Seandainya Puji Kuswati Membaca Puisi Fitra Yanti
Tepat pada peringatan Hari Kartini, 21 April 2018, harian Kompas menyiarkan puisi yang ditulis oleh seorang perempuan penyair, Fitra Yanti. Tujuh sajaknya yang disiarkan adalah “dendang pemanggil janin”, “gadis kecil perintis sunting”, “gaun manik-manik”, “tabib perawan di ladang markisa”, “dua rakaat rindu”, “perempuan pembangkit batang terendam”, dan “mantra panjang usia”. Ada kemungkinan penayangan puisi yang ditulis perempuan penyair ini sebagai kebijakan redaksi dalam rangka peringatan Hari Kartini. Sebuah hal yang patut diapresiasi.
Membaca kembali sajak-sajak Fitra Yanti di masa kaos akibat ulah (keluarga) teroris di Surabaya, dapat membuat kita lebih merasa damai. Kita dapat merasakan kasih mengalir tenang dari tutur kata yang penuh perasaan dari aku lirik seorang Ibu. Layaknya seorang Ibu yang berbicara dan mengharapkan hal-hal baik pada anaknya. Seandainya Puji Kuswati membaca sajak-sajak karya Fitra Yanti, mungkin anak-anaknya masih hidup.
Mari kita mulai dengan membaca salahsatu sajaknya.
perempuan pembangkit batang terendam
: annaka
mendekatlah sayangku
ke dada ibu yang kelak akan kau miliki persis
seperti bola-bola air kecil yang melimbak
di antara pokok-pokok teh
dan embun gendut yang mengandung ketika senja
masuklah sayangku
ke mata ibu
akan kau temukan dian menyala
dulu hampir pudur
sebelum bertemu dengan matamu
melekatlah sayangku
ke daging ibu
berbagi api yang mengalir dalam darah
kau akan mengerti betapa dinginnya tanah berdanau tiga
tempat ibumu pernah mandi
air
darah
hitunglah betapa banyak pisau kenangan
mencabik-cabik masa lalu di benakku
sembari mencari kutu
mekarlah sayangku seperti bunga kol rekah biru
kelak di sinilah kau menyepi
menepi
membangkit larat perasaian
mewangi di rumah lama
membangkit batang terendam
bukit belimbing indah, 2018
Judul sajak ini berasal dari sebuah peribahasa mengangkat batang terendam yang memiliki makna mengadakan (memunculkan) sesuatu yang telah lama hilang (seperti mengangkat penghulu yang telah lama tidak ada). Jadi kurang lebih, makna dari judul sajak ini adalah perempuan yang membangkitkan (memunculkan) sesuatu yang telah lama hilang. Mengenai batang terendam itu tentu misteri yang menarik. Namun, dengan menyelami sajaknya, setidaknya kita akan dapat menemukan satu-dua jalan menuju batang terendam yang dimaksud oleh penyair.
Sajak ini dibuka dengan bait seorang Ibu yang berbicara kepada anaknya, mendekatlah sayangku/ke dada ibu yang kelak akan kau miliki persis/seperti bola-bola air kecil yang melimbak/di antara pokok-pokok teh/dan embun gendut yang mengandung ketika senja/masuklah sayangku/ke mata ibu/akan kau temukan dian menyala/dulu hampir pudur/sebelum bertemu dengan matamu. Tutur sang Ibu dalam bait ini menyatakan kebahagiaan melimpah bersua dengan buah hatinya. Kebahagiaan yang dahulu pernah hampir pudur (padam). Perjumpaan yang diilustrasikan dengan bertemunya mata sang Ibu dan mata sang anak dalam bait ini sangat indah, masuklah sayangku/ke mata ibu/akan kau temukan dian menyala/dulu hampir pudur/sebelum bertemu dengan matamu.
Bersuanya sang Ibu dengan buah hatinya itu, seolah membangkitkan daya hidup sang Ibu. Bait kedua pada sajak ini, menyiratkan kepada pembaca perasaan seorang Ibu yang demikian mendalam terhadap darah dagingnya sendiri, melekatlah sayangku/ke daging ibu/berbagi api yang mengalir dalam darah/kau akan mengerti betapa dinginnya tanah berdanau tiga/tempat ibumu pernah mandi/air/darah/hitunglah betapa banyak pisau kenangan/mencabik-cabik masa lalu di benakku/sembari mencari kutu.
