Fb. In. Tw.

Perasaan yang Tumpah Ruah

Preambul

Sebuah sajak kadang dikaitkan dengan ungkapan perasaan penyairnya. Dalam beberapa sajak, perasaan tersebut dihadirkan secara dominan, mirip seperti curhatan. Penyair tentu memiliki keintiman terhadap apa yang dituliskannya, namun belum tentu bagi pembaca lain.

Konsekuensi dari sajak yang dipublikasikan adalah dibaca oleh banyak orang. Pembaca berharap memahami dan menikmati sajak tersebut. Dan penyair tidak bisa selalu mendampingi dan menjelaskan kepada semua orang tentang isi curhatan dalam sajak-sajaknya. Pembaca hanya berhadapan dengan teks.

Saat saya membaca sajak-sajak di HU Pikiran Rakyat edisi 2 September 2018, saya membaca curahan perasaan dari tiga penulis yang memiliki latar belakang berbeda. Anggia Septiani sebagai pelajar SMA, Irvan Mulyadie sebagai penyair, dan Husna Assyafa sebagai guru.

***

Dua sajak dari Anggia Septiani berjudul “Logan” dan “Otak”. Berdasarkan biodatanya, Anggia adalah siswa SMA kelahiran 2001. Saya sangat mengapresiasi dua sajak Anggia ini, sebab di saat remaja lain menulis captioncaption di media sosial tentang jatuh cinta dan patah hati, Anggia justru memilih tema yang dapat dibilang unik.

Sajak “Logan” merupakan hasil intertekstual dari tokoh Logan yang populer lewat komik dan film layar lebar. Logan dalam sajak ini dituliskan layaknya seorang pahlawan besar. Perasaan kagum penyair terhadap tokoh Logan ditumpahkan dalam sajak. Berikut ini sajaknya.

Waktu berganti tak kenal hati
Terkecuali ragamu
Kau tak ubahnya seekor mutan
Berjiwa perkasa, berjiwa satria 

Kaulah keajaiban pencipta
Kaulah titik tuju pelbagai keesaan dunia
Kau tak mungkin ada, namun kau tampak nyata
Karena kaulah keabadian semesta.

Konsekuensi dari sajak intertekstual adalah kesesuaian dengan teks sebelumnya. Sebagai pembaca, saya mengaitkan teks sajak dengan tokoh Logan yang saya tahu. Dalam sajak terdapat larik Waktu berganti tak kenal hati/Terkecuali ragamu dan Karena kaulah keabadian semesta., padahal yang saya tahu, di film Logan (2017), ia justru bertambah tua dan akhirnya mati. Memang dalam film tersebut, hadir tokoh antagonis yang identik dengan Logan, namun menurut saya itu bukan lagi Logan.

Pemujaan dalam sajak ini terasa terlalu verbal dan berlebihan, misal dalam larik Berjiwa perkasa, berjiwa satria. Penyair seharusnya dapat mengolah perasaan kagumnya terhadap sesuatu dan mengajak pembaca bersepakat dengannya. Saya melihat potensi yang bisa dikembangkan dari sajak ini, beberapa caranya adalah dengan memperkuat isotopi dan mengambil sudut pandang yang tak dipikirkan orang lain tentang Logan.

Tidak salah ketika Anggia mengangkat kisah Logan ini, namun menurut saya akan lebih menarik jika Anggia mengangkat kisah dari tokoh pahlawan yang riil. Tentu dengan riset yang mencukupi.

Sajak kedua dari Anggia berjudul “Otak”. Berbeda dengan sajak sebelumnya, dalam sajak ini perasaan penyair hadir lebih dominan. Berikut ini sajaknya.

Tersenyum ketika hati menangis
Tertawa ketika hati menangis
Bersenandung ketika hati menjerit
Apa hidup memang segila itu?

Sajak liris ini mengungkapkan perasaan tertekan dari aku lirik. Sebagai pembaca, saya tidak mengerti gagasan yang ingin disampaikan oleh aku lirik. Misalnya apakah aku lirik tertekan karena harus memilih antara #2019gantipresiden atau #2019jokowilagi, wallahua’lam, hanya penyair dan Tuhan yang tahu penyebabnya.

***

Sebagai penyair, tema dalam sajak yang diangkat oleh Irvan Mulyadie lebih kompleks. Dua sajaknya berjudul “Fleva” dan “Doa Terbang”. Berikut adalah sajak “Fleva”.

