Fb. In. Tw.

Puisi sebagai Doa

Tema-tema religius kerap hadir dalam khazanah perpuisian di Indonesia. Abdul Hadi WM atau Ahmadun Yosi Herfanda, adalah sedikit nama dari sekian banyak penyair Indonesia, yang konsisten menjadikan religiusitas sebagai tema utama dalam sajak-sajaknya. Puisi pada akhirnya menjadi semacam doa bagi penyair yang setia mengolah tema seperti ini. Doa yang bukan saja sebagai harapan atau permintaan hamba terhadap tuhannya, tapi lebih daripada itu, puisi menjadi semacam puji-pujian terhadap berbagai nikmat yang telah tuhan karuniakan.

Pada rubrik Pertemuan Kecil edisi 29 April 2018, HU Pikiran Rakyat menampilkan sajak-sajak dengan latar religiusitas sebagai tema utamanya. Religiusitas yang dicerminkan oleh berbagai hal termasuk doa dan puji-pujian di dalamnya.

Sajak pertama berjudul “Dzikir Hujan” karya Bagus Likurnianto. Berikut kutipan utuh sajaknya.

Dzikir Hujan

dhuha itu
pelangi menyatakan rindunya padaku
dengan gerimis yang menjelaskan, rintiknya yang ragu
kepada debu-debu yang ditayamumkan                           

oleh debu-debu itu manusia disucikan
dari wajah kepada tangan
dari tangan kepada tengadah
di sepenggal semesta

namun debu-debu itu kini hilang kesuciannya
lantaran terguyur do’a pada butiran tasbih
yang mempertanyakan
mana yang lebih deras, antara dzikirku dengan hujanmu

Bait pertama sajak ini menggambarkan suasana duha (pagi) dengan kehadiran pelangi dan gerimis. Suasana yang mengingatkan aku lirik terhadap kenikmatan dan keindahan yang dikaruniakan tuhan. Bait pertama, pada awalnya, secara tidak jelas mengarahkan impresi pembaca pada hal yang bersifat religius. Terlebih islami. Sebab istilah duha dan tayamum hanya dimiliki oleh mereka yang memeluk agama Islam. Meski sayangnya, kesan islami itu hanya berhenti pada kedua diksi tersebut tanpa kedalaman makna dan pengaruh yang signifikan terhadap keseluruhan bait ini.

Sementara pada bait kedua, bagi pemeluk agama Islam, akan secara mudah mengenali bahwa bait ini berbicara soal tayamum. Gambaran umum proses tayamum. Empat larik pada bait ini cukup puitik dalam menggambarkan proses tayamum tanpa terjebak pada proses artifisial.

Sedangkan bait terakhir menjadi semacam kesimpulan dari bait-bait sebelumnya. Diksi namun menjadi kunci dari proyeksi kesimpulan itu. Diksi-diksi islami kembali hadir seperti, tasbih dan dzikir. Bait ini pun menjadi puncak ketidakjelasan suasana yang ingin ditampilkan sajak ini. Gabungan antara sajak liris + sajak gelap = sajak thanos.

Sajak “Dzikir Hujan”, meminjam istilah Agus Sarjono, dapat dikategorikan sebagai sastra kamar. Sajak yang cenderung mengangkat tema-tema individu keseharian. Subjektivitas aku lirik menjadi satu-satunya sudut pandang memaknai sajak-sajak seperti ini. Sajak “Dzikir Hujan” berbicara suasana pagi dengan subjektivitas aku lirik, yang dihubungkan dengan hal-hal bersifat religi individual aku liriknya sendiri.

Namun, kurang mampunya penulis dalam merangkai, baik itu diksi maupun logika kausalitas pada sajak ini, mengakibatkan bangunan sajak menjadi tidak jelas bentukannya. Pembaca hanya bisa menikmati serpihan-serpihan diksi tanpa bisa memaknainya secara utuh, sehingga sulit untuk menikmatinya secara komprehensif.

Sebagai contoh kecacatan logika kausalitas, kita bisa melihat susunan larik-larik pada sajak ini meloncat tanpa dasar yang jelas. Ketika tiga larik pertama berbicara suasana sendu pada pagi yang gerimis, namun tiba-tiba larik-larik selanjutnya berbicara debu dan tayamum, lalu dilanjutkan oleh doa dan berakhir dengan dzikir. Apa hubungan pagi gerimis disertai pelangi dengan debu dan tayamum. Acak sekali. Padahal di awal, sajak “Dzikir Hujan” cukup kentara hendak menjadikan latar religius sebagai kerangka penggambaran suasana yang ingin ditawarkan kepada pembaca.

Baca juga:
Mempertimbangkan Kenangan dan Bahasa Sajak
Piknik dan Hal-hal yang Belum Selesai

Sajak kedua ditulis oleh Sharmay HA berjudul “Reminisensi Pertemuan”.

