Menakar Lamunan Djenar Maesa Ayu
Mendengar nama Djenar Maesa Ayu dalam dunia kesusastraan Indonesia, khususnya prosa, tentu sudah tidak asing lagi. Tema kehidupan masyarakat urban jadi corak karya-karyanya. Masalah seputar perempuan, kisah cinta tabu sesama jenis, dan kisah muram suatu keluarga sering ia angkat dalam tulisannya.
Dari gaya bercerita, Djenar punya kekhasan tersendiri. Kata dan kalimat sensual dan vulgar marak ditemui dalam karyanya. Ia pun seolah tak lelah melakukan pembaruan gaya bercerita.
Berkat gaya kepenulisannya itu, banyak pujian bahkan cibiran datang untuk karyanya. Djenar tak gentar. Ia tetap menulis dan bercerita.
Jika dilihat dari riwayat publikasi karya di koran maupun penerbitan buku, Djenar merupakan salah satu penulis yang konsisten. Enam kumpulan cerita pendek dan satu novel lahir dari tangannya. Di koran, khususnya Kompas, setiap tahun Djenar nyaris tak pernah absen mengisi kolom cerpen koran nasional itu.
Teranyar, Djenar hadir dengan cerpen berjudul “Saat Ayah Meninggal Dunia” yang dimuat harian Kompas edisi 15 April 2018. Dalam cerpen tersebut Djenar masih mengangkat permasalahan yang berada dalam jangkauannya. Masalah muram suatu keluarga.
Cerita berkisah tentang tokoh Saya yang merupakan seorang anak dari keluarga mapan namun dilanda kehilangan. Setelah ditinggal Ibu saat masih kanak-kanak, Ayahnya meninggal saat ia hendak memasuki usia remaja. Dalam kesedihannya di hari pemakaman sang Ayah, ia merasa sendirian. Para pelayat ia anggap hanya pura-pura. Sampai akhirnya ia bertemu dengan tokoh Ia; seseorang yang mendengarnya.
Jika biasanya cerpen Djenar hadir dengan konflik yang terang, lain halnya dengan cerpen ini. Konflik dan permasalahan terasa begitu bias. Justru cerpen ini lebih mengedepankan konflik batin dan gejala psikologis tokoh atas satu trauma. Kehilangan orang tua menjadi penyebab tingkah tokoh Saya.
Melamun menjadi tingkah laku tokoh Saya yang sangat kuat. Lamunan menjadi gerbang bagi kehadiran peristiwa-peristiwa dalam cerita. Menariknya, kerja lamunan tokoh Saya dalam cerita tidak hanya sebatas itu saja.
Lamunan Dalam Lamunan
Dalam teknik penceritaan dikenal dengan teknik cerita dalam cerita. Konsep tersebut Djenar terapkan dalam cerpen ini. Lamunan jadi cara untuk menghadirkan teknik tersebut.
Lamunan pertama hadir ketika tokoh Saya menceritakan peristiwa saat Ayahnya meninggal. Peristiwa tersebut terjadi di masa silam. Dalam lamunan pertama ini juga tokoh Aku bertemu dengan tokoh Ia.
Saya bertemu dengannya beberapa saat setelah ayah meninggal dunia. Saat pagi hari lebih menyerupai malam hari. Saat gurat senja lebih menyerupai lukisan nestapa. Saat kelopak bunga lebih menyerupai kelopak mata luka. Saat rintik hujan lebih menyerupai jarum kepedihan. Kehidupan mendadak lebih menyerupai kematian. Seperti ada yang merenggut paksa lalu menghempaskan saya ke lubang yang lebih kelam daripada kelir malam. Dan induk dari segala sunyi menyambangi.
Pada lamunan pertama ini banyak ditampilkan pandangan tokoh Saya melihat peristiwa yang terjadi. Tokoh Saya memandang para pelayat tidak benar-benar berduka. Tidak semua dari mereka yang datang karena memang benar-benar ingin memberi dukungan.
Lamunan kedua adalah percakapan antara tokoh Saya dengan tokoh Ia. Di kamar tokoh Saya. Tokoh Saya sempat bingung cara tokoh Ia bisa masuk ke kamar.