Fleva, dosa apa yang membuat keimananku
Runtuh di hadapanmu
Saat kau dobrak pintu rumahku
Dengan cemburu
Lalu kau renggut satu-satunya mimpi
Yang kugenggam
Saat itu
Dalam saban pagutanmu, rinduku
Berdarah-darah
Dan aku telah kehilangan arah
Ketika malam telah kaubakar
Oleh dendam yang berkobar
Meski sebentar
Fleva, pahala apa yang kau dapat
Ketika peluk kau kalungkan di leherku
Sedang aku kian terancam
Dengan hunjam cinta yang tajam
Dan menancap
Di jantungku yang kian legam?

Penasaran dengan judul “Fleva”, akhirnya saya coba berselancar siapa itu Fleva, namun yang saya temukan di halaman pertama Google adalah satu merk ban mobil. Skip. Dari isi sajak saya menyimpulkan Fleva adalah nama dari kekasih aku lirik.

Dalam sajak ini, aku lirik hadir dengan begitu menderita. Hadirnya Fleva bagi aku lirik merupakan sebuah ancaman yang terus menyiksa perasaannya. Namun saya kurang bisa berempati terhadap aku lirik, hal ini mungkin disebabkan karena konteks narasi yang tertutup, absennya aforisme, dan juga dominannya frasa-frasa abstrak, misalnya rinduku berdarah-darah, dendam yang berkobar, hunjam cinta yang tajam, dan jantungku yang kian legam.

Sajak Irvan Mulyadie selanjutnya berjudul “Doa Terbang”. Berikut ini sajaknya.

Di atas awan, yang terkadang
Membuat guncang pesawat terbang
Aku berdoa dengan jantung berdegup kencang
Selayaknya orang-orang dalam hukuman
Menghadapi selingkar tali di tiang gantung
Dengan hati yang makin yakin
Juga sadar sepenuh mungkin:
Hidup ini serapuh angin

Sajak ini bercerita tentang perasaan takut dari aku lirik saat ia menaiki pesawat terbang. Aku lirik mengibaratkan perasaannya di pesawat terbang Selayaknya orang-orang dalam hukuman/Menghadapi selingkar tali di tiang gantung. Setelah itu sajak ini diakhiri dengan aforisme yang apik, Dengan hati yang makin yakin/Juga sadar sepenuh mungkin:/Hidup ini serapuh angin.

Sayangnya, saya rasa judul sajak kurang merepresentasikan isi sajak. Isi sajak tidak menyampaikan sebuah doa, namun deskripsi perasaan aku lirik saat ia terbang.

Baca juga
Kosong dan Banal 
Bunyi dalam Puisi

Penyair terakhir adalah Husna Assyafa. Sajak pertama berjudul “Merdeka”. Berikut ini adalah sajaknya.

Mencintaimu adalah kemerdekaanku
Setelah membakar namamu pada dupa doa
Menjelma aroma pada setiap napasku
Menjadikanmu sukma dalam seluruh puisiku

Sajak ini merupakan curahan perasaan aku lirik terhadap kekasihnya. Dengan tidak dihadirkannya situasi atau tokoh yang khusus, sajak ini sangat terbuka bagi pembaca. Posisi aku lirik sangat bisa digantikan oleh aku pembaca. Maka sajak ini sangat berpotensi memunculkan empati bagi pembaca.

Selain itu, koherensi dalam sajak ini hadir dengan cukup kuat. Misalnya dari larik Setelah membakar namamu pada dupa doa/Menjelma aroma pada setiap napasku. Koherensi yang dihadirkan antara dupa dengan aroma.

Sajak terakhir dari Husna Assyafa berjudul “Dulu”. Sajak ini hanya terdiri dari lima larik dan setiap lariknya tidak lebih dari tiga kata. Berikut adalah sajaknya.

Dulu…
Lengkung pada bibirmu
Kubaca sebagai rindu
Kini gelak tawamu
Kueja sebagai luka

Sama seperti sajak sebelumnya, sajak ini menceritakan perasaan aku lirik yang kini telah ditinggal oleh kekasihnya. Tentu pembaca yang notabene memiliki kisah cinta yang sama, bisa meresapi isi sajak ini dengan lebih kuat.

Dua sajak dari Husna Assyafa terasa lebih terbuka dan populer, dalam pengertian sajak ini bisa dinikmati dengan mudah oleh beberapa orang. Meskipun pada akhirnya, dua sajak ini tidak menawarkan pandangan lewat aforisme terhadap wacana tertentu.[]

KOMENTAR

Adhimas Prasetyo, penulis dan pembaca. Buku puisi pertamanya berjudul Sepersekian Jaz dan Kota yang Murung (2020).

You don't have permission to register