Fb. In. Tw.

Runtuhnya Rumah Bernarda Alba

Sebuah pintu besar yang lebih mirip gerbang, menampakkan ruang belakang terpagar jeruji besi. Citra dari satu-satunya kebebasan yang terkunci. Hanya ada dua lorong terusan gerbang ke kanan dan ke kiri. Ke kanan, penghuni rumah dapat menuju kamar mereka. Ke kiri, mereka dapat menuju halaman belakang.

Panggung itu barangkali ruang tengah, dimana sebuah meja makan terpapar di samping kanan dan di samping kiri sebuah kursi disimpan lebih tinggi dari kursi-kursi lainnya. Kita akan langsung tahu, di sanalah tuan rumah biasa duduk. Dinding putih yang tinggi, bangun rumah yang besar, dingin, dan angkuh. Demikianlah rumah Bernarda Alba.

Kesan awal pertunjukan Rumah Bernarda Alba di Gedung Sunan Ambu ISBI, Sabtu malam itu (10/11/2018) begitu angker. Musik gereja sejak mula mengantarkan kita pada kemurungan yang agung. Suasana berkabung yang ditimpali percakapan dua pembantu, menunjukkan pada kita siapa yang berkuasa di rumah itu.

Sambil membersihkan meja makan yang sebenarnya telah cukup bersih, Poncia yang diperankan oleh Septiani Sri Ulina dan bawahannya menunjukkan suatu kegelisahan, kemarahan, dan kejengkelan pada tuan rumah. Rumah yang dihuni seorang ibu bernama Bernarda Alba dengan lima orang anak perempuannya yang tidak satu pun menikah. Itu adalah hari dimana suami kedua Bernarda dimakamkan.

Rombongan pemilik rumah pun datang dari kiri panggung, satu-satunya pintu keluar rumah. Mereka nampak murung dan sedih tapi tidak satu pun menangis. Bernarda begitu diam, dan anak-anaknya seperti menahan tangis mereka, kecuali Magdalena, ia tidak bisa menahan tangisannya. “Diam!” perintah Bernarda. Namun, ia terus menangis, hingga perintah itu makin tegas dan memaksa. Tidak satu pun dari mereka mampu membantah perempuan dengan tongkat di tangannya itu. Satu ketukan tongkat mampu membuat mereka bergerak dari satu posisi ke posisi lain. Tongkat itu adalah perintah, suatu simbol kuasa.

Sugesti Kuasa dan Perlawanannya
Mereka duduk di kursi. Kursi yang diletakkan sesuai fungsinya dalam realitas cerita, tapi arah dari duduk seluruh tokoh itu menghadap ke penonton. Adegan ini membangun kesadaran penonton pada batas dari realitas cerita dan realitas panggung. Mereka yang dalam satu skenario artistik itu berdoa, bernyanyi, seperti memberi kabar pada kita bahwa mereka punya suatu tradisi dan aturan. Mereka tengah berkabung dan menghormati yang mati. Inilah keutamaan salah satu Pertunjukkan Tugas Akhir Pemeranan mahasiswa ISBI tahun 2018 bimbingan Dr. Retno Dwimarwati, yang juga merupakan sutradara pertunjukan ini. Sejak mula penonton diarahkan pada suatu pertunjukan dengan realitas cerita yang sugestif.

Rumah sebagai tempat dan Bernarda Alba sebagai manifestasi berpindahnya tempat menjadi ruang. Ruang kuasa Bernarda Alba yang diperankan oleh Laelatul Sani mula-mula kita identifikasi melalui struktur, bentuk dan posisinya di atas panggung. Kemudian, kita tahu bahwa struktur itu dibangun dan dihidupi oleh para penghuni ruang tersebut. Ada batas tegas antara ruang dalam rumah dan ruang luar rumah. Di ruang dalam rumah, Bernardalah yang mengatur semuanya. Laelatul Sani dengan baik memerankan sosok penguasa itu dengan melarang anak-anaknya untuk berinteraksi dengan dunia luar rumah. Aturan yang ada sejak lama, dan makin kuat porsinya setelah kematian suami keduanya.

