Permainan Persepsi Putu Wijaya
Putu Wijaya merupakan cerpenis yang produktif. Kualitas dari intensitas berkaryanya terlihat pada cerpen berjudul “Boko” yang dimuat di Kompas, 22 April 2018. Pada cerpen tersebut Putu Wijaya menunjukkan kelihaiannya membangun karakter tokoh melalui alur cerita yang sangat sederhana.
Setelah keluar dari penjara, Boko bertobat dan beralih profesi menjadi tukang ketoprak. Berbulan-bulan dagangannya tak laku sebab masyarakat masih sulit menerima profesi barunya. Sulit bagi orang-orang melupakan Boko sebagai mantan pemeras, perampok, dan pembunuh. Kondisi dari stigma negatif itu membuat dagangan Boko lama-kelamaan kehabisan modal. Tetapi dengan kesungguhan untuk berubah, Boko tetap berangkat ke pasar meski harus mendorong gerobak kosong.
Hingga seorang pembeli pun datang. Setelah tahu tak ada ketoprak yang bisa dibelinya, pembeli itu akhirnya mengenali Boko. Rupanya ia sahabat lama Boko saat masih berkecimpung di dunia kejahatan. Ia pun mengajak Boko kembali membunuh seseorang dengan imbalan yang sangat besar. Di tengah kondisi Boko yang sebenarnya membutuhkan uang, Boko menolak tawaran tersebut. Atas penolakan Boko tersebut, si pembeli kaget dan was-was. Nyaris saja ia membocorkan rencana jahatnya pada orang asing. Pembeli itu seketika yakin, bahwa penjual ketoprak itu memang bukan Boko yang pernah ia kenal.
Tanpa kelihaian bercerita, alur cerita yang singkat itu akan kerepotan menguatkan karakter tokoh. Namun Putu Wijaya melalui teknik cerita yang sederhana dengan alur cerita yang singkat mampu menguatkan karakter tokoh. Putu Wijaya mengarahkan awal cerita pada konflik dan mengakhiri ceritanya dengan peristiwa sederhana yang mengejutkan.
Pertama, pada bagian awal cerita, Putu memulainya dengan tanpa basa-basi.
Boko, mantan bromocorah diinsyafkan oleh rumah pemasyarakatan, ketika keluar dari penjara, ia banting setir total. Tidak lagi memeras, merampok atau membunuh, tetapi menjadi tukang ketoprak.
Pulang dari pangkalan, Boko membereskan peralatan ketoprak dibantu istrinya. “Ada yang beli, Pak?”
“Tidak. Dua porsi aku makan sendiri daripada basi.”
“Sudah tiga bulan, kok, begini terus?”
Cerita pendek selalu diawali dengan pengenalan cerita. Pada bagian ini, Putu Wijaya langsung mengarahkan pembaca pada inti persoalan tokoh. Kondisi seorang mantan bromocorah yang ingin insyaf dan ingin jadi tukang ketoprak yang laris manis. Melalui peristiwa percakapan dengan istrinya yang sederhana di atas itu, kita bisa langsung tergiring pada masalah tersebut.
Kehadiran tokoh istri menjadi sangat penting di dalam cerita pendek ini. Ia semacam narahubung pembaca untuk berhadapan langsung dan mengenali tokoh Boko. Boko menjelaskan segala persoalan yang menimpa dirinya dengan terang benderang. Dari mulai masyarakat yang masih berstigma negatif padanya, hingga tekadnya yang tak mungkin kembali jadi bromocorah meski itu sangat mudah dilakukannya. Selain itu, istri juga menjadi cermin yang menegaskan sikap tokoh Boko. Perhatikan obrolan berikut ini.
“Tapi aku mau terus mendorong gerobakku untuk melewatkan waktu.”
“Diam di rumah saja, kan aku sudah diterima jadi pembantu.”
