Renungan Penulis dan Harapan Pembaca
Pada 15 Juli 2018, di Harian Umum Pikiran Rakyat (PR) terbit satu buah puisi karya Yana Risdiana dan dan dua buah puisi karya Adi Zam Zam. Terbitnya karya kedua penulis ini di media massa tentu diharapkan oleh pembaca menyajikan pengalaman membaca yang bermanfaat. Baik itu manfaat estetika, pesan, atau pun semesta pengetahuan yang barangkali terkandung di dalamnya. Sebagai pembaca, maka saya coba membaca ketiga sajak tersebut dengan harapan yang saya kira tidak berlebihan itu.
Sekilas karya Yana Risdiana dan Adi Zam Zam ini menyajikan tema yang cukup berbeda. Meski pun berbeda tema, namun terasa hasrat menyampaikan falsafah hidup di dalamnya, sehingga cukup menarik untuk diselisik.
Kita mulai dengan menelisik karya Yana Risdiana dengan sajak berjudul “Kehendak Jalan tengah”. Sajaknya cukup tematik. Sangat mungkin direnungkan dari pemahamannya mengenai leluhur pesilat Cimande, seperti keterangan yang dituliskannya pada penanda dedikatif di bawah judul puisinya. Mari kita simak sajak tersebut selengkapnya.
Kehendak Jalan Tengah
: mengenang leluhur pesilat Cimande
Meski mulut telah terkunci kuda-kuda, gerak pukulan
Atau riak tangkisan. Meski kuda-kuda menjejakkan
Nama-nama semesta dalam diri. Meski setiap nama
Mengalirkan denyut, seperti berebut memberi arti
Kepalan bukan semata untuk pukulan. Meski tangkisan
Berlapis tiga kesabaran sebelum sampai pada batas membalas
Pelindungmu bukanlah dari utara
Yang mampu memberi baju besi ketika tinju bertubi-tubi
Ingin membuka kesempitan dadamu
Yang mungkin kau harap menahan garis-garis hujan
Dengan payung keberuntungan hingga mereka
Jatuh menjadi garis tanganmu
Yang terangankan akan melimpahkan warna hijau
Agar terbentang hutan lebat tempat kau tetirah
Merangkum arah.
Pendukung tidaklah dari selatan, karena kau
Sebagai pemburu kendaraan angin, memecahkan
Buih ketakutan, yang mengangkat titik-titik kekuatan
Mengikatnya dengan zarah-zarah penyimpan sumarah
Saat mengembunkan jurus-jurus tersulit
Sebagai pemikul bentangan cara menangkis
Tanpa mengikis amanat leluhur
Sebagai penghirup nafas hakikat yang terucap
Dalam ikrar pertalekan.
Kau pun tak berpaling ke barat untuk mencari siasat
Tidak ada musim gugur dalam isi lengkah-mu
Meski kau bisa memerintahkan jurus pamacan
Untuk memotong kuku amarahmu atau menangkis
Serangan bujuk rayu yang mengular ke tatapanmu
Dan berangan kau beringsut dari hulu amanat
Ke sihir khianat.
Meski timur menawarkan hadiah umur panjang,
Kau dalam geming di titik tengah, memudahkan
Arah putaran kuda-kuda ke segala arah
Di mana telapak tangan terbuka kepada siapa saja
Meleburkan waktu yang berbatu pada diri-diri
Dengan salam pembuka dan akhir sebuah laga.
Upaya Yana Risdiana menginterpretasikan kecintaannya terhadap leluhur pesilat Cimande ia demonstrasikan dalam menulis sajak “Kehendak Jalan Tengah”. Dengan cukup imajinatif ia menyajikan ajaran leluhur pesilat Cimande dalam sajaknya menggunakan imaji-imaji yang identik dengan gerakan-gerakan dasar silat. Seperti dari pembuka sajak, Meski mulut telah terkunci kuda-kuda, gerak pukulan/Atau riak tangkisan. Meski kuda-kuda menjejakkan./Nama-nama semesta dalam diri. Hingga akhir sajak, Di mana telapak tangan terbuka kepada siapa saja/Meleburkan waktu yang berbatu pada diri-diri/Dengan salam pembuka dan akhir sebuah laga.
Berbicara leluhur pesilat Cimande, tentu berbicara dua hal. Satu leluhur pesilat dan silat Cimande itu sendiri. Leluhur adalah asosiasi dari sejarah, ajaran, dan kebijaksanaan. Sementara silat Cimande merupakan aliran bela diri pencak silat dengan segala tradisi dan ajarannya yang telah kukuh. Jika membaca sajak “Kehendak Jalan Tengah” ini barangkali kita diajak untuk menyadap pesan-pesan kebijaksanaan hidup pesilat dari leluhur pesilat Cimande yang dimaksud oleh Yana Risdiana, sang penulis.
Seperti tersirat di antaranya pada larik, …seperti berebut memberi arti/Kepalan bukan semata untuk pukulan. Atau, pada larik ini, Sebagai penghirup nafas hakikat yang terucap/Dalam ikrar pertalekan. Bahwa bagi pesilat, kemampuan beladiri bukanlah kelebihan untuk disombongkan (berkelahi), melainkan untuk dijaga dengan segala kerendahhatian (menahan hawa nafsu).
Namun demikian, jika tanpa penanda dedikatif yang ditulis di bawah judul “Kehendak Jalan Tengah”, apakah pembaca dapat menangkap falsafah hidup leluhur pesilat Cimande dari sajak ini? Sebab, diksi-diksi penanda semacam kuda-kuda, tangkisan, kepalan, atau jurus-jurus juga dapat mengacu kepada gerakan pencak silat aliran lain.