Namun, dunia luar itu telah menembus dinding kuasa Bernarda dan bersemayam di alam psikologis anak-anaknya. Dunia luar itu bernama “Pernikahan”. Dengan cerdas, Lorca menempatkan desakan kebutuhan biologis pada tatanan sosial. Pernikahan adalah bagaimana siasat manusia berupa moral atau aturan memberi baju pada banalitas biologisnya. Di sanalah kecamuk persoalan seisi rumah bermula. Ketika lima anak perempuan yang telah melampaui umur wajar untuk menikah, tertahan kuasa seorang ibu. Ini pun menjadi modal utama karakter setiap tokoh yang mestinya dapat diolah secara optimal oleh setiap aktor di dalam pertunjukan.

Semisal ada perbedaan persepsi anak-anak Bernarda Alba tentang pernikahan, sesuai umur, mental, dan jejak peristiwa hidup mereka yang sedikit demi sedikit dibangun Lorca melalui dialog. Misal Magdalena yang paling tua, dengan kesal (melalui dialognya) merasa sudah tidak lagi memerlukan pernikahan karena fase biologisnya telah lewat. Sementara Adelia yang paling muda di antara mereka sedang dalam gejolak jiwa yang melimpah dan cenderung memberontak. Seperti air, mereka punya arusnya sendiri. Dan, di tengah bendungan aturan seorang ibu, Adelia adalah banjir bandang yang mendobrak dan membuka tabir superego setiap orang di dalam rumah.

Tetapi variasi karakter tokoh dari lima anak ini tidak begitu berhasil diciptakan. Secara fisik dan kostum, begitu nampak bahwa di antara kelima tokoh ini seolah sebaya, padahal semestinya tidak. Namun, memang mengejar perbedaan fisik, di tengah kondisi pemeran yang masih muda, amatlah sulit. Beruntung Lorca cukup membantu dalam naskah melalui dialog dan cara pandang tokoh (muatan dialog). Meski memang terhambat jumlahnya yang sedikit dan kode budaya yang berbeda. Selebihnya, membutuhkan kekuatan para aktor untuk berperan dalam dimensi umur dan kepribadian setiap tokoh yang diperankannya.

Modal dari para aktor untuk membangun karakterisasi tokoh antara lain, penampilan fisik dalam hal ini tata rias dan kostum, mimik dan gestur, lebih utama lagi kebiasaan laku dan cara pandang. Cara pandang tentu mulanya bersumber dari naskah Lorca, tapi selebihnya aktor mesti menggali pengetahuan, pengalaman tokoh, dan mewujudkannya melalui suatu tafsir.

Ada beberapa tokoh yang berhasil diperankan. Tokoh Angustias yang diperankan oleh Nenden A. R. salah satu yang cukup baik. Ia merupakan anak pertama Bernarda dari suaminya yang pertama. Dengan adik-adiknya yang lain, Angustias berjarak sebab beda bapak. Di samping itu, ia pun memiliki harta warisan yang banyak sekali dari mendiang bapaknya. Nenden telah menojolkan sikap berbeda pada diri Angustias dengan bisnis laku yang detail seperti tangannya yang tidak bisa diam, gestur badannya yang selalu mengerut, dan matanya yang tidak pernah menatap orang saat berbicara. Konsistensi karakter ini membuat sifat kikuk dan terasingnya Angustias di dalam keluarga menjadi sangat kuat.

Konflik dari dunia luar itu mulai terasa ketika seorang lelaki bernama Pepe El Romano (tokoh ini tidak muncul dalam pertunjukan) dikabarkan melamar Angustias. Satu orang anak yang sudah cukup tua itu akan dilepas Bernarda pada seorang lelaki paling terkenal di kampungnya. Dengan sangat menarik, kita akan langsung memperhatikan kecemburuan dari empat anak Bernarda yang lain. Empat anak yang tentu saja menanggapi persoalan itu dengan kecemburuan yang beragam pula.

