Kosong dan Banal
Membaca puisi di media massa seringkali menghadirkan kebahagiaan. Lebih dalam lagi membacanya menjadi pencerahan.
Akan tetapi, tak jarang pula membaca puisi di media massa membuat kesal atau jengkel. Kesal karena tak sanggup menangkap apa yang tersembunyi di balik puisi. Jengkel lantaran kualitas puisi yang jelek.
Lantas bagaimana dengan puisi Rizal Fathurrohman dan Masgalmasgal yang terbit di halaman Pertemuan Kecil Pikiran Rakyat (26/8/2018) berikut ini.
Ruang
Setelah kumasuki ruang ini
pasti teringatnya kembali kau
wajahmu, sedu senyummu
dan telapak tangan yang dulu menyentuhmu
Dan saat perpisahan ini
tanpa tegur sapa
begitu saja di senja di suatu ruang
seperti hidup tanpa kesempatan bernapas
Tanpa getar-getar suaramu
telingaku sempat murung sesaat
dan kulihat wajahmu sama seperti
biasa, cantik tak serupa apa-apa
Ruang dalam sajak “Ruang” karya Rizal Fathurrohman adalah ruang imajinatif. Ia barangkali mewakili suatu ruang yang mungkin ada secara empiris barangkali juga tidak. Namun, jika kita membaca apa yang dituturkan aku lirik dalam sajaknya, ruang tersebut barangkali memang benar-benar ada. Hanya saja, aku lirik dan penulis yang paham betul ruang itu. Karena tidak ada gambaran jelas mengenai ruang yang sedang dibicarakannya.
Ruang itu seperti ruang kosong. Sehingga apa yang dapat dilihat dari sajak ini adalah tuturan mengenai perasaan kehilangan aku lirik belaka akan sosok yang disebutkan dalam sajak dengan, ‘wajahmu’ (2x); ‘senyummu’; ‘suaramu’. Sesosok yang besar kemungkinan adalah perempuan.
Gambaran sosok perempuan tersebut dapat kita lihat pada dua larik terakhir di bait ketiga sajaknya, dan kulihat wajahmu sama seperti/biasa, cantik tak serupa apa-apa. Larik terakhirnya ini mengingatkan saya pada terjemahan sajak Pablo Neruda versi Cecep Syamsul Hari yang berbunyi, Sejak aku mencintaimu engkau tak mirip siapa pun1 . Versi Tia Setiadi, Kau tak seperti seorang pun sejak aku mencintaimu2. Atau, versi Saut Situmorang, Kau tidak seperti siapapun sejak aku mencintaimu3.
Seperti halnya ruang kosong. Sajak ini terasa hampa seperti perasaan aku lirik yang ditinggal seseorang yang dipujanya. Saya sebagai pembaca pun merasa kosong hampa membaca sajak ini. Sebab, sajak ini tak lebih dari sebuah sajak picisan yang bahkan tanpa perasaan cinta yang serius.
Lihat saja baris ini, Tanpa getar-getar suaramu/telingaku sempat murung sesaat. Jika aku lirik adalah pecinta sejati, seharusnya telinganya bukan hanya ‘sempat’ murung—suatu kondisi yang kemudian akan pulih kembali—ketika tak merasakan getar suaranya. Ia semestinya lebih dari itu.
Menjadi Orang Asing
Di suatu Senin tiba-tiba aku menjadi orang asing
berjalan di kendaraan
melintas ruang jalan, pohon-pohon tua berdaun kering dan
sebilah perasaan bingung dan pening
Tiba-tiba aku menjadi orang linglung
mampir di pinggir jalan
makan mi ayam kemudian kembali berjalan
Perasaanku di antara suka dan tidak percaya
di antara mimpi dan nyata
fiksi atau fakta
sejauh kendaraan mengajakku tawaf keliling jalan
Di suatu Senin tiba-tiba aku menjadi musafir
dalam perahu pencalang
membawa segudang mimpi dan kenyataan kemudian
memata-matai mimpi dan kenyataan itu sendiri.
Sementara pada sajak “Menjadi Orang Asing”, Rizal sepertinya mencoba menyatakan eksistensinya yang tak berarti ketika berhadapan dengan realitas. Ia merasa asing dengan kenyataan yang ada di sekitarnya. Segala yang dilakukannya sepanjang Senin seolah sia-sia.
Apa yang dilakukan aku lirik dalam sajaknya barangkali macam Sisifus. Mendorong batu ke puncak gunung lalu menggelindingkannya kembali ke bawah, kemudian ia mengulanginya terus menerus. Tapi, bedanya Sisifus melakukan itu karena hukuman para Dewa. Lalu atas apa aku lirik dalam sajak Rizal ini melakukan hal yang sia-sia di jaman ini?
