Bunyi dalam Puisi
Bunyi merupakan salah satu unsur penting dalam puisi, selain bersifat estetik, menambah keindahan. Bunyi juga mampu memberi kekuatan ekspresif. Bunyi-bunyi tertentu dalam puisi mampu membantu pembaca menemukan suasana yang disajikan penyairnya. Bunyi-bunyi merdu (efoni) dan bunyi-bunyi tidak merdu (kakafoni) adalah hal yang akan selalu ditemui dalam puisi, termasuk dalam puisi yang ditulis oleh Shela Kusuma dan Dedi Tarhedi di HU Pikiran Rakyat edisi 12 Agustus 2018.
Imajinasi Liar
Imajinasi liar
Sering kali membuat onar
Imajinasi liar
Sering kali menyebabkan bubar
Imajinasi liar
Sering kali menghanyutkan bersama badai besar
Imajinasi liar
Sering kali memindahkan keramaian dari pasar
Imajinasi liar
Sering kali menahan rasa lapar
Imajinasi liar
Sering kali berusaha menghindar
Dalam sajak berjudul “Imajinasi Liar” ini, penyair dengan konsisten menyajikan bunyi yang tidak merdu (kakafoni), bunyi tersebut menggambarkan suasana yang sama sekali tidak merdu, tidak sendu. Karakteristik bunyi kakafoni dalam puisi biasanya menggambarkan suasana yang kacau, tidak menyenangkan bahkan memuakkan, seperti pada larik Imajinasi liar/Sering kali menghanyutkan bersama badai besar.
Terlepas dari ada tidaknya korelasi antar diksi yang dipilih penyairnya, puisi di atas telah mampu menumbuhkan rasa dan suasana melalui bunyi yang hadir di dalamnya. Pun dalam puisi selanjutnya.
Tiang
Diam berdiri
Tegak menyangga
Mendadak dirisak
Seusai ditabrak
Ramai-ramai wartawan menyatroni
Menanyakan kronologi
Terus mencecar banyak yang mengerubungi
Interogasi tiada henti
Tiang tetap santai tak menanggapi
Dalam puisi ini, terdapat banyak konsonan k, r, s, t yang menjadi ciri dari bunyi tidak merdu (kakafoni). Dari dua puisi yang ditulis, sajak “Tiang” ini yang benar-benar terasa dan dapat dipahami maksud yang ingin disampaikan oleh penyairnya. Dalam puisi ini, penyair membicarakan sebuah tiang yang tetap diam setelah ditabrak, sementara banyak sekali orang yang penasaran dengan kebenarannya.
Peristiwa tersebut selaras dengan kejadian nyata beberapa waktu terakhir, perihal dugaan tindakan korupsi, dimana mobil seorang pejabat yang tengah dipanggil oleh sebuah lembaga anti rasuah mendadak menabrak tiang. Peristiwa tersebut pun menjadi populer di tengah masyarakat. Suasana menjadi gaduh ketika orang-orang mulai beramai-ramai menghujat. Peristiwa dan suasana tersebut sesuai dengan bunyi yang terdapat pada puisi kedua ini.
Lain halnya dengan bunyi dalam puisi yang ditulis Dedi Tarhedi. Ketika Shela Kusuma memilih bunyi yang tidak merdu, Dedi Tarhedi justru menuliskan bunyi yang merdu dalam puisinya.
Senyum yang Pergi
Saat dingin merampas hati, maka sepi
semakin menikam diri.
Apalagi yang harus kutunggu, malam saja
sudah berupa silet yang menguliti.
Adalah senyummu yang lari sejak pagi.
Kuharap tengah malam datang lagi.
Tapi rintik hujan tak membawanya kembali.
Hanya sepi yang kian deras menguras air mata ini.
Puisi yang berjudul “Senyum yang Pergi” ini terasa begitu sedih dan muram, hal ini dapat dilihat dari kombinasi bunyi vokal a, u, i, yang dominan. Meskipun pada dasarnya efoni adalah bunyi-bunyi merdu dan menyenangkan, tapi ketika kombinasi dominannya adalah vokal a, u, o, maka puisi tersebut akan terkesan sedih.
Senyum Dara Desa
Aku mendengar kesiur angin senja di sebuah desa.
Senyum seorang dara selalu datang tiap petang.
Dia tinggal di ujung jalan setelah tiga belokan
dari tempat jantungku berdentang.
Sedang satu belokan kuhitung jauhnya.
Besok pagi baru sampai di sana, kata mereka.
Oh, begitu jauhkah?
Begitu susah untuk melihat senyum merekah?
Dia perempuan yang dipuja hingga
banyak pemuda yang mengulurkan cinta.
Tapi konon, belum ada yang berkenan di hatinya.
Aku masih berdiri di sini. Mengukur jauhnya jarak antara kita.
Tapi kesiur angin senja selalu mengarah ke sebuah desa.
Dari sajak “Senyum Dara Desa”, dapat dirasakan bagaimana suasana cinta yang dilukiskan penyairnya. Bagaimana sebuah perasaan digambarkan dengan bunyi-bunyi merdu. Di sini, penyair menggunakan kombinasi g, b, t, m, ng, yang menjadi ciri dari efoni.
Aku masih berdiri di sini. Mengukur jauhnya jarak antara kita.
Tapi kesiur angin senja selalu mengarah ke sebuah desa.
Dua larik puisi di atas, menggambarkan bagaimana perasaan cinta si aku lirik pada seseorang yang berjarak cukup jauh dengan dirinya.
Baca juga:
– Catatan Harian yang Puitik
– Dua Upaya Mengolah Kemurungan
Dari puisi-puisi yang ditulis Shela Kusuma dan Dedi Tarhedi, didapati bahwa selain mempercantik daya estetik, bunyi dalam puisi juga mampu menambah berat bobot rasa dan memperdalam lagi imajinasi.[]