Magdalena yang diperankan oleh Nindya Raina L. yang sejak awal telah menunjukkan sikap paling tidak suka pada Angustias, menganggap Pepe hanya ingin mendapatkan harta warisan Angustias saja. Amelia yang diperankan oleh Cyntia Anggraeni juga menunjukan sinis serupa. Mereka berdua sejak awal mengalihkan perhatian penonton pada sikap bencinya pada Angustias. Namun, sikap Angustias yang kaku, dan tidak mau bergaul dengan keempat saudaranya yang lain, sama sekali tidak menanggapi kebencian tersebut.

Mortirio yang diperankan oleh Siti N. Anjungsari barangkali yang paling bersikap bijak dan selalu punya prasangka baik terhadap Angustias. Mortirio pernah pula di posisi Angustias tapi gagal mendapatkan cintanya. Situasi kecemburuan yang sedih muncul dengan begitu khas dari Mortirio. Kecemburuan yang dihadirkan Siti untuk peran Mortirio ini nampaknya yang paling dalam saya rasakan, dibanding dengan kecemburuan Magdalena dan Amelia. Ia sama sekali tidak menunjukkan sikap iri, tapi sikap iba pada dirinya sendiri. Dari Mortirio kita bisa melihat bagaimana sikap sedih yang didasari karena suatu kekecewaan di masa lalu.

Kecemburuan yang banal justru terlihat dengan kontras diarahkan pada Adela yang diperankan oleh Rahmah Fitriyani. Adela sejak awal dilihat paling punya hubungan kecemburuan yang lebih dari yang lain. Ini pun terkait dengan Pepe El Romano. Meski belum jelas nampak peristiwa hubungan Pepe dan Adela, tapi Adela sudah menunjukkannya dengan suatu kekhawatiran dan ekspresi yang berlebihan saat semua orang membicarakan Pepe El Romano. Adela selalu menghilang dari orang-orang dan selalu mengaku sedang melihat ayam-ayam di belakang rumah. Ayam yang sejatinya bukan ayam, melainkan lelaki.

Kekhasan sikap Mortirio beralih pada sikap menguntit pada Adela. Ia kemudian menjadi satu orang yang menyimpan rahasia dari perilaku mencurigakan Adela. Namun, peristiwa hilangnya foto Pepe dari tempat tidur Angustias, yang kita akan langsung mengarah pada Adela sebagai pelakunya, dibikin menyimpang oleh Lorca dengan fakta bahwa Mortiriolah yang telah mencurinya. Meski kemudian fakta dari pencurian yang tidak terduga ini lebih diakuinya sebagai sikap bercanda. Bermain-main dengan foto seorang lelaki, sebagai upaya untuk menghibur kesedihannya, tanpa ada niat untuk merebut Pepe El Romano dari tangan Angustias. Bernarda marah besar pada Mortirio, memukulnya, dan makin mengetatkan peraturannya di rumah tersebut.

Seluruh karakter kakak beradik ini mula-mula disekap dalam kuasa Bernarda. Bernarda memegang peranan penting dalam dinamika gerak tokoh-tokoh lain di rumah itu. Namun, rongrongan ruang luar berupa kehadiran Pepe El Romano ini nampaknya menjadi motif kuat dari perlawanan (meski tidak seragam) anak-anak Bernarda terhadap ruang kuasa yang dibangunnya.

Kekuasaan tanpa Motif
Kasus itu teralihkan, ketika tokoh lain dihadirkan di dalam rumah ini. Ia adalah nenek anak-anak dan ibu dari Bernarda Alba. Tokoh ini sejak awal dibayangkan sebagai seorang yang berani berteriak-teriak memanggil dan meminta Bernarda mengeluarkannya dari suatu ruang kurungan. Perempuan tua ini bernama Maria Josefa yang diperankan oleh Chyntra Dewi F. Kenyataannya perempuan tua ini gila, rambutnya putih tidak beraturan, ia gunakan gaun pernikahan, dan kakinya dirantai. Namun, perempuan ini setidaknya paling jujur dalam cerita. Ia bicara dengan tanpa rasa takut pada Bernarda, bahwa anak-anaknya tidak satupun akan menikah. Ia pun dengan tanpa malu bicara bahwa ia ingin menikah. Sebuah boneka anak domba di tangannya dianggapnya sebagai anak.