Reminisensi Pertemuan

Dengan rahasia ba dengan noktahnya
Kuawali resital kehilangan
Perihal masa lalu yang sebentar biru, kemudian sirna tanpa warna
Sesunguhnya aku bukan pemeras ingatan
untuk kemudian memungut serbukserbuk kesedihan, lalu mereminisensi
pada lembaran keheningan
Jarum jam yang berpelukan di dinding itu menjadi saksi
kami dipertemukan hanya untuk merencanakan kemungkinan yang tidak
mungkin di masa depan
Barangkali, aku terlalu melankolis menjadikan bayangannya distraksi
Yang terlalu rumit dihindari
Setelah itu,
Sejarah jadi kloroform yang menganestesi harapan
Meraibkan koloni kata-kata kebahagian
Akhirnya, aku tidak punya apa-apa lagi untuk diceritakan, selain doa untuk
diulangi dalam deretan kejadian di hadapan Kekekalan
“ Semoga, ada detak cahaya yang diletakan dalam dadaku yang telah
malam.”
Aamiin

Sajak “Reminisensi Pertemuan” diawali oleh larik Dengan rahasia ba dengan noktahnya. Ba adalah abjad kedua dalam deretan huruf hijaiah. Maka sekilas di awal, saya menduga sajak ini akan berangkat dari latar religius, namun dugaan saya ternyata meleset. Larik-larik selanjutnya malah asyik masyuk berbicara soal kenang-kenangan, Perihal masa lalu yang sebentar biru, kemudian sirna tanpa warna; ingatan suasana, Jarum jam yang berpelukan di dinding itu menjadi saksi; dan pengakuan, Barangkali, aku terlalu melankolis menjadikan bayangannya distraksi/ Yang terlalu rumit dihindari.

Meski setelah membaca lima bait terakhir sajak ini, dugaan saya muncul kembali, seperti terlihat pada penggalan berikut.

Akhirnya, aku tidak punya apa-apa lagi untuk diceritakan, selain doa untuk
diulangi dalam deretan kejadian di hadapan Kekekalan
“ Semoga, ada detak cahaya yang diletakan dalam dadaku yang telah
malam.”
Aamiin

Walaupun penyusunan diksi dan gramatika pada sajak ini terkesan biasa bahkan cenderung gelap, saya masih tetap bisa menangkap kesan religius yang ingin disampaikan aku lirik. Bahwa ada pengakuan dan harapan yang dilambungkan sebagai doa oleh si aku lirik. Diksi Kekekalan menjadi salah satu diksi kunci dalam memaknai hal tersebut dengan melontarkan pertanyaan, bukankah Kekekalan hanya milik tuhan semata?

Sajak “Reminisensi Pertemuan” menjadikan religiusitas sebagai latar subjektivitas aku lirik. Artinya yang religius itu bukan tema sajaknya, tapi pengaruh penulisnya yang mungkin dekat dengan kehidupan religius, sehingga secara sadar dan tak sadar termanifestasikan oleh si aku lirik.

Doa sebagai Pengakuan
Mencermati kedua sajak di atas, ada sebuah kecenderungan bila kita mengamati kemunculan hal-hal yang berkesan religius yang digunakan oleh penulisnya.

Kecenderungan pertama adalah seorang penulis kerap kali menjadikan puisi sebagai doa atau puji-pujian terhadap sesuatu yang diyakini dapat mengabulkannya. Pada sajak “Reminisensi Pertemuan”, hal ini teramat kentara terutama pada larik-larik terakhir. Puisi pada akhirnya menjadi media komunikasi untuk menyambungkan doa beserta harapan dan pengakuan seorang manusia terhadap tuhannya.

Puisi sebagai doa ini akan menjadi dilematis, mengingat karakteristik doa dan puisi yang bertolak belakang. Doa biasanya jelas, menohok langsung ke tujuan. Sementara puisi seringkali menggunakan pengandaian dan lebih bersifat metaforis. Maka diperlukan keterampilan khusus, bila memang ingin menjadikan puisi sebagai sebagai karya sastra sekaligus sebagai media untuk berdoa, agar tidak terjebak pada puisi yang berkesan artifisial.

Sedangkan kecenderungan yang kedua adalah bahwa latar religius seorang penulis akan sangat memengaruhi pemilihan diksi pada sebuah puisi, artinya tidak semata-mata soal khazanah bacaan si penulisnya, tapi lebih kepada kedekatan penulis terhadap hal-hal yang bersifat kehidupan religius. Memang menjadi keniscayaan bila hal tersebut terjadi, sebab latar belakang seorang penulis akan memengaruhi tulisannya. Namun hal ini akan menjadi masalah bila penulis tidak pandai menempatkan latar belakang religiusnya dalam memilah dan memilih diksi, seperti yang terjadi pada sajak “Dzikir Hujan”. Puisi menjadi terkesan banal dan tidak jelas bentukannya.[]

KOMENTAR

Redaktur buruan.co. Buku puisi terbarunya berjudul Menghadaplah Kepadaku (2020)

Comments
  • Berulang kali saya baca. Tp rasanya setiap kali baca kesannya rada gimana wkwk ah entahlah pendapat orang boleh tak sama. Lagi pula itu puisi paling pertama yang saya tuliskan sepanjang hidup saya. Jadi lebih banyak kritik mungkin lebih baik. Terlebih klo sarannya lebih banyak dari kritiknya hehe

    22 Juni 2018
  • Terima kasih kaka telah mau membahas puisi saya di buruan.co kritik dan sarannya sangat bermanfaat.

    20 Juni 2018
  • Terima kasih kaka telah mau membahas puisi saya di buruan.co kritik dan sarannya sangat bermanfaat.

    20 Juni 2018
  • Wah… terima kasih, Pak. Sajak Reminisensi Pertemuan dibahas di buruan.co

    28 Mei 2018
    • buruan

      Sama-sama. Semoga bermanfaat ya. 🙂

      31 Mei 2018

Sorry, the comment form is closed at this time.

You don't have permission to register