Merenungkan Kembali Resolusi
Tahun 2018 baru berakhir. Almanak berganti ke tahun 2019. Lini masa media sosial dipenuhi kenangan. Segala pencapaian pada tahun 2018 disyukuri, beberapa kegagalan disesali.
Tahun baru, harapan baru. Semua orang bertekad memperbaiki diri. Berharap agar keberhasilan segera datang, sedang kegagalan tak lagi terulang. Upaya tersebut biasa disebut resolusi.
Kebiasaan membuat resolusi saat menyambut tahun baru punya sejarah panjang. Alkisah, sekitar 4000 tahun lalu, tiap menjelang musim panen, masyarakat Babilonia berjanji kepada para dewa. Segala utang akan mereka bayar. Setiap barang pinjaman akan mereka kembalikan. Jika mereka menepati janji, para dewa memberi kemudahan hidup sepanjang tahun.
Kini, resolusi sudah bermacam bentuk. Menikah, punya anak, naik jabatan, dapat pekerjaan, hingga menurunkan berat badan hanya sedikit dari sekian banyak resolusi. Semua demi tujuan adiluhung: membuat hidup menjadi lebih baik dari tahun yang lalu.
Tujuan itu tak sepenuhnya keliru. Manusia ingin terus berkembang dari waktu ke waktu. Tapi, penting untuk merenungkan lagi, apakah resolusi itu benar-benar diperhatikan—untuk kemudian diamalkan—di tengah zaman serba bergegas seperti sekarang?
Kita menghirup udara zaman dengan tuntutan bersicepat dalam melakukan pekerjaan apa pun. Tuntutan akan kecepatan seakan melekat pada setiap tarikan napas. Satu tenggat terlewati, sudah muncul tenggat lain.
Baca juga:
– Saat Ajal Tak Berdaya di Hadapan Manusia
– Ibu yang Sempurna Itu Bernama Yu Patmi
Pada 2014, dengan mengutip hasil survei Harvard Business School, Forbes melaporkan bahwa sekitar 94% profesional bekerja lebih dari 50 jam/minggu. Sementara, dengan menyitir laporan TirtoID, Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mencatat bahwa pada 2016 sepertiga pekerja kreatif mengalami overwork dengan jumlah jam kerja lebih dari 48 jam/minggunya.
Ritme hidup seperti itu amat mungkin membuat seseorang mudah lupa. Begitu juga dengan resolusi yang telah ia sepakati. Akrab dengan distraksi rentan membuat seseorang menjadi pelupa. Seperti yang digambarkan dengan sangat baik oleh Milan Kundera dalam buku The Book of Laughter and Forgetting (1999), saya kutipkan utuh: “Pembantaian massal di Banglades dengan cepat menutupi ingatan orang terhadap invansi Rusia ke Cekoslovakia, pembunuhan di Allende menggantikan tragedi di Banglades, perang di Gurun Sinai membuat orang melupakan Allende, pembantaian di Kamboja membuat orang lupa pada Sinai dan begitu seterusnya, hingga hampir-hampir setiap orang membiarkan segala sesuatunya dilupakan.”
Hal ini terkonfirmasi dalam laporan yang dipublikasikan sebuah situs perbandingan data asal Australia, Finder. Pada 2014, mereka melaporkan bahwa 2 dari 3 orang telah gagal dalam mencapai resolusi tahun baru mereka. Alasan paling banyak karena resolusi mereka terlalu sulit. Bahkan, nyaris tidak mungkin digapai. Kedua, mereka tidak berusaha konsisten meraih resolusi. Ketiga, resolusi tersebut terlupakan begitu saja.
Resolusi juga membuat banyak orang lebih rentan terkena pengaruh negatif. Paling utama, pengaruh dari luar diri mereka. Hal ini pernah dibahas oleh seorang psikolog, Melissa Burkley Ph.D., dalam Pschology Today.
Menurut Burkley, ketika mencanangkan sebuah resolusi, seseorang harus memiliki kemampuan kontrol diri yang kuat guna tetap berada di jalur yang mereka tuju. Misal, ketika seseorang beresolusi ingin menurunkan berat badan, mereka harus bisa mengontrol secara ketat setiap makanan yang mereka konsumsi.
Jadi persoalan ketika kemampuan kontrol diri seorang manusia sangat terbatas. Burkley mengibaratkan dengan bensin dalam tanki kendaraan. Ketika bensin itu dikerahkan sepenuhnya untuk meraih resolusi, maka ketersediaan bensin untuk aspek-aspek kehidupan di luar resolusi akan sangat minim. Inilah yang menyebabkan seseorang rentan terpapar pengaruh negatif dari luar.
Misal, saat seseorang beresolusi untuk menurunkan berat badan, sangat mungkin ia akan mudah tertipu iklan para penjaja obat diet.
Dari berbagai pemaparan itu, selain kerap menjadi perayaan sesaat saja, resolusi punya potensi buruk terhadap diri seseorang. Maka, daripada sibuk membuat resolusi, lebih bijak memikirkan cara agar tahun ini hidup bisa lebih dinikmati.
Banyak orang sudah sering memasang posisi takzim di hadapan target-target harian—utamanya dalam hal pekerjaan. Masihkah ingin menambah beban pikiran dengan menambah target-target melalui resolusi?
Baca juga:
– Belajar pada Albert Camus
– Puisi Tak Bisa Menggorok Leher Anak-Anak
Saya teringat dengan Juan Roman Riquelme. Bekas pesepak bola asal Argentina itu adalah seorang yang paling tahu menikmati sepak bola dengan caranya sendiri. Kendati, mungkin, cara tersebut sudah kuno seiring perkembangan pesat dunia persepakbolaan.
Ini tergambar dari pernyataan Jorge Valdano, yang juga bekas pesepak bola Argentina, saat Riquelme memutuskan untuk gantung sepatu. Dengan sebuah perumpamaan, Valdano memaparkan karakter Riquelme.
“Apabila kita harus menempuh perjalanan dari kota A ke kota B, kebanyakan dari kita akan menggunakan fasilitas jalan tol agar bisa sampai ke tujuan sesegera mungkin. Namun, tidak bagi Riquelme. Ia akan memilih jalur pegunungan yang berliku, lengkap dengan panorama indah di sekelilingnya, kendati itu membutuhkan waktu tempuh lebih lama dibandingkan lewat jalan tol.”
Jika sepak bola di sana diibaratkan sebagai kehidupan, maka dari kutipan Valdano itu kita dapat mengetahui bahwa orang seperti Riquelme akan lebih memilih cara yang menyenangkan dirinya untuk mencapai segenap target kehidupan—kendati cara yang ia pakai tidak populer dan efisien.
Untuk apa mengikuti cara yang populer plus efisien, jika tak cocok dan jelas-jelas hanya akan menyakiti diri sendiri. Untuk apa sibuk membuat resolusi, jika pada akhirnya hanya akan membebani diri sendiri dan tidak menghasilkan apa-apa.
Banyak jalan menuju Roma. Setiap kita punya cara masing-masing untuk membuat hidup lebih baik di tahun 2019 ini—tidak harus selalu dengan membuat resolusi terlebih dahulu.
Barangkali dengan itulah, di tahun baru ini, kehidupan bisa lebih nikmat untuk dijalani. Seperti yang dikatakan Riquelme pada pidato perpisahan dirinya, “Saya sangat menikmati sepak bola (hidup) hingga ke puncaknya. Dan saya berharap orang-orang juga bisa menikmatinya.”[]