Bagi saya, kehadiran nenek gila yang tidak lain adalah ibu Bernarda ini adalah manifestasi simbolik dari kecamuk batin semua anak Bernarda pada pernikahan. Maria Josefa adalah id atau insting (suatu mekanisme fisiologis dari gejolak biologis manusia) yang berontak di dalam rumah. Ego setiap anak yang berpegang pada superego perintah Bernarda Alba kemudian melihat suatu kemungkinan lain di rumah itu.

Pertunjukan ini mengolah karakter pada tiga titik magnet persoalan. Pertama, ruang luar dimana Pepe El Romano yang menjadi daya tarik yang mencipta konflik setiap tokohnya pada kecemburuan. Kedua, tokoh Maria Josefa, nenek tua yang mendekam dalam kegilaan sebagai perwujudan fisik dari potret ego lain yang mengamuk di dalam diri anak-anak Bernarda. Dan yang ketiga, kuasa Bernarda di dalam rumah yang semakin lama semakin menghadapi beragam persoalan. Tiga magnet itu mencipta tarik menarik sebagaimana kita melihat tarik menarik antara id, ego, dan super ego dalam struktur kepribadian seseorang. Lantas, mungkinkah teori itu juga berlaku untuk menggambarkan suatu struktur dinamika kekuasaan Bernarda di dalam rumahnya?

Bernarda Alba membangun rumahnya sebagai ruang kuasa. Ia mula-mula membangun kepribadian rumah itu melalui serangkaian moralitas yang diharapkan dapat mengarahkan anak-anaknya pada apa yang diinginkannya. Gejolak biologis dan banalitas insting pada anak-anaknya itu ada dan terus menjadi perhatiannya. Perlakuan Bernarda pada ibunya sendiri, yakni Maria Josefa, menunjukkan suatu hukuman bagi siapa saja yang tidak patuh padanya. Di rumah itu, Maria Josefa adalah simbol dari bagaimana nasib seseorang yang berontak pada moralitas kuasa Bernarda dan patuh pada instingnya yang banal. Kekuasaannya secara peran ditunjukkan oleh Laelatul Sani dengan dinamika nada suaranya yang variatif dan menekankan nada tinggi pada beberapa dialog-dialog perintah.

Namun, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak sepenuhnya terjawab oleh pertunjukan ini. Semisal mengapa Bernarda Alba tidak sedia jika anak-anaknya menikah? Pertanyaan itu mula-mula dijawab melalui beberapa kondisi. Kondisi pertama, yakni potret masa lalu. Bernarda telah menikah sebanyak dua kali. Tidak ada keterangan tentang pernikahannya yang pertama. Selain meninggalkan anak bernama Angustias dan segudang kekayaan. Pada pernikahan keduanya, ia menjalani hubungan yang dapat disebut baik, hingga akhirnya suaminya meninggal dunia. Pertanyaan kemudian, jika pernikahannya bahagia, kenapa ia pun sulit melepas anak-anaknya untuk juga sama bahagia?

Ada sedikit ketakutan yang kurang ditekankan oleh Bernarda dalam pertunjukan ini. Motivasi yang melatari kerasnya Bernarda melarang siapapun ikut campur dalam urusan rumah tangganya. Kurangnya motivasi yang kuat, sehingga jelas alasan mengapa anak-anaknya belum juga direstui untuk menikah. Memang ditemukan pada dialognya, beberapa aforisma mengenai posisi perempuan yang selalu tertindas di mata lelaki. Namun, penekanan Laelatul Sani pada aforisma Bernarda itu sedikit sekali jumlahnya.

