang kota” itu seperti apa?

Saya tidak tahu tentang itu.

Atau, dengan fasilitas semacam itu, harapanmu, karya yang dihasilkan seharusnya seperti apa?

Saya tidak berani berharap. Bukan tidak berani. Saya sudah berhenti berharap. Hahaha.

Dilihat dari pandangan sekilas lalu saja, apakah dengan fasilitas semacam Teater Kecil sudah ada karya berkualitas yang dihasilkan orang-orang kota?

Saya tidak bisa berkomentar soal itu.

Kita bicara soal buku saja. Jangkauan buku, akses kepada buku, akses kepada pengetahuan. Di kota banyak buku-buku bagus. Buku-buku bagus dan murah. Tapi nanti kalau buku-buku itu dikirim ke luar Jawa, harganya jadi mahal. Orang-orang di sana sudah miskin, disuruh beli buku-buku mahal. Ya kami lebih pilih beli makanan, toh.

Oke, soal ketimpangan antara kota dan daerah.

Sementara ini alangkah baik kalau mereka, orang-orang kota, tidak memaksakan penyeragaman. Mereka membuat satu sistem yang menguji kami di daerah dengan satu standar yang sama. Jelas tidak bisa sama, toh.

Kamu sangat sebal dengan pandangan semacam itu?

Iya, kami yang di daerah akhirnya hanya dilihat dengan…

Tadi malam saja saya tegur orang-orang ketika tepuk tangan karena saya sudah terbiasa, ketika hadir di suatu tempat, dan saya dari kampung, dari daerah yang jauh, kena tipu-tipu juga. “Kamu dari mana?” “Dari Timor” “Waaaaaah.”

Jadi, orang-orang kota itu seolah bilang: “Ini orang kampungnya sudah datang dan duduk di antara kita orang beradab ini. Tapi walaupun dia belum beradab seperti kita, kita perlu memberinya tepuk tangan dan apresiasi.”

Kadang pandangan semacam itu terlalu negatif. Tapi itulah yang saya pikirkan. “Anak ini telah berusaha di tengah kekurangannya di daerah Timor.” Itu kan menjijikan sekali. Kadang menyakitkan juga. “Waaaah kamu dari Timor yaaaa.”

Kalau boleh tahu, katakanlah “kebencian” terhadap Jakarta atau terhadap “pandangan orang-orang kota” semacam itu sudah tertanam sejak kapan?

Sebenarnya, bukan kebencian terhadap Jakarta saja, sih. Saya benci terhadap semua hal. Hahahaha. Cuma memang, dikotomi antara pusat-daerah itu sangat terasa sesudah saya besar di daerah, bersekolah di Jawa—di pusat—lalu saya kembali lagi ke daerah. Itu kelihatan sekali perbedaan-perbedaannya.

Kita ini dijajah mulai dari pikiran. Contoh sederhana, anak-anak kita yang kecil-kecil itu, anak SD yang pegang HP, bikin vlog. “Hai gua mau ke sana nih.” Bayangkan ini anak-anak di daerah ingin menjadi seperti anak Jakarta. Sekecil itu, bayangkan.

Artinya, dengan banyak media: televisi, majalah, dan segala macam, orang-orang di daerah dipaksa untuk menjadi sama dengan orang-orang di pusat. Hal-hal semacam itu yang kadang sangat menyedihkan. Seolah anak-anak di daerah malu dengan budayanya sendiri, malu dengan apa yang mereka punya karena mereka sudah terpengaruh dengan standar orang-orang Jakarta.

Sebenarnya, kalau misalnya—di mana-mana ada positif dan negatifnya, ya—dua-duanya diangkat, itu jadi beragam. Punyamu bagus, punya ini bagus, kita jadi punya sesuatu yang bagus dan banyak. Seperti kita punya apel, kita punya pisang, dan dua-duanya sama-sama enak. Ayo, kamu pilih mau makan yang mana?

Tapi kondisi yang ada sekarang seolah berusaha membenamkan yang satu dan meninggikan yang lain.

Secara tidak langsung, dalam novelmu ada upaya mengangkat kebagusan yang lain itu?

Dalam novel ini saya hanya bercerita. Masing-masing tokoh menceritakan apa yang menurut dia benar.

Soal kemenangan kemarin, apakah itu boleh dibilang semacam pukulan buat orang-orang kota?

Buat AC Milan. Hahaha. Saya tidak tahu. Saya tidak berspekulasi sampai ke sana.

