Fb. In. Tw.

Menikmati Secangkir Kopi dengan Tergesa

Hampir lima bulan saya mengulas cerpen-cerpen yang disiarkan HU Pikiran Rakyat. Beberapa cerpen membuat saya puas saat selesai membacanya, meski banyak sisanya membuat saya ogah-ogahan menulis esai. Satu bulan belakangan ini, saya  merasa mengulang isi dari ulasan-ulasan sebelumnya. Ulasan saya seputar cerpen dengan tema personal, eksekusi yang mengaburkan tema, alur yang berantakan, begitu terus berulang-ulang tiap dua minggunya.

Begitu pun dengan pekan ini, cerpen berjudul “Secangkir Kopi” karya Qintharra Novella Kristi yang dimuat di HU Pikiran Rakyat edisi 20 Mei 2018 lalu kurang menarik perhatian saya. Pasalnya, cerpen ini memiliki tema yang segar, yaitu tentang isu LGBT, tetapi dari paragraf pertama sampai paragraf terakhir, saya tidak memahami keutuhan cerita.

Mengenai LGBT, kenapa saya menganggap isu ini masih segar? Karena sedikit penulis Indonesia yang mau dan mampu menuliskan isu ini dalam karyanya. Mungkin karena isu ini masih tabu dalam masyarakat kita. Banyak orang, secara terang-terangan, akan menolak mentah-mentah isu LGBT ini.

Penolakan-penolakan tersebut dapat kita temukan dalam dunia hiburan akhir-akhir ini. Beberapa figur publik yang kedapatan menyeleweng dan menyukai sesama jenis, akhirnya dirundung dengan sedemikian rupa. Perundungan-perundungan tersebut semakin masif dilakukan masyarakat terhadap mereka yang kedapatan berganti jenis kelamin atau bertingkah menyerupai lawan jenis kelaminnya.

Perundungan tersebut tidak berhenti hanya kepada figur publik yang bersangkutan dengan isu LGBT. Mereka yang beropini mengenai isu tersebut, baik pro atau kontra, juga mendapatkan perlakuan serupa. Begitu pun dalam dunia kepenulisan, sama seperti isu komunisme dan feminisme, sekali menuliskannya, baik pro maupun kontra, penulis akan dicap mendukung ideologi-ideologi tersebut.

Dari sedikit penulis Indonesia yang mau menuliskannya, lebih sedikit lagi yang mampu menyelesaikan karya bertema LGBT. Saya sendiri baru membaca satu karya bertema LGBT, yang menurut saya, kesegaran eksekusi karyanya melebihi kesegaran isunya sendiri. Cerpen tersebut adalah “Muslihat Musang Emas dan Elena”, salah satu cerpen dalam kumpulan cerpen Muslihat Musang Emas karya Yusi Avianto Pareanom.

Cerpen “Muslihat Musang Emas dan Elena” mengisahkan cinta bertepuk sebelah tangan Donny kepada Elena, persis seperti cerpen “Secangkir Kopi”, kisah Yasmin yang menyukai Irham secara sepihak. Hanya saja, eksekusi dari kedua cerpen ini sangat berbeda. “Muslihat Musang Emas dan Elena” menampilkan gaya khas bercerita Yusi yang selugas gaya bercerita lisan, tetapi dibangun dengan tertib dan tekun. Sedangkan gaya bercerita cerpen “Secangkir Kopibegitu singkat dan tergesa-gesa meskipun lugas.

Gaya bercerita Yusi Avianto Pareanom dalam “Muslihat Musang Emas dan Elena” membuat semua tokoh dalam cerpennya terasa hidup dan nyata. Seolah kita mendengar cerita seorang kawan saat nongkrong di kedai kopi. Penting kiranya penulis membuat hidup tokoh-tokoh dalam cerpen. Hal tersebut dapat menentukan simpati atau tidaknya pembaca kepada tokoh-tokoh dan alur keseluruhan cerpen.