Kondisi lain yang kiranya selalu ditonjolkan pertunjukan ini adalah Bernarda Alba punya suatu aturan, dan aturan itu dinilainya, baik di tengah kondisi zaman atau lingkungan sekitar rumah dalam menjaga kehormatan sebuah keluarga. Segala tindak tanduk atau reaksi Bernarda, semisal perhatian berlebihan, terjadi hanya karena ketakutan ruang kuasa atau falsafahnya tidak terjadi. Namun lebih dari itu, kita tidak menemukan motif historis, atau sosiologis dari falsafah Bernarda tersebut.

Terlepas dari tidak adanya motif yang kuat, kekuasaan Bernarda di rumah tersebut tetap menjadi moralitas yang memengaruhi seluruh tokoh di dalamnya sebagai superego. Sebagaimana kita tahu, kepribadian seseorang, menurut Freud terbentuk dari tegangan antara id dan superego atas kuasa ego menentukan kecenderungannya. Ego merupakan penentu akan ke mana seseorang cenderung mengkiblatkan sikap dirinya. Apakah pada kecenderungan Id, suatu fisiologi seseorang dari desakan bilogisnya, atau superego, suatu desakan luar dari moralitas sosial seseorang.

Anak-anak Bernarda dengan perbedaan umur dan hasrat biologis, pengalaman dan status sosialnya, mesti berhadapan dengan tiga hal. Pertama, Pepe El Romano sebagai desakan biologis. Kedua, status sosial dalam perangkat kuasa Bernarda Alba. Ketiga, hadirnya tokoh Maria Josefa, insting simbolik sebagai media refleksi setiap tokoh di dalam rumah.

Baca juga:
Marjinalitas dalam Mega Mega
Alih Wahana Bunga Penutup Abad

Pertunjukan ini menunjukkan tiga peran anak yang cukup menonjol dalam menyikapi tiga kondisi di atas. Pertama, Angustias yang diperankan oleh Nenden A. R., berhasil menunjukkan suatu karakter yang ganjil dan terasing, buah dari manifestasi ruang kuasa Bernarda. Kedua, Mortirio yang diperankan oleh Siti N. Anjungsari, berhasil menunjukkan suatu kecemburuan batin yang dalam, citra dari pemberontakan yang kalah. Dan terakhir, Adela yang diperankan oleh Rahmah Fitriyani, menunjukkan suatu gelora pemberontakan yang berani.

Adegan terakhir, kiranya menjadi adegan paling kuat dalam pertunjukan ini. Pepe El Romano ditembak oleh Bernarda di halaman belakang rumahnya. Adegan ini dihadirkan melalui sugesti bunyi tembakan saja dengan beberapa tokoh lain hadir di panggung. Tokoh-tokoh itu diposisikan bersama-sama dengan penonton, mempersepsi kematian tersebut. Lantas Adela yang paling sedih pergi ke kamarnya dan bunuh diri. Adegan bunuh diri pun tercitra di atas panggung hanya berupa siluet Adela yang tergantung mati. Siluet itu bukan hanya mengotori dinding rumah Bernarda (Citra kekuasaannya), juga sebagai pengetahuan yang melatari dialog akhir Bernarda. Dialog keruntuhan superego, ruang kuasa, yang selama ini diperjuangkannya.

Adegan terbaik Bernarda yang diperankan oleh Laelatul Sani ini benar-benar nampak pada adegan terakhir tersebut. Bernarda tidak lagi berdiri, ia ambruk ke lantai dan meminta semua orang yang menangis di rumahnya untuk diam. Dialog perintah dengan nada tinggi, tapi dilontarkan dengan tangisan yang susah payah gagal ditahannya. Antara siluet kematian yang mengotori dinding kehormatan rumah Bernarda dan ego Bernarda berupa perintah “Diam” pada anak-anaknya, menunjukkan suatu kehancuran kekuasaan yang ironis dan dalam.[]

KOMENTAR

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register