Fb. In. Tw.

Penyebab Bencana Bernama Anti-Intelektualisme

Widjo Kongko, Perekayasa Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), mungkin tak menyangka. Ada dampak buruk baginya dari imbauannya sendiri. Ia harus berurusan dengan kepolisian lantaran imbauan yang diucapkannya dianggap bermasalah.

Semua bermula dari sebuah seminar ilmiah yang dihelat oleh Badan Meteorologi dan Geofisika (BMKG) pada April 2018. Pada seminar bertopik “Sumber-sumber Gempa Bumi dan Potensi Tsunami di Jawa Bagian Barat” itu, Widjo mengatakan bahwa daerah Pandeglang, Banten berpotensi diterjang tsunami setinggi 57,1 meter bersumber dari gempa megathrust di zona subduksi selatan Jawa.

Widjo adalah seorang pakar. Ia telah lama berkecimpung di bidang penelitian gempa dan tsunami. Sewajarnya, imbauan dari Widjo dijadikan kesempatan untuk meningkatkan kesiagaan meminimalisir risiko bencana.

Namun, sebaliknya. Terjadi kepanikan massal karena kebanyakan media memberitakan secara sensasional dan melebih-lebihkan. Kepolisian Daerah Banten pun bertindak. Dilayangkannya surat panggilan untuk Widjo. Alasannya karena dianggap meresahkan masyarakat dan akan menghambat investasi.

Memang, Widjo tak sampai meringkuk di balik jeruji. Ia hanya diminta mengklarifikasi imbauannya ihwal potensi tsunami. Setelah itu, semua selesai. Tidak ada tanggapan lebih lanjut dari seluruh pemangku kebijakan soal menyiagakan masyarakat terhadap potensi bencana tersebut.

Imbauan Widjo menemukan bentuknya delapan bulan kemudian. Tanggal 22 Desember 2018, tsunami menerjang. Banten dan Lampung Selatan luluh lantak. Banyak orang terkejut. Tak menduga. Tsunami datang tanpa gempa—tanpa gejala.

Sehari setelahnya, baru diketahui bahwa tsunami terjadi akibat longsor badan Gunung Anak Krakatau yang sedang erupsi.

Benar bahwa penyebab terjadinya tsunami dalam imbauan Widjo—yang disebabkan gempa megathrust—berbeda dengan penyebab tsunami yang terjadi malam itu. Tapi, andai dahulu imbauan Widjo ditanggapi serius para pemangku kebijakan untuk bersiaga menghadapi potensi bencana, niscaya dampak kerusakan dan jumlah korban bisa diminimalisir. Karena ada satu fakta yang tak bisa dibantah: lokasi terjadinya tsunami sesuai dengan yang diprediksi oleh Widjo.

Baca juga:
– Konservasi Alam dan Islam
Menyusuri Sisa-Sisa Erupsi Merapi

***

Tindakan orang-orang pada Widjo merupakan sikap anti-intelektualisme. Dalam penjelasan seorang sejarawan Amerika Serikat, Richard Hofstadter, anti-intelektualisme adalah sikap penolakan, perendahan, perlawanan secara konstan terhadap dunia ide atau gagasan. Dampaknya adalah purbasangka yang negatif terhadap sastra, seni, penelitian, filsafat. Pendeknya mencurigai  dan menjauhi teori.

Dalam sebuah masyarakat yang terpapar virus anti-intelektualisme, teori sering direndahkan sebagai sesuatu yang mengawang. Tidak membumi. Tidak aplikatif. Bagi kita yang hidup di Indonesia, kiranya sering mendengar ledekan-ledekan semacam, “Kebanyakan teori!”, “Cuma jago ngomong doang!”, dan “Teori mah gampang, praktik yang susah!”

Saat ini, sikap anti-intelektualisme tidak hadir dari ruang hampa. Ada prakondisi lahirnya sikap anti-intelektualisme. Salah satunya bisa ketika rezim Orde Baru, yang saat itu tergila-gila pada pembangunanisme, amat ketat dalam membatasi, menghalangi, dan mencurigai kegiatan berteori seperti diskusi dan kajian.  Dengan alasan tidak praktis—persisnya tidak praktis bagi kepentingan pembangunanisme—kegiatan semacam itu sering direpresi.