Aku lirik dalam sajak ini barangkali ingin menyatakan suatu hal absurd. Namun, yang terbaca tak lebih dari halusinasi. Coba saja baca kembali bait ini, Di suatu Senin tiba-tiba aku menjadi orang asing/berjalan di kendaraan/melintas ruang jalan, pohon-pohon tua berdaun kering dan/sebilah perasaan bingung dan pening. Sesuatu yang tiba-tiba di hari Senin telah membuat aku lirik hilang kesadarannya.
Kita tinggalkan Rizal Fathurrohman dan perasaaan kehilangan dan kebingungannya terhadap kenyataan. Kita lanjut dengan dua dua sajak dari Masgalmasgal. Nama pena yang unik.
Lelahku pada Kota
(teruntuk saudara-saudaraku yang menerangi gimmick Ibu Kota sepanjang siang)
Tidurlah
Tidurlah
Mimpilah dengan indah
Jangan risau dengan aparat pemerintah
Tidurlah!
Kami bersumpah!
Kepada trotoar yang menemani malam dan siang para insani
Hangatkanlah mereka di malam dan pagi hari!
Kepada aspal dan tempat sumber pokok rezeki
Kedapkanlah suara kendaraan yang melintasi!
Agar supaya mereka tidur bagai di tempat para menteri
Kepada langit yang selalu menyelimuti dan mengawasi
Jagalah mereka dari pemburu malam berseragam instansi!
Tidurlah!
Tidurlah tanpa resah
Sajak “Lelahku pada Kota” karya Masgalmasgal barangkali merupakan sebuah luapan empati terhadap persoalan sosial yang diperhatikannya. Persoalan sangat mungkin terjadi pada kaum miskin kota.
Cukup empatik. Tapi tidak cukup baik sebagai sebuah sajak. Penulis sajak ini sepertinya kurang memahami efektivitas bahasa dalam sajak. Dengan kata lain, harus belajar bahasa Indonesia lagi.
Pengulangan ‘Tidurlah’ dalam sajak ini salah satunya. Lalu penggunaan tanda seru (!) yang perlu dipertimbangkan. Mimpilah dengan indah, akan lebih efektif jika ditulis mimpi indahlah. ‘Agar supaya’ dua kata itu bermakna sama, hanya orang kolot dan tak paham efektivitas yang masih mengatakan dua kata itu secara bersamaan. Itu hanya sebagian contoh efektivitas yang saya maksud.
Kasih Sayang
Kenapa masih juga kita angkuh dan keras hati
Padahal kita telah menemukan kasih sayang
Mungkin selalu dibayangi
Begitu mendapatkan, akan kehilangan lagi
Padahal yang terbaik dari mencari
Yaitu menemukan
Masa lalu adalah pelajaran berharga
Meskipun itu dinamakan duka
Tak mungkin kita dapat melepaskannya
Sedangkan sajak “Kasih Sayang”, alih-alih sebagai sajak malah lebih terkesan semacam kata-kata mutiara. Sajak kedua ini sangat kering gaya bahasa. Sajak seperti ini adalah sesuatu yang mudah dilupakan. Karena susunan kata-kata seperti ini dapat dijumpai di mana-mana. Tidak perlu menjadi penulis untuk mengungkapkan hal sebanal ini.
Baca juga:
– Bunyi dalam Puisi
– Catatan Harian yang Puitik
Mengingat menulis bukan seperti buang ingus, kalau kata Acep Zamzam Noor. Puisi harus ditulis dengan penuh daya kreativitas. Upayakan menciptakan suatu idiom atau metafora yang belum pernah ditulis/diucapkan penulis lain. Supaya karya yang ditulis dapat lebih otentik dan memiliki daya pukau tersendiri.[]
- “Setiap Hari Kau Bercanda”, Pemabuk dan Putri Duyung. Neruda, Pablo (Penerjemah Cecep Syamsul Hari). Bandung: Forum Sastra Bandung, 1998.
- “Setiap Hari Kau Bermain”, Sajak dan Soneta Cinta Pablo Neruda: 20 Sajak Cinta, 1 Syair Dukalara, 100 Soneta Cinta. Neruda, Pablo (Penerjemah Tia Setiadi). Yogyakarta: Penerbit Madah & MK Books, 2014.
- “Setiap Hari Kau Bermain”, Dua Puluh Puisi Cinta dan Satu Nyanyian Putus Asa. Neruda, Pablo (Penerjemah Saut Situmorang). Yogyakarta: Indie Book Corner, 2017.