Ibu dalam sajak ini barangkali merupakan gambaran semua Ibu yang ingin melihat anaknya tumbuh besar dan membanggakan. Fitra Yanti dalam bait ketiga sajak ini, begitu cerdik memilih perumpamaan bunga kol sebagai harapan mekar bagi sang buah hati. Bukankah sangat langka penyair menggunakan bunga kol sebagai perumpamaan dalam sebuah puisi. Perumpamaan dengan pilihan kata (imaji) yang sangat agraris ini membuat sajak ini demikian cantik.
Tak lupa, bait ketiga sajak ini menjadi pesan penting bagi sang buah hati, mekarlah sayangku seperti bunga kol rekah biru/kelak di sinilah kau menyepi/menepi/membangkit larat perasaian/mewangi di rumah lama/membangkit batang terendam. Sang Ibu berharap, buah hatinya tersebut menjadi pembangkit (penjaga) segala kenangan bagi keluarga mereka. Saya memahaminya sebagai pewaris keluarga. Pewaris itu adalah annaka yang didedikasikan sajak ini.
Andaikan Puji Kuswati membaca sajak yang ditulis Fitra Yanti ini, mungkin dia tidak akan tega mengorbankan keempat anaknya, terutama dua putrinya yang ia tuntun sendiri untuk meledakkan diri bersama di hari Minggu yang masih pagi.
Apalagi jika Puji Kuswati membaca pula sajak Fitra Yanti berjudul “gadis kecil perintis sunting” ini. Sajak yang saya bayangkan ditulis Fitra Yanti dari pengalaman mimesisnya, memerhatikan anak gadisnya sehari-hari. Betapa perasaan seorang Ibu (yang tak mungkin bisa laki-laki/bapak-bapak sedunia rasakan) tumpah demikian impresif.
gadis kecil perintis sunting
mengapa kau jatuh cinta pada angin dingin
melekati dahan pinus yang turun naik
di tepi danau pada riak dalam tenang
ketika itu kau sudah merasakan debar jantungku
demikian kencang
debar gadis kecil berseragam merah putih
bermain petak umpet di halaman rumah
kaki kecilnya berlompatan di atas jalinan karet
berlarian sepanjang belukar rinju
merintis sunting dari batang-batang pakis
kemudian tersenyum-senyum simpul
menunggumu di pelaminan ilalang
mengapa?
bukit belimbing indah, 2018
Ibu mana yang tak terharu melihat buah hatinya setiap hari tumbuh berkembang, setiap hari mendapatkan pengalaman baru, setiap hari memiliki keterampilan permainan baru, setiap hari mendapatkan pengetahuan baru, setiap hari menjadi dirinya sendiri. Mengapa Puji Kuswati memupus semua harapan itu? Barangkali surga yang diimani dari ideologi radikalnya adalah jawabnya.
Tapi, mengapa?
Mengapa Puji Kuswati tak memberikan kesempatan anak-anaknya merintis sendiri jalan hidup mereka sendiri? Mengapa Puji Kuswati tak memberi kesempatan kepada anak-anaknya merintis sendiri jalan menuju surga?
Baca juga:
– Membaca Sajak Dua Penyair dari Barat
– Perjalanan Rohani Aku Lirik
Seandainya Puji Kuswati memahami mengapa Fitra Yanti menulis sajak “mantra panjang usia” yang mencoba mengelakkan seseorang dari maut, barangkali Puji Kuswati akan berpikir ulang mengajak buah hatinya menjadi bomber di hari Minggu yang masih pagi.
mantra panjang usia
“mengelaklah segala demam ke puncak bukit
menjauhlah segala sakit ke dasar laut.”
begitulah aku menyeru waktu menjelang
paruh malam menggenapi usiamu menjelang
garis-garis merah sempurna memenuhi punggungmu
angin dingin mana pula yang menyapamu
yang melintas di sela kabut asapkah?
mataku terus melek harapanku mengucurkan mantra:
“ragamu dijauhi sakit, cintamu dalam nyala,
diri dalam dirimu yang belum menemui jiwa
bersegera melonjak-lonjak di pangkuan
belokan tajam di hadapanmu lempanglah
bahagiamu, duniamu serta hari-hari lain selain di dunia.”
bukit belimbing indah, 2018
Namun, mungkin Puji Kuswati tak membaca sajak-sajak Fitra Yanti. Ia memilih mendekati maut dengan cara paling ekstrem. Meledakkan diri bersama anak-anaknya sendiri di hari Minggu yang masih pagi. Ah, seandainya Puji Kuswati membaca sajak-sajak karya Fitra Yanti, mungkin anak-anaknya masih hidup.[]