Ulasan Cerpen “Nul” Karya Dadang Ari Murtono
Mulai tahun 2019, buruan.co menghadirkan ruang untuk memuat karya sastra, puisi maupun cerpen. Dijadwalkan tanggal 1, 10, 20, dan 30 setiap bulannya. Rencananya, pemuatan karya akan disertai dengan sedikit ulasan pada masing-masing hari pemuatannya. Hal ini diharapkan mampu memberi warna terhadap khazanah sastra media di Indonesia.
Khusus untuk cerpen, memiliki syarat panjang dalam kisaran 3500-5000 karakter. Pilihan ini bukan tanpa pertimbangan atau resiko minimnya naskah yang datang. Pilihan ini diambil sebagai upaya untuk melihat sejauh mana daya kreativitas prosais, dalam menyodorkan cerita dengan bahasa yang pejal tanpa kehilangan daya ‘memberi’. Sebuah tantangan yang mudah-mudahan mampu dijawab tanpa kehilangan ruh prosa yang sesungguhnya.
Pada edisi perdana, rubrik buruan menampilkan cerpen berjudul “Nul” karya Dadang Ari Murtono. Cerpen “Nul” berpusar pada kegelisahan tokoh utama saat memerangi ketergantungan obat. Cerpen ini dibuka oleh penggambaran sekilas upaya tokoh utama untuk berhenti sebagai pemakai dan berakhir saat puncak rasa sakau mendatangi sang tokoh saat menghitung domba imajiner. Semua itu atas dorongan dan saran sang pacar.
Nul berhenti mengonsumsi dobel L setelah sepuluh tahun menjadi pengguna setia. Bukan hal yang mudah, namun pada akhirnya, atas dorongan pacarnya, ia berhasil melewatkan dua hari dengan bersih.
…Ia menelepon pacarnya yang menyuruhnya menghitung domba imajiner. “Kau akan tertidur sebelum domba ke seratus.”
Andai kita mengamini teori, bahwa dasar struktur prosa hanya terdiri dari alur dan penokohan. Maka cerpen “Nul” lebih fokus dan secara implisit berpijak pada hal yang pertama. Masa depan tokoh utama diproyeksikan dalam sebuah peristiwa, yaitu saat ia menghitung domba dan berusaha keras untuk tidur. Hal ini menjadi semacam “kelebihan’ karena pada akhirnya cerita tidak melebar kemana-mana.
Baca juga:
– Rekonstruksi Mitologi Langit Ketujuh
– Membaca Kepingan Impian Amerika
Usaha keras tokoh utama untuk tidur, diartikulasikan pada akhir cerita dengan deskripsi yang surealis. Metafora gambaran domba dan macan yang hiperbolis digunakan untuk penggambaran halusinasi saat tokoh utama mengalami sakau. Pilihan ini diambil sebagai langkah aman agar tidak melenceng jauh dari rel pengaluran sekaligus cara yang efektif untuk menutup cerpen ini.
…Pada domba ke-62, yang sebesar gajah dan tampak aneh dengan bulu ungu, tiba-tiba seekor macan yang sepertinya tercipta dari udara melompat dan menerkam domba tersebut.
…Macan itu mendekati Nul, menggeram sekali lagi sebelum tiga detik selanjutnya, melompat dan menerkam Nul, lantas mencabik-cabik tubuh ringkih itu. Nul bahkan tak sempat berteriak.
Cerpen “Nul” menjadi gambaran yang mewakili pengalaman para pemakai, sebagai realitas umum yang dialami saat mencoba untuk berhenti. Tapi pertanyaannya kemudian, apakah cerpen ini menyita sejenak pikiran Anda sebagai jeda untuk merenung setelah selesai membacanya?
Selamat menikmati dan semoga Anda dapat membacanya dengan pemaknaan yang terus berbeda.[]