“Aku harus mengisi waktu, kalau tidak aku akan tidur terus. Kalau aku tidur terus, aku akan bosan, karena di penjara juga aku sudah banyak tidur. Mimpiku sudah habis. Semuanya sudah aku mimpikan. Sekarang hanya mengulang-ulang. Aku takut kalau sudah bosan aku akan jadi iseng. Waktu iseng itulah pikiran waras bisa hilang. Aku tak mau lagi menjadi bromocorah.”
“Ya janganlah!”
“Kita jalani saja apa adanya.”
“Jadi, besok mendorong gerobak kosong?”
…
“Tak apa. Tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli.”
“Aku yang peduli, Pak,” kata istrinya sambil menghapus air mata.
Boko tampak begitu optimis. Ujaran penuh harapan itu dijawab oleh istrinya secara realistis. Hal ini mengakibatkan pembaca menarik empati pada tokoh Boko. Pembaca jadi merasa kasihan dan berempati terhadap sikap Boko yang masih mau mendorong gerobak ke pasar meski gerobak itu dalam kondisi kosong tak menjual apa-apa.
Putu Wijaya juga menunjukkan bahwa tokoh Boko sangat ngotot ingin berubah dan bertobat. Ada proses dari alur singkat yang dibuatnya. Hal ini ditunjukan melalui sikap Boko yang tetap mendorong gerobaknya ke pasar, meski gerobak itu kosong karena kehabisan modal. Dilema atau krisis dari Boko akibat stigma negatif masyarakat padanya.
Selanjutnya, barulah Putu Wijaya menghadirkan peristiwa kunci. Peristiwa hadirnya teman lama Boko. Ia menawarkan pekerjaan untuk membunuh seorang pelacur dengan imbalan satu milyar. Boko dipasrahi uang muka 10 juta, handphone, dan foto perempuan yang mesti dibunuhnya. Suatu kondisi yang menggiurkan di tengah kondisi keuangan Boko yang morat-marit. Tetapi cerita harus diakhiri dengan sikap penolakan Boko pada tawaran si pembeli itu.
Sikap penolakan Boko pada tawaran itu merupakan peneyelesaian konflik cerita yang sederhana namun penting. Sederhana karena menunjukan sikap penegasan tokoh Boko yang ingin bertobat secara total. Penting karena setelahnya, dengan cerdas Putu Wijaya tidak memusatkan perhatian pada tokoh utama. Perhatian di akhir justru diarahkan pada si pembeli yang menawari Boko. Tokoh pembeli itu merupakan perwakilan publik yang masih menganggap Boko seorang pembunuh, akhirnya bicara bahwa orang yang baru saja diajaknya membunuh memang bukan Boko, melainkan seorang lelaki polos dan bodoh.
Setelah meletakkan amplop di samping Boko, orang itu bergerak masuk ke mobil. Tiba-tiba Boko muncul di jendela mobil. Ia mengulurkan amplop itu.
“Aku bukan Boko. Lain kali kalau mau mancing jangan nyimpan lencana di kantong Bapak,” Boko menaruh amplop itu dekat kemudi, lalu mendorong gerobak ketopraknya pulang. Sama sekali tanpa menoleh.
Orang di dalam mobil itu bengong. Ia memeriksa amplop. Masih utuh. Ada potret pelacur itu, alamat dan peta rumahnya. Ada HP dan uang muka 10 juta. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yang mirip dengan lencana, lalu menenggak dua butir pil dan menggumam.
“Sialan, aku kira si Boko. Untung orangnya polos.”
Hal ini jelas amat penting menimbang masalah utama Boko adalah persepsi masyarakat kepadanya. Meski saat itu seluruh masyarakat belum berprasangka baik padanya, melalui potret cerita itu, pembaca adalah kaum pertama yang kemudian percaya bahwa Boko telah benar-benar berubah.