Kecuali pamacan yang merupakan salah satu jurus utama silat Cimande, dan pertalekan merupakan janji seorang pendekar yang akan mempelajari pencak silat, barangkali yang cukup mengarahkan pembaca kepada silat Cimande. Oleh karena itu, pembaca sangat berharap, hakikat ajaran leluhur pesilat Cimande yang terkandung di dalam sajak dapat lebih disempurnakan pada syariat (unsur-unsur intrinsik) sajak itu sendiri.
Sementara itu, Adi Zam Zam menulis dua sajak yang bersifat renungan personal. Penghayatan akan hidup yang dijalaninya memunculkan pertanyaan-pertanyaan yang cukup menarik bagi dirinya sebagai penulis. Mungkin, bisa menarik juga bagi pembaca. Coba kita simak bersama-sama kedua sajaknya berikut ini.
Arloji
Ke manakah sebenarnya tujuan detik-detik itu melangkah?
Merampas kepalaku ke tempat entah
Seperti rindu pada rumah Ibu
Semakin dan semakin mengepung
Seperti kereta dengan beribu penumpang aneka tujuan
Seperti tukang tagih, “Mana hutangmu hari ini?”
Aku tak pernah menggadaikan diri pada gelembung rapuh cita-cita dan mimpi
Sebenarnya kau hendak membawaku ke mana?
“Ke kota paling suci,” detakmu
Di mana itu?
“Di kedalaman jiwa.”
Kau ajak aku bercakap dengan angin senja yang telah gugurkan ribuan dedaun
Keinginan
Apa yang diinginkan dari menanam adalah panen
Apa yang diinginkan dari panen adalah kesejahteraan
Apa yang diinginkan dari kesejahteraan adalah ketenangan
Apa yang diinginkan dari ketenangan adalah pertemuan
Apa yang diinginkan dari pertemuan adalah perpisahan
Apa yang diinginkan dari perpisahan adalah kenangan
Dan apa yang diinginkan dari kenangan adalah menanam
Pada sajak pertama berjudul “Arloji”, Adi Zam Zam mempertanyakan hidup yang diasosiasikan dengan waktu (arloji). Ia mencoba menggunakan simbol detik-detik sekaligus imaji arloji sebagai kata ganti (ke)hidup(an) dalam sajaknya tersebut. Seperti dapat kita baca pada larik pertama, Ke manakah sebenarnya tujuan detik-detik itu melangkah?
Seharusnya, konsep dramatik pada sajak Adi ini dapat membangun renungan hidup yang lebih sublim atau malah memberikan kejutan. Mengapa Adi tidak mengolah imaji arloji sebagai subjek sajaknya secara utuh sehingga menguatkan kausalitas keseluruhan sajaknya. Misal, mengeksplorasi elemen-elemen lain dari arloji selain detik-detik sebagai ilustrasi perenungan yang menjadi ujaran dalam sajaknya. Dengan begitu, pembaca tidak akan terlalu kebingungan ketika ada loncatan imajinasi penulis, seperti ketika tiba-tiba mengucapkan larik ini, Seperti tukang tagih, “Mana hutangmu hari ini?”. Larik yang seakan dipaksakan hadir dalam sajak tersebut.
Atau, seperti ketika ia menulis angin senja yang telah gugurkan ribuan dedaun di akhir larik. Imaji ini cukup memberi kejutan. Sebab, dalam fenomena sehari-hari, angin di waktu senja langka menggugurkan daun dari ranting pohon. Angin di waktu senja, atau di kala sore menjelang petang, umumnya sepoi-sepoi. Jangankan menggugurkan daun, tertiup saja ia hanya lindap. Kecuali, jika sajak ini ditulis di musim angin barat.
Baca juga:
– Ibu yang Malang, Ibu yang Dikenang
– Teks dan Individualitas
Beranjak ke sajak kedua. Meski cenderung verbal, sajak “Keinginan” lebih menarik untuk dilihat dibandingkan sajak “Arloji”. Setidaknya, dari sajak “Keinginan” pembaca dapat melihat keinginan sang penulis. Keinginan penulis lebih terkesan filosofis dengan setiap baris tanya-jawab pada sajaknya.
Ada pikiran dan ujaran yang lurus dari setiap baris pertanyaan dan jawaban yang ditulisnya. Pertanyaan dan jawaban yang diucapkan dalam sajak itu masih cukup umum bagi pembaca. Mari kita lihat lagi, Apa yang diinginkan dari menanam adalah panen/Apa yang diinginkan dari panen adalah kesejahteraan/Apa yang diinginkan dari kesejahteraan adalah ketenangan/Apa yang diinginkan dari ketenangan adalah pertemuan/Apa yang diinginkan dari pertemuan adalah perpisahan/Apa yang diinginkan dari perpisahan adalah kenangan.
Dengan kata lain, pengetahuan yang diucapkan tersebut tidak memberikan dimensi baru yang umumnya diharapkan pembaca dari sebuah puisi. Kecuali larik terakhir barangkali, Dan apa yang diinginkan dari kenangan adalah menanam. Larik ini cukup mengajak pembaca berpikir. Berpikir kenapa penulis harus mengembalikan jawaban menanam pada larik terakhirnya tersebut. Kenapa ia tidak memberikan kebebasan kepada kenangan sebagai sesuatu hal yang lebih terbuka pemaknaannya?
Jika komentar untuk karya Yana Risdiana dan Adi Zam Zam dirangkum. Maka, kedua penulis ini memang tampak mencoba menyajikan renungan mengenai hidup dengan cara dan khazanah pengetahuannya masing-masing. Dari kedua penulis ini pula, sebagai pembaca, saya masih berharap mendapatkan impresi sajak yang lebih kuat dan dimensi pengetahuan yang lebih mengejutkan pada karyanya.[]