Daniel Dhakidae dalam bukunya Cendekiawan dan Kekuasaan (2003), menjabarkan banyak contoh kasus komunitas-komunitas akademik menjauhi teori dan hanya sibuk menjawab berbagai kebutuhan rezim yang sedang tergila-gila dengan pembangunan. Kalaupun teori dipakai, ia lebih menyerupai “bispak”: Bisa dipakai untuk melegitimasi kebijakan.

Untuk kasus teranyar, penyakit anti-intelektualisme ini dapat dilihat juga dari maraknya razia buku yang dianggap mengandung paham komunisme. Seperti dilaporkan BBC Indonesia, aparat sudah dua kali melakukan razia buku dalam satu bulan terakhir ini. Pertama terjadi di Kediri, kedua di Padang.

Dalam iklim seperti ini, tidak mengherankan jika ada banyak orang meyakini bahwa bencana diakibatkan azab dari Tuhan ketimbang pertanda lemahnya mitigasi. Mitigasi sendiri merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mengurangi dan/ atau menghapus kerugian dan korban yang mungkin terjadi akibat bencana, yaitu dengan cara membuat persiapan sebelum terjadinya bencana.

Kemampuan mitigasi menjadi sangat penting di Indonesia. Mengingat seringnya negeri ini diterpa bencana alam. Dalam tren kejadian bencana yang dirilis per tahun oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana, dari 2010 hingga 2018, tercatat jumlah bencana alam di Indonesia selalu di atas 1000 kali per tahun.

Dalam melakukan mitigasi bencana, Jepang bisa jadi contoh baik. Seperti Indonesia, letak geografis Jepang membuat negeri Matahari Terbit itu rentan tertimpa bencana. Bahkan seperti dilaporkan The Independent, seluruh kota besar Jepang pernah hancur dan ditata ulang kembali akibat tertimpa bencana sepanjang abad ke-20.

Namun, Jepang tahu. Selain merancang infrastruktur kokoh, Jepang membangkitkan kesadaran manusia melalui pendidikan. Anak-anak diberi asupan pelajaran tentang sejarah negeri mereka yang penuh bencana. Bahkan setiap tanggal 1 September, seluruh warga Jepang memperingati Hari Pencegahan Bencana Nasional. Ini tentunya sangat membantu masyarakat Jepang menjaga kesiagaan akan ancaman bencana. Karena bencana bisa datang kapan saja.

Baca juga:
Ibu yang Sempurna Itu Bernama Yu Patmi
Merenungkan Kembali Resolusi

***

Ada berita baik pasca bencana. Pemerintah berencana akan memasukkan mitigasi bencana ke dalam kurikulum pendidikan. Sayang, belum apa-apa penentangan sudah datang dari Wakil Presiden, Jusuf Kalla.

Ia berpendapat bahwa mitigasi bencana tidak perlu diajarkan secara teoretis seperti pelajaran sekolah lainnya, melainkan perlu dilatih.

“Soal kebencanaan itu tidak perlu diajarkan, cuma perlu dilatih. Tentu dengan latihan itu menjelaskan. Jadi seperti kalau ada gempa, maka harus berada di bawah meja. Kalau ada memang terjangan tsunami, lari. Atau gempa bumi itu harus keluar ke lapangan,” ucapnya seperti dikutip dari Jawa Pos.

Dari pendapat Jusuf Kalla itu, lagi-lagi kita melihat sikap anti-intelektualisme masih bersemayam dalam nalar seorang pejabat publik. Teori direndahkan karena dianggap tidak aplikatif. Maka tak perlu kaget apabila narasi bencana sebagai azab Tuhan agaknya akan tetap populer sampai entah kapan.[]

 

 

Referensi:

  1. Cendekawan dan Kekuasaan karya Daniel Dhakidae
  2. Anti-Intellectualism in American Life karya Richard Hofstadter
  3. “Mengenal dr Widjo yang Dipanggil Polisi Karena Penelitian Tsunami”. 
  4. “Seminar Ilmiah Sumber-sumber Gempa Bumi dan Tsunami di Jawa Bagian Barat”.
  5. “Tren Kejadian Bencana 10 Tahun Terakhir”.
  6. “Jokowi Minta Mitigasi Bencana Masuk Kurikulum, JK Bilang Begini”.
  7. “Typhoon Jebi: What Makes Japan so Good at Responding to Natural Disasters?”.
KOMENTAR

Redaktur Jeda Buruan.co. Bobotoh Persib, penyeduh senja dan pemuda pancaroba.

You don't have permission to register