Rindu dan Kelemahannya
Mari kita membaca puisi-puisi yang terbit di Khazanah Pikiran Rakyat. Ada tiga penulis yang karyanya diterbitkan pada edisi Sabtu, 30 September 2018. Mereka adalah Langit Delisa, Fardhy Wahid, dan Davit Kuntoro.
Agar tak terpengaruh ulasan saya. Berikut ini kita baca ulang terlebih dahulu karya ketiga penulis tersebut secara utuh.
Sajak Langit Delisa
Untuk Berhenti
Rinduku dalam bisu
Tapi aku menitipkannya lewat senja
Agar kau bisa memandangnya, begitu indah
Dan merasakannya, begitu nyata
Namun..
Semakin malam, hatiku kacau
Ada rasa yang tertanam, hanya mampu kupendam
Aku menyadari kau bukan milikku
Siap untuk berhenti
Tidak lagi berlari
Semua sudah aku jalani
Ini akhir, ujian selesai
Hasil yang aku dapat
Aku tak lagi kuat
Sajak Fardhy Wahid
14.45
14.45
Arloji digitalku kulihat berulang
Aku tahu keretamu sudah berjalan jauh
Pikiranmu gundah sudah
Tak jelas isi pesanmu saat itu
14.45
Katamu ilmu itu lebih penting di atas segalanya
Katamu kerjaanmu lebih penting di atas senyumku
Kamu salah
Ya kamu salah
14.45
Sudah batang kedua rokok kretek ini dibakar
Hati-hati dijalan
Pesanku berkali-kali padamu
Anomali-anomali bercuatan di kepalaku saat ini
Akankah 14.45 ini menjadi jawabanku
Ataukah hanya kenaifanku karena rasa cinta kepadamu
Sajak Davit Kuntoro
Aku dan Jendela
Jendela kosong
kosong mengisi aroma di pinggir jalan
sekarang aku nuju berkelana panjang
jauh dari pandang mata juga cerita
dan tiga kotak menerawangnya
satu menyapa
esok akan pergi dari silau mata
dua berlari
dengan serpihan ari mata dari luka
tiga berdansa
tidak menyerta dua dan satu
Rajutan Bibir
: Rindu Berkelana
Rajutan bibir terselip di leher
hal apa yang ingin kau hapus?
dari lekuk tubuh; jamahan luka
yang pernah di sana.
Adakah engkau menantiku merebahkan?
rasa cinta kedua kali. Aku melintangi sebuah rindu
tubuh yang teramat kaku. Menantimu – kembali pulang
sangkar yang benahi di mimpi menanggalkan sirat luka.
Aku – mata yang kau putar menyelinap rindu.
Bagaimana karya mereka menurut Anda, kawan-kawan pembaca tercinta?
Menurut saya, sajak-sajak liris karya ketiga penulis tersebut terasa sangat personal. Barangkali ketiganya sedang berusaha mengekspresikan perasaan mereka. Barangkali mereka juga berusaha mentransformasikan perasaan tersebut menjadi karya sastra.
Namun, apakah ekspresi mereka dalam bentuk puisi ini sudah menjadi karya sastra? Mungkin sudah.
Tapi, apakah karya mereka cukup berkualitas? Mungkin belum. Pada sajak-sajak mereka yang telah terbit ini masih menunjukkan beberapa kelemahan.
Pada sajak “Untuk Berhenti” karya Langit Delisa, misalnya. Sajak ini tampaknya ingin menyatakan perasaan rindu tak tertahankan lagi. Rindu pada ‘kau’ yang disebutkan dalam sajaknya. Siapakah kau ini? Mungkin kekasih aku lirik dalam sajak ini. Aku lirik yang sangat mungkin merepresentasikan penulis itu sendiri.
Kelemahan sajak Langit adalah keringnya gaya bahasa dalam mengekspresikan rindu. Apalagi jika rindu yang dirasakannya adalah rindu berat. Padahal Langit hampir saja memulai sajaknya dengan cukup bagus ketika menulis tiga baris pertamanya, “Rinduku dalam bisu/Tapi aku menitipkannya lewat senja/Agar kau bisa memandangnya, begitu indah”. Tanpa keterangan begitu indah pada akhir baris ketiga puisinya, tiga baris itu akan lebih menarik saat dibaca.