Ada tidak keinginan menyuarakan kehendakmu sendiri mengingat, misal, saat orang-orang dari Jawa datang ke tempatmu, yang dilihat tak lebih dari sekadar eksotisme belaka—seperti halnya tak sedikit orang Barat saat dulu datang ke Nusantara. Dalam pandanganku, paling tidak dilihat dari konten-konten Instagram atau film seperti Marlina, eskotisme semacam itulah yang umumnya dianggap sebagai kenyataan daerah NTT.

Ada, sebenarnya, itu banyak saya garap di novel saya.

Dengan kata lain, ada keinginan secara terbuka untuk mengemukakan persoalan sosial di daerahmu sebagai perlawanan terhadap “pandangan-pandangan penuh eksotisme” yang melingkupinya?

Sebetulnya saya menulis novel hanya untuk menulis saja. Tapi mungkin hal-hal semacam itu, menyuarakan sesuatu, sudah tersimpan lama dalam diri saya sehingga dengan sendirinya apa-apa yang keluar larinya ke situ. Tapi itu pun sebenarnya tidak direncanakan juga. Hanya saja, mungkin, hal-hal semacam itu sudah saya simpan sejak kecil.

Dan kalau omong-omong soal eksotisme, Timor itu bagi kami biasa saja. Mungkin karena sudah terbiasa di situ. Sabana juga kering kerontang.

Oh iya, problem masyarakat NTT sendiri bagaimana?

Di NTT itu sangat banyak masalah. Sekarang lagi ramai masalah Human Trafficking. Saya pikir banyak sekali masalah di provinsi itu. Seolah saat kami membicarakan satu persoalan yang belum selesai, ada persoalan baru yang menutupi persoalan lama itu. Kacau sekali.

Ya, berita soal Human Trafficking di NTT sempat kubaca, ada beberapa NGO di sana yang fokus ke masalah itu.

Sekarang banyak LSM soal itu. Ada IRGSC [Institute Resource Governance and Social Change], JPIT [Jaringan Perempuan Indonesia Timur], dan lain-lain.

Selain di sastra, kamu juga bergiat juga di lembaga-lembaga itu?

Iya, kalau ada diskusi-diskusi pasti datang. Sebenarnya saya di sana lebih banyak bergiat di komunitas-komunitas semacam itu. Di Dusun Flobamora, kecuali ada kegiatan penting, pasti saya datang. Hanya saya lebih sering datang ke teman-teman pekerja sosial.

Dan itu berpengaruh terhadap karyamu?

Ya, karena saya pikir itu penting sekali. Masalah-masalah sosial kami ini perlu diceritakan. Perlu ada yang tahu, ada yang dengar. Jadi saya hanya cerita saja.

Selain bergaul dengan pekerja sosial, apa lagi kegiatan yang rutin kamu lakukan di sana?

Saya dan teman-teman bikin komunitas. Leko namanya. Berbeda dengan Flobamora—tempat kami belajar baca-tulis baca-tulis, jadi penulis—Leko itu lebih ke komunitas literasi. Ajak orang untuk membaca yang banyak, kesadaran untuk menghindari hoaks, jadi kampanye-kampanyenya seperti itu.

Kami juga bikin perpustakaan-perpustakaan jalanan. Jadi tiap akhir minggu ke taman, bawa buku-buku, duduk di situ, nongkrong, ajak orang membaca, nanti ada yang datang.

Kegiatan-kegiatan semacam itu sebetulnya saya lakukan sejak di Malang, bersama seorang kawan pejuang literasi yang militan: Ragil Cahaya Maulana.

Oh iya kamu juga pemilik toko buku Fanu Books. Sudah berapa lama jualan buku?

Sudah setahun, sejak lulus kuliah.

Senang?

Senang. Dan banyak bangkrutnya karena saya jual ke teman-teman juga, jadi gak bisa terlalu banyak berharap. Dan karena saya jual buku-buku yang saya suka, jadi saya puas-puas saja kalau orang-orang yang saya tawari bilang “wah bukunya bagus.”

Kalau orang senang, kadang saya gak pikirkan lagi orang itu bayar atau tidak.

bersambung ke Bag. 2

KOMENTAR

Reporter buruan.co. Menulis puisi dan esai. Kumpulan puisi pertamanya "Kartu Pos dari Banda Neira" (Penerbit Gambang, 2017).

You don't have permission to register