Berbincang bersama Tamu dari Seberang
Berbincang bersama Tamu dari Seberang
Rabu (19/9/2018), toko buku daring dan penerbit indie Jual Buku Sastra (JBS) menyelenggarakan acara berbincang dengan tajuk “Membincang Film dan Penerbitan Buku di Malaysia” di Kedai JBS Jalan Wijilan, Gang Semangat No. 150, Alun-alun Utara, Yogyakarta. Kedua pembicara dalam acara tersebut berasal dari jiran kita, yaitu Sayidah Mu’izzah (pengamat film), dan Hafiz Latiff (penerbit Oakheart dan penulis).
Di bawah langit Yogyakarta yang mendung, diskusi bersama kedua tamu dari seberang itu dimulai pada pukul 16.00 WIB. Kedua pembicara membincangkan mengenai perkembangan film dan dunia perbukuan indie di Malaysia secara sekilas. Diskusi lalu berlanjut dengan sesi tanya jawab. Sang moderator diskusi, Rozi Kembara, memberikan kesempatan kepada para peserta yang hadir untuk turut berbincang.
Salah seorang peserta yang bertanya pada kesempatan itu adalah penyair Mario F. Lawi. Ia melontarkan pertanyaan tentang mengapa seorang akademisi perempuan Malaysia bernama Alicia Izharuddin menulis buku kajian Gender and Islam in Indonesian Cinema. Pertanyaan tersebut ditanggapi oleh Sayidah Mu’izzah, menurutnya di Malaysia sendiri masih kurang film-film yang mengangkat tema perempuan, sehingga hal itulah yang menjadi salah satu alasan yang bisa ditarik mengapa buku itu ditulis.
Dari beberapa pertanyaan para peserta yang hadir, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya kondisi perfilman di Malaysia tidak beda jauh dengan Indonesia. Kurangnya perhatian terhadap kualitas film membuat kritik film menjadi lemah. Masih menurut Sayidah, bahwa di Malaysia kadang orang-orang menulis apa yang mereka sebut dengan kritik film hanya dengan menulis sinopsisnya, tanpa ada usaha melakukan penilaian secara objektif maupun otentik dari sudut pandang penulis itu sendiri.
Mengenai dunia buku indie dan dunia perbukuan secara umum, Hafiz Latiff menceritakan, penulis-penulis Indonesia seperti Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Wiji Thukul, ataupun Hamka, masih digemari oleh khalayak di Malaysia, khususnya anak muda. Bahkan, ia menyebutkan jika di Malaysia terdapat sebuah Komunitas Hamka yang menjadikan Hamka beserta pemikirannya sebagai materi utam kajian mereka.
Pembicara juga bercerita, bahwa di Malaysia pemerintahnya juga cukup memperhatikan para penerbit indie. Dukungan itu berupa bantuan secara finansial dan moral. Meski perhatian tersebut tidak kepada semua penerbit indie dan tidak terlalu besar.[]