Satu Peristiwa dalam Puisi
Sajak-sajak yang tayang di Khazanah Pikiran Rakyat, 14 Oktober 2018, cukup menarik jika dibandingkan dengan sajak-sajak yang sebelumnya saya ulas di Bukakoran Buruan.co ini. Ketiga penulis, yaitu Eka Nurhayati, Nastain Achmad, dan Ardian Je, menyajikan sajak-sajak yang secara teknis sudah cukup baik.
Eka Nurhayati menulis sajak yang berjudul “Narasi Ilusi”. Sajak itu ditulis Eka dengan rima yang sangat ketat. Eka sepertinya sangat memperhitungkan betul setiap bunyi akhir dalam sajaknya. Mari kita sama-sama membaca selengkapnya sajak Eka.
Eka Nurhayati
Narasi Ilusi
Rekaman lalu mulai memutar
Pada gemuruh dada yang mulai gemetar
Seperti para pejuang yang tak pernah gentar
Rasa yang baru terus mendekap
Bagai puzzle yang mulai terungkap
Bersinggah untuk melengkap
Entah apa yang aku ingin
Mereka tetap bahagia bermain
Memandang kertas putih
Aku akan tetap meraih dengan gigih
Dalam keramaian ruang
Aku seperti melayang terbang
Sekilas, setelah membaca sajak Eka tersebut, kesan yang saya tangkap seperti membaca sebuah sajak lama. Ketelatenan Eka untuk membuat setiap akhir bunyi pada larik-larik sajaknya terdengar presisi boleh dipuji.
Dalam sajaknya, Aku lirik berbicara tentang sesuatu ingatan yang ditulis Eka dengan Rekaman lalu. Ingatan itu menjadi motif aku lirik berbicara dalam sajak Eka ini. Persis seperti judul sajak, seluruh narasi dalam sajak ini adalah ilusi aku lirik.
Entah apa yang aku ingin/Mereka tetap bahagia bermain, pada larik itu kata ‘mereka’ adalah ingatan-ingatan yang ditangkap aku lirik sebagai ilusi yang dimaksudnya itu. Barangkali, ingatan yang berkembang menjadi ilusi itu adalah gagasan proses kreatif Eka sebagai penulis sajak ini. Seperti ketika ia berusaha mengkonkretkan gagasan itu menjadi sebuah sajak, Memandang kertas putih/Aku akan tetap meraih dengan gigih.
Namun, beberapa larik dalam sajak ini, saya kira masih belum apik. Coba kita lihat dua contoh larik ini: Seperti para pejuang yang tak pernah gentar; Rasa yang baru terus mendekap. Eka masih harus berusaha untuk membuat sebuah analogi atau menyusun kalimat yang lebih puitik dari sekadar mengejar rima.
Sementara itu, Nastain Achmad menulis sajak, semacam sajak protes yang emosional. Dalam sajaknya, aku lirik mengkritik pilihan orang-orang yang memilih hidup di kota ketimbang di desa.
Emosinya dalam menulis sajak berjudul “Pos Kamling Jetis” ini cukup bagus sekaligus menjadi boomerang bagi dirinya sendiri. Achmad harus melihat lagi beberapa diksi dalam sajaknya apa sudah benar atau masih keliru. Misal, ketika ia menulis kata ‘gemricik’ atau ‘kondektor’. Kalau itu kekeliruan penulisan ejaan, maka Achmad harus sadar betapa pentingnya memeriksa setiap kata dalam sebuah sajak yang ditulisnya sendiri.
Achmad juga harus menahan diri untuk menulis sajak, sehingga larik-larik yang ditulisnya memiliki keindahan visual. Pada sajaknya ini ada beberapa larik yang sangat panjang dan tampak tidak mempertimbangkan enjambemen/pemenggalan. Sebab, jika hal-hal demikian tidak diperhatikan sendiri oleh penulisnya, pembaca barangkali malas membaca karyanya.
Nastain Achmad
Di Pos Kamling Jetis
Sepertinya orang-orang sedang menjemput waktu datang
Kembali di perantauan
Barisan barang-barang sudah dikemasi sebagai ungkapan selamat tinggal di kota kelahiran
matahari setia mengurai deras peluh
Dan seduhan kopi terus dituang
Perbincangan tentang kenangan dan asap-asap kehidupan menguras puntung ungkap di mulutnya
Suara gemuruh penumpang
Berburu jurusan mana yang digadaikan
Suara kaki dan gemricik makan siang
Adalah persiapan jalan panjang akan ditunggang
Di antara barisan kepala kondektor yang menawarkan recehan
Memang kota, tujuan utama
Bukan desa lagi yang menjadi lahannya
Sebab petani tak lagi bergairah menanak nasi di pematangan
Hanya secuil saja demi keterpaksaan mereka tinggal
Di sini
Adalah saksi bagaimana rakyat berdiskusi
Tentang sebuah tragedi penghasilan
Tahun ini
Dan bagaimana anak-anaknya bisa sekolah dan makan nasi tanpa menunggu subsidi basi
Dari ketiga penulis yang karyanya diterbitkan pada hari dan halaman yang sama ini, karya Ardian Je saya kira yang paling enak dibaca. Ardian sepertinya jauh lebih telaten. Sajak-sajak Ardian lebih imajinatif dan disusun dengan cara penulisan yang lebih efektif.
Baca juga:
– Hal yang Belum Selesai
– Rindu dan Kelemahannya
Ardian tidak menulis sajaknya dengan rima yang ketat. Ardian juga terlihat dapat mengontrol emosinya. Dan, hampir tak ada kesalahan teknis semacam ejaan dalam sajaknya.
Ardian Je
Matahari
Matahari yang lahir dari mantramu
tak mampu membakar kegelapan
di mataku. Meski bertahun-tahun sudah
ia mengambang di anggana wajahku.
Tapi yang kurasa hanya belai kehangatan
sementara, seperti percintaan pertama
dengan kekasih tercipta, kemudian
terlupakan begitu saja.
Mungkin kegelapan di mataku
Lahir lebih dulu darinya, dan
Ditakdirkan untuk abadi.
Matapanah
Aku telah kalah
sejak beradu tatap
sebelum tarung dimulai.
Saat kau ambil sebatang anak panah
mempertemukannya dengan busur
lalu membidikkan matapanah itu
aku hanya bisa pasrah, bernapas kecil
membebaskan denyut jantung terakhir.
Dua sajak Ardian itu cukup berhasil menarik perhatian saya lebih serius. Ardian cukup berhasil menciptakan imaji yang membuat saya meresapi ungkapan-ungkapan dalam sajaknya. Terutama pada sajak berjudul “Matapanah”.
Sajak itu mengilustrasikan sebuah momen pertarungan, mungkin dua pendekar, yang salah satunya adalah aku lirik yang merasa telah kalah sejak beradu tatap, sebelum tarung dimulai. Bait pertama sajaknya adalah satu peristiwa yang membuat saya dapat membayangkan sebuah suasana dalam puisi yang digambarkan oleh Ardian.[]