Baris-baris sajak Langit selanjutnya nyaris begitu verbal. Langit seperti membuka “aib” rindunya sendiri kepada pembaca, yang sangat mungkin bukan hanya orang yang dituju oleh sajak itu. Dengan baris-baris severbal itu, memang Langit perlu lebih berusaha lagi untuk mengekspresikan kemelut rindu dalam batin ke dalam sebentuk puisi. Sebab, pembaca puisi pasti mengharapkan kreativitas berbahasa yang lebih dari apa yang telah ditulis di sajak ini.
Pada sajak “14.45” Fardhy Wahid, isinya tidak jauh berbeda dengan sajak Langit. Berbicara perkara rindu. Aku lirik dalam sajak ini sepertinya menceritakan dirinya yang berpisah dengan kekasihnya karena kekasihnya harus pergi karena suatu kesibukan.
Selain itu adakah hal lain yang ingin diutarakan dalam sajak ini? Saya tidak yakin.
Secara estetika sajak Fardhy ini memiliki kelemahan yang sama dengan sajak Langit. Saya malah ingin menyampaikan hal lain ketimbang mengulas masalah yang sama.
Bahwa dalam puisi, selain perasaan personal yang diekspresikan melalui medium bahasa, seorang penulis juga harus memiliki simpati dan empati kepada pembaca yang kemungkinan membaca karyanya. Mungkin Fardhy juga menyadari hal itu, tetapi belum tampak pada karya kali ini.
Penulis yang karyanya ditujukan untuk publik mesti mampu mengolah kata menjadi idiom atau aforisme yang memiliki daya pukau, atau memberikan pengalaman baru bagi pembaca. Tidak sekadar melontarkan keresahan yang sifatnya privat. Dengan begitu, karya yang ditulis mendapatkan simpati juga empati pembaca.
Nah, sajak Fardhy ini masih terkesan sangat privat. Sebagai akibatnya, sebagai pembaca saya tidak dapat merasakan perpisahan yang berbuah rindu seperti yang dirasakan aku lirik dalam sajak ini.
Lalu bagaimana dengan dua sajak Davit Kuntoro? Hmm, lumayan tampak ada usaha lebih kreatif.
Dibanding sajak Langit dan Fardhy, sajak Davit Kuntoro memang sedikit lebih ada upaya mengolah bahasa tinimbang sekadar sebuah ekspresi perasaan. Mohon maaf ya Langit dan Fardhy, kebetulan saja karya kalian bertiga tampil bersama, jadi saya membandingkannya dengan karya Davit.
Baca juga:
– Yang Muram dan Yang Riang
– Perasaan yang Tumpah Ruah
Dari dua sajak Davit “Aku dan Jendela” dan “Rajutan Bibir” saya lebih tertarik sedikit membahas sajak yang kedua. Karena kebetulan secara tema, cukup mirip dengan sajak Langit dan Fardhy. Tentang rindu.
Meski imaji-imaji dalam sajak Davit ini rada-rada lucu jika dibayangkan, tapi upayanya untuk bertutur secara tak langsung terkesan lebih menarik dari sajak Langit dan Fardhy. Mari kita bayangkan larik pertama sajak “Rajutan Bibir” karya Davit, “Rajutan bibir terselip di leher”.
Jika ditafsirkan larik itu, maksudnya barangkali adalah sebuah kecupan di leher. Namun, ketika Davit menggunakan kata ‘rajutan’, maka kecupan di leher itu adalah suatu kecupan yang pernah berulang-ulang terjadi dan menyisakan bekas mendalam. Itu adalah salah satu upaya Davit untuk mengilustrasikan sesuatu yang bermakna kenangan.
Namun, ada beberapa hal dalam sajak ini yang kemudian melemahkan. Misal, inkonsistensi penulisan. Pada kalimat awal (dua larik pertama) ia menulis rapi huruf kapital dan tanda bacanya. Tapi di kalimat lain ia tidak konsisten. Satu lagi, ada larik yang secara sintaksis tidak dapat dipahami, “sangkar yang benahi di mimpi menanggalkan sirat luka.”
Untuk sementara itu yang dapat saya ulas dari puisi yang terbit di PR. Terlepas dari kelemahan-kelemahan yang saya sampaikan, saya mengucapkan selamat kepada para penulis yang karyanya telah terbit. Semoga saya dapat membaca karya kawan-kawan yang lebih baik di hari-hari esok.[]