#10YearsChallenge dalam Perjuangan HAM
#10YearsChallenge jadi tagar populer awal tahun 2019 ini. Tagar itu menantang warganet mengunggah dua foto diri berbeda dalam kurun 10 tahun. Tujuannya sederhana. Hanya membandingkan dan melihat perubahan pada diri mereka.
Fenomena ini menarik dan dapat dimanfaatkan oleh gerakan sosial. Dalam membangun sebuah gerakan perlu menggunakan prinsip “Segaris Massa”. Intinya, kampanye sosial kepada massa perlu disesuaikan dengan perkembangan dan kondisi zaman. Tentu saja, tanpa melupakan tujuan utama dari gerakan tersebut. Kampanye sosial untuk manusia zaman old dan zaman now tentunya berbeda, tapi tujuannya sama.
Baca juga:
– Moralitas Bangsa dari Sudut Pandang Hukum dan HAM
– Penyebab Bencana Bernama Anti-Intelektualisme
Greenpeace menjadi salah satu organisasi gerakan yang memanfaatkan tagar #10YearsChallenge. Organisasi yang fokus terhadap isu lingkungan ini mengunggah foto pencemaran lingkungan, penggundulan hutan, hingga korupsi di sektor lingkungan terjadi dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Mereka ingin menyampaikan parahnya masalah-masalah lingkungan yang terjadi hingga saat ini.
Siasat yang dilakukan Greenpeace bisa ditiru oleh gerakan lainnya. Salah satunya oleh Aksi Kamisan yang menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia.
***
Sudah 12 tahun, setiap Kamis, para korban dan anggota keluarga korban berdiri menghadap Istana Negara. Berpayung hitam, mereka menuntut penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Di tengah sengat matahari atau guyuran hujan mereka berdiri. Sebelum segalanya selesai, apapun yang terjadi, mereka akan tetap berdiri.
Salah seorang dari mereka, Maria Katarina Sumarsih. Ibunda dari Bernardinus Realino Norma Irmawan (Wawan) yang ditembak mati aparat saat tragedi Semanggi I. Telah 66 tahun usia Maria, tapi ia tak lelah berdiri.
Selain tragedi Semanggi I, kasus-kasus pelanggaran HAM lainnya masih antre menunggu untuk diselesaikan oleh pemerintah. Sebut saja peristiwa G30S 1965, Tanjung Priok, Talangsari, Trisakti, Semanggi II.
Lantas, apa saja yang sudah dilakukan pemerintah dalam 12 tahun dalam penanganan berbagai kasus pelanggaran HAM tersebut? Pemerintah cenderung jalan di tempat. Padahal secara sistem dan birokrasi, kasus-kasus pelanggaran HAM berat dapat diselesaikan. Sayangnya, pemerintah belum memiliki kemauan serius menyelesaikannya.
Komnas HAM telah melimpahkan berkas penyelidikan beberapa kasus pelanggaran HAM berat kepada Kejaksaan Agung. Namun, kejaksaan justru mengembalikan semua berkas perkara tersebutalih-alih melakukan penyidikan. Presiden pun hanya diam melihat kondisi demikian. Padahal ia pernah berjanji untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM ketika berkampanye di Pilpres 2014.
Upaya mengembalikan hak-hak penyintas yang selama ini tercerabut sebetulnya pernah diupayakan oleh Gus Dur. Presiden RI ke-4 itu merupakan pejabat tinggi Indonesia pertama yang secara terbuka meminta maaf atas pembunuhan massal 1965-1966. Ia juga menyerukan pencabutan TAP MPRS XXV tentang pelarangan PKI dan pengharaman ajaran komunisme, marxisme, leninisme di Indonesia.
Namun, langkahnya tidak disukai oleh kebanyakan elite politik. Gus Dur dilengserkan dari kursi Presiden. Kasus penanganan pelanggaran HAM kembali jalan di tempat.
Belum selesai penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu, kasus pelanggaran HAM masa kini juga marak terjadi. Walaupun Komnas HAM menyebut bahwa selama masa pemerintahan Joko Widodo tidak ada pelanggaran HAM berat, bukan berarti hal itu dapat dimaklumi.
Pada masa pemerintahan Joko Widodo, masifnya pembangunan infrastruktur berbanding lurus dengan masifnya perampasan hak atas tanah rakyat. Sebut saja kasus Kulon Progo, Sukamulya, hingga Tamansari. Masyarakat dipaksa keluar dari tanah kelahirannya demi pembangunan.
Selain itu, menurut catatan KontraS, ada 156 kekerasan pada warga yang membela hak-haknya sepanjang Januari-Oktober 2018. Sementara menurut Walhi, ada 163 warga yang dikriminalisasi karena membela lingkungan sepanjang 2018.
Kekerasan yang dilakukan oleh militer di Papua juga penting untuk disorot. Atas nama “keamanan negara”, militer membabi-buta dalam merepresi warga sipil. Amnesty International mencatat ada 95 warga sipil di Papua meninggal dunia akibat tindakan represif kepolisian dan militer sejak tahun 2010. Mahasiswa Papua yang melakukan aksi demonstrasi menyuarakan pelanggaran HAM di Papua pun kerap kali mendapat tindakan represif dari aparat.
***
Berbagai pemaparan tersebut menunjukkan bahwa upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu masih berjalan di tempat. Bersamaan dengan itu, pelanggaran HAM yang terjadi di masa kini pun kianmarak.
Tren #10YearsChallenge juga direspons peserta Aksi Kamisan. Beberapa unggahan mereka menunjukkan bahwa dari 10 tahun lalu hingga sekarang, upaya penyelesaian kasus pelanggaran HAM jalan di tempat. Tidak ada perubahan yang signifikan selama 10 tahun. Ironi ini bisa digunakan untuk mendorong kesadaran masyarakat bahwa pemerintah tak pernah punya komitmen serius untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Baca juga:
– Rumah Umat Muslim Digusur, Siapa yang Membela?
– Ibu yang Sempurna Itu Bernama Yu Patmi
#10YearsChallenge hanya satu tren. Kelak pasti muncul tren-tren lain. Memontum tersebut juga mesti disambut oleh para pegiat gerakan sosial, salah satunya dalam aksi Kamisan. Dengan itu, niscaya akan semakin banyak masyarakat berpartisipasi dalam Aksi Kamisan. Karena seperti halnya tawa, sebuah tangisan pun bisa menular.[]
Sorry, the comment form is closed at this time.
Renaldi
Seperti halnya tawa… tangisan pun bisa menular. Pemerintah terlaku fokus dalam Hal pembangunan negeri ini, tanpa memikirkan perasaan Dan hak seseorang. Good job👍 ini baru namanya smart people