Baca juga:
– Menakar Lamunan Djenar Maesa Ayu
– Cerita Cinta dari Sungai Paring
Ruang Persepsi
Kita adalah citra dari persepsi orang lain. Kita mengenal Boko di dalam cerita ini melalui deskripsi di dalam dialognya sendiri. Namun juga kita mengenalnya dari perlakuan orang-orang pada Boko. Putu Wijaya melalui permainan alur sederhananya menunjukkan pada kita tiga cermin sosial. Cermin sosial pertama yakni dengan tak adanya orang yang membeli ketoprak Boko. Hal ini juga menunjukkan suatu kondisi awal cerita, masalah tokoh utama hari ini. Penjelasan berikut ini sangat memperkuat karakter tokoh Boko di dalam cerita.
“Orang-orang bingung ketika melihat aku mendorong gerobak ketoprak dan mangkal di pinggir jalan. Tidak seorang pun yang berani mendekat. Bagaimanapun juga, di dalam gerobak yang aku dorong itu tidak hanya ada tahu, ketupat, tauge, dan saus kacang, tetapi juga ada pisau. Dan pisau di dekat seorang pembunuh, sewaktu-waktu bisa mengerat leher siapa pun, tanpa alasan.”
Cermin sosial kedua, ditunjukan melalui hadirnya rekan lama Boko yang sangat menghargainya. Penghargaan yang besar nilainya dalam ukuran materi. Di sini kita diajak melihat dunia masa lalu Boko. Dari kebiasaan lama, hingga kelas pembunuh semacam apa ia di masa lalu.
“Bos perlu bantuan. Dia mau mencalonkan diri. Tapi ada kendala. Pelacur dari Cijantung yang pernah jadi piaraannya itu ternyata punya surat nikah. Sekarang lawan-lawan politik Bos memakainya untuk menjatuhkan Bos. Kalau kamu bisa sikat dia sekarang, Bos aman. Dananya Rp 1 M. Kalau berjalan mulus, tambah bonus Rp 1 M lagi. Bagaimana? Masih berani bunuh orang kagak lu?!”
Cermin sosial ketiga merupakan kunci dari cerita pendek ini. Yakni solusi di tengah godaan bagi Boko untuk kembali menjadi seorang bromocorah. Boko menolak tawaran itu. Dari seni cermin sosial ketiga itu nampak dari sudut pandang tokoh pembeli. Ketika sebelumnya ia menjadi cermin kedua, cermin karakter masa lalu Boko, kemudian ia menjadi cermin sosial ketiga. Yakni persepsi bahwa tokoh Boko ini memang bersungguh-sungguh untuk berubah.
Orang di dalam mobil itu bengong. Ia memeriksa amplop. Masih utuh. Ada potret pelacur itu, alamat dan peta rumahnya. Ada HP dan uang muka 10 juta. Lalu ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya yang mirip dengan lencana, lalu menenggak dua butir pil dan menggumam.
“Sialan, aku kira si Boko. Untung orangnya polos.”
Kalimat si pembeli mengatakan bahwa ia “mengira” pedagang ketoprak itu merupakan Boko yang ia kenali merupakan bentuk cermin ketiga. Bahwa Boko memang berhasil mengubah sikapnya. Keberhasilan ini memang hanya baru bisa menjawab cermin sosial keduanya saja. Dunia bromocorah akan sepakat jika Boko telah berubah. Tapi dari sini pembaca diajak juga percaya seiring berjalannya waktu, dunia sekitar Boko akan menghapus stigma negatif mereka.
Putu Wijaya dengan sangat cerdas mengajak pembaca mendalami tokoh dengan alur cerita sederhana. Pembaca diajak membaca kondisi masa lalu dan masa kini tokoh dengan sangat efektif dan tidak bertele-tele. Lantas mengakhiri ceritanya dengan suatu tindakan tokoh, menempatkan kita sebagai cermin yang menilai tokoh cerita. Demikianlah ragam interpretasi cerita akan lahir dibenak pembaca.[]