Tentu saja, tokoh yang hidup kurang dapat saya temukan dalam cerpen “Secangkir Kopi”. Selain tergesa-gesa antarperistiwa demi peristiwa, cerpen ini juga memiliki alur sangat singkat. Saking singkatnya, cerpen ini dapat kita rangkum dengan sangat singkat juga.

Cerpen “Secangkir Kopi” diawali dengan pertemuan tidak sengaja antara Yasmin dan Irham di sebuah rumah kopi. Ketidaksengajaan itu berlanjut sehingga membuat Yasmin nyaman dan menyukai Irham. Namun siapa sangka kalau ternyata Irham adalah seorang gadis sama seperti Yasmin. Di akhir cerita, mereka sadar tak bisa menjalin kisah cinta karena memiliki jenis kelamin yang sama, meski Yasmin memutuskan untuk tetap bersahabat dengan Irham.

Ketergesa-gesaan cerpen “Secangkir Kopi” dapat kita lihat dari paragraf satu dan dua sebagai berikut.

Aku terdiam dan termenung, menatap layar notebook-ku, sambil sesekali menegukkan kopi hangat yang sudah aku pesan tadi. Tiba-tiba aku tidak ada inspirasi untuk menulis. Pikiranku selalu terbayang oleh seorang pria yang sempat membuat kisah bahagia denganku. Ia sekarang telah pergi meninggalkanku.

Ya, dia benar-benar pergi untuk selamanya. Padahal, sudah dua tahun kiranya ia pergi. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Aku benar-benar kehilangannya dan merasa tidak ada yang lebih baik darinya.

Kedua paragraf tersebut menceritakan seorang laki-laki dari masa lalu Yasmin yang membuyarkan inspirasinya malam itu. Namun, seperti bayang-bayang masa lalu, cerita tentang laki-laki itu menguap bahkan setelah Yasmin merasa tidak ada yang lebih baik darinya.

Sebagai pembuka cerpen, kehadiran tokoh laki-laki masa lalu Yasmin bukan awal yang bagus. Tokoh tersebut akhirnya tidak bisa dikatakan tokoh karena dia hanya serupa tempelan. Tidak ada motif yang kuat dalam cerita, tentang penyebab laki-laki masa lalu tersebut harus hadir. Kisah cinta seperti apa yang dialami Yasmin dan lelaki dari masa lalunya? Lelaki dari masa lalu itu hanya berfungsi sebagai pembuyar inspirasi menulis Yasmin, bahkan laki-laki itu jika digantikan dengan tagihan kartu kredit yang jatuh tempo atau lainnya tidak akan mengubah alur secara signifikan.

Baca juga:
Kisah Cinta yang Terkesan Puitis
Kasih Ibu yang Mana Lagi

Banyak lagi detail peristiwa yang tidak dijelaskan. Maka saya bisa menyimpulkan, cerita ini adalah kasus jatuh cinta dan patah hati tercepat yang pernah saya baca. Hingga akhir cerita saya masih bertanya-tanya, terus saya harus gimana?

Satu hal lagi yang mengganggu saya sebagai pembaca, yaitu hubungan judul dengan isi cerpen “Secangkir Kopi”. Secangkir kopi, saya kira, kurang merepresentasikan keseluruhan isi cerpen. Secangkir kopi bukan sesuatu yang mempertemukan kedua tokoh dan tidak memiliki momen khusus dalam cerpen. Karena keseluruhan cerpen menceritakan perasaan cinta Yasmin yang ia sendiri bingung kenapa, hingga diakhiri dengan pengakuan Irham bahwa ia adalah perempuan. Mungkin akan tepat jika cerpennya diberi judul ala sinetron seperti “Pria yang Kucintai bukan Seorang Pria.”[]

KOMENTAR

Bergiat di Sanggar Sastra Purwakarta dan Arena Studi Apresiasi Sastra.

You don't have permission to register