Kisah Cinta yang Terkesan Puitis
Kisah-kisah percintaan merupakan satu hal yang sering diangkat dalam karya sastra. Dari sekian banyak wacana zaman yang riuh, kisah percintaan tetap eksis dan memiliki tempat tersendiri bagi beberapa penulis dan pembaca. Salah satu contohnya adalah cerpen “Stasiun Kereta Api” karya Rani Aulia Nurcahyana yang disiarkan HU Pikiran Rakyat pada 6 Mei 2018.
Cerpen ini bercerita tentang tokoh Lia yang memendam cinta kepada sahabatnya, Adrian. Latar dalam cerpen ini berada pada stasiun kereta api. Di tempat itu dijelaskan bahwa persahabatan Adrian dan Lia sudah dimulai sejak keduanya duduk di bangku SMP dan berlanjut hingga bangku SMA. Sayang, setelah lulus SMA mereka harus terpisah karena universitas yang mereka ambil berbeda. Hingga akhirnya kereta berangkat dan jarak ratusan kilometer membentang di antara mereka berdua. Lia tak mengatakan perasaan cinta yang lebih dari sekadar sahabat hingga akhir cerita.
Cerpen “Stasiun Kereta Api” mengangkat kisah cinta yang murni tanpa wacana kuat lain. Cerita ini mengutamakan perasaan melankolis yang dialami oleh tokoh Lia. Lia merasa hubungannya dengan Adrian hanya sekadar friend zone, hingga akhirnya jarak memisahkan mereka. Hiks. Kalau tidak percaya, silakan baca paragraf berikut ini.
“Aku tetap menjadi sahabatmu, Lia. Sejak hari pertama di sekolah menengah pertama. Ketika celana dan rokmu berwarna biru tua. Aku menyayangimu. Sebagai sahabat yang selalu ada ketika kesusahan.”
Daya tawar kisah percintaan dalam cerpen ini kurang menarik empati saya, karena hanya mengeksploitasi perasaan dari tokoh Aku secara dominan. Cerita ini tidak dikaitkan dengan latar atau masalah yang hari ini terjadi. Misalnya, bagaimana dengan biaya masuk universitas yang saat ini mahal? Apakah telepon genggam atau perangkat lain yang hari ini digunakan secara besar-besaran tidak bisa meredakan kesakitan tokoh Aku? Bagaimana latar belakang tokoh Adrian yang akan pergi pertama kali untuk berkuliah di kota lain tanpa diantar orang tuanya di stasiun, hingga Adrian berani memeluk seorang wanita di tempat umum?
Di luar dari kisah yang tidak terlalu spesial bagi saya, tema kengenesan kisah cinta ini ditulis dengan bahasa yang melankolis-puitis-picis-romantis. Terdapat banyak bahasa kiasan yang digunakan dalam cerpen. Namun bukan soal jenis kiasan apa yang digunakan dalam cerpen ini yang akan saya bahas selanjutnya, melainkan penggunaan logika bahasa.
Pada paragraf pembuka cerpen Stasiun Kereta Api yang saya kutip sebagai berikut.
Sepagi ini, pukul setengah enam lebih lima menit aku sudah duduk di antara bangku-bangku ruang tunggu penumpang Stasiun Kota. Aktivitas stasiun pagi ini tidak terlalu ramai, hanya ada gaduh di pikiranku. Tersungkur luka di pagi hari, aku berusaha memotivasi diri sendiri. aku yakin, semua hal yang terjadi di dunia ini terjadi karena ada waktunya, ada saatnya kan?
Kalimat aku sudah duduk di antara bangku-bangku ruang tunggu terkesan ganjil dan mendapatkan perhatian. Penggunaan kata di antara menunjukkan objek yang lebih dari satu, dalam kalimat tersebut terdapat kata bangku-bangku yang mengikutinya. Bangku-bangku merupakan pengulangan kata yang bermakna dua atau lebih, maka bisa saja imajinasi yang hadir justru tokoh aku tidak duduk di bangku, melainkan duduk di antara dua bangku. Duduk di bangku akan lebih efektif dan tidak menimbulkan ambiguitas.
Baca juga:
– Kasih Ibu yang Mana Lagi?
– Memahami Anak-anak dalam Cerpen
Bukan hanya dalam paragraf pembuka, cacat logika bahasa maupun makna dapat ditemukan dalam beberapa paragraf berikutnya. Misal dalam paragraf ke dua.
Seperti ditusukkan jarum di seluruh tubuhku, aku rapuh sekarang. Sederhana, tetapi menyayat hati. Akan sesulit inikah berjarak dengannya? Dia berkata seolah pergi meninggalkan aku dengan penuh keberanian.
Pada kalimat pertama terdapat perumpamaan di mana kerapuhan aku seperti ditusuk jarum di seluruh tubuh. Tidak ada kejanggalan dalam kalimat tersebut, tetapi kalimat berikutnya yang berbunyi sederhana, tetapi menyayat hati membuat logika makna kurang berterima secara keseluruhan. Apa yang sederhana, tetapi menyayat hati? Mungkin penulis memaksudkan kalimat tersebut sebagai penjelasan dari kalimat sebelumnya. Namun, apakah kerapuhan seperti ditusuk jarum itu sederhana? Hingga kesederhanaan itu dinegasikan lagi dengan penjelasan tapi menyayat hati.
Sama halnya dengan paragraf terakhir cerpen ini, kesalahan bahasa masih bisa ditemukan. Berikut adalah kutipan paragraf terakhir.
Rohku dan rohmu hambur karena kita dipaksa berjarak satu kali lagi, 372 kilometer.
Kata hambur dalam kalimat tersebut memiliki makna harfiah keluar secara bersamaan maka jika kalimat tersebut dimaknai secara keseluruhan akan menjadi “roh kita keluar secara bersamaan karena dipaksa berjarak sejauh 372 kilometer.” Tiba-tiba saya merinding, membayangkan roh yang berhamburan bukan karena kematian, tetapi karena perpisahan satu sama lain. Karenanya perumpamaan “roh yang hambur” tidak tepat secara logika bahasa. Penggunaan kata konotatif seharusnya dapat sejalan dengan makna denotatifnya.
Kiranya logika bahasa yang kurang tepat bukan hanya terdapat dalam cerpen “Stasiun Kereta Api” saja. Banyak cerpen lain demi mengedepankan bahasa yang terkesan puitis, namun mengesampingkan makna bahasa. Padahal kesalahan logika bahasa dalam cerpen atau karya sastra lainnya dapat menjadi bumerang untuk penulis. Masa sebagai penulis tidak tahu kaidah kebahasaan, tidak bisa mencocokkan makna kata anu dengan kata anu?
Hal di atas terjadi karena penulis terjebak dalam romantisme perasaannya, hingga akhirnya menggebu-gebu menuliskan bahasa dan peristiwa yang terkesan puitis. Memang tidak ada yang salah dengan penggunaan bahasa puitis dalam cerpen, bahasa puitis merupakan salah satu daya tawar agar pembaca menikmati jalannya cerita. Hanya saja, apakah bahasa itu dapat dipertanggung-jawabkan?[]