Entah berapa lama saya menangis sambil memejamkan mata. Yang saya tahu ketika membuka mata, ia sudah berada di sana. Duduk di atas kursi meja belajar saya. Tak berkata-kata. Tapi bisa saya rasakan ada ketulusan di matanya. Ketulusan dari seseorang yang barus saya kenal beberapa saat setelah ayah meninggal dunia. Saya balik menatapnya. Dan kami terlibat perbincangan panjang tanpa kata-kata. Saya menikmati caranya menyentuh saya tanpa menggunakan tangannya. Raga dan jiwa saya bergetar saat ia mengecup saya tanpa menggunakan bibirnya. Dan tanpa sadar saya menjawab semua pertanyaan yang tak ia utarakan.
Lamunan pun berakhir ketika secara tiba-tiba tokoh Aku kembali berada di ruang duka. Tokoh Ia pun raib.
Meski jadi teknik bercerita dalam cerpen “Saat Ayah Meninggal Dunia”, dapat kita lihat perbedaan dua ruang lamunan. Setidaknya terjadi perubahan emosi dari tokoh Saya khususnya ketika bertemu dengan tokoh Ia. Berdasar hal itu, ada dua cara kerja lamunan yang hadir dalam cerita.
Lamunan dan Pemenuhan Hasrat
Cerpen “Saat Ayah Meninggal Dunia” menjadikan lamunan sebagai media untuk pemenuhan hasrat. Dalam teori psikoanalisis, terdapat salah satu media pemenuhan hasrat yaitu mimpi. Keduanya sama-sama memenuhi hasrat, perbedaannya terletak pada cara kerja.
Baca juga:
– Cerita Cinta dari Sungai Paring
– Arus Kesadaran di Tangan Gus Mus
Mimpi dalam teori psikoanalisis bekerja atas ketidaksadaran. Dibandingkan mimpi anak-anak, mimpi orang dewasa bekerja sangat rumit. Hal itu disebabkan hasrat ketika kita bermimpi, alam bawah sadar memicu mimpi yang terjadi. Hasrat yang terpendam di alam bawah sadar bisa muncul dalam mimpi. Dan seseorang tak bisa memesan akan bermimpi apa selama dia tidur. Begitulah sederhananya mimpi menjadi media pemenuhan hasrat.
Lamunan—jika melihat dalam cerpen Djenar ini—bekerja atas kesadaran dan ketidaksadaran. Perbedaan lamunan yang dalam keadaan sadar dan tidak adalah seseorang bisa mengontrol lamunannya. Ketika melamun dalam keadaan sadar, seseorang bisa mengontrol lamunannya.
Lamunan tokoh Saya secara sadar terdapat pada lamunan pertama. Lamunan yang menceritakan kondisi ruang duka Ayahnya. Di sini, terlihat kesadaran tokoh Saya dalam keadaan melamun karena melakukan perbandingan antara peristiwa dalam lamunan dan di luar lamunan.
Saat itu tamu-tamu, baik saudara maupun kerabat dekat ayah sudah mulai berdatangan. Teman-teman saya pun datang dan itu membuat saya heran. Dari mana mereka mendapat kabar? Saya sama sekali belum sempat memberi kabar. Dan peristiwa itu terjadi saat saya masih berumur sebelas tahun, sekitar tahun delapan puluhan. Tidak seperti zaman sekarang di mana kita bisa tahu segala hal mulai dari pensil alis merek apa yang seseorang kenakan hari ini, makanan apa yang mereka konsumsi malam tadi, dan segala hal remeh-temeh lewat sosial media, zaman itu telepon genggam pun kami tak punya. Satu-satunya alat komunikasi di rumah kami hanyalah telepon warna jingga yang tak henti-hentinya berdering tanpa bisa saya mute atau reject, kecuali dengan cara mengangkat gagang telepon lalu menutup kembali atau dengan cara mencabut kabelnya. Tapi otak saya tengah enggan berpikir.
Dalam lamunan sadar ini, tokoh Saya memberikan pandangan negatif pada hampir setiap pelayat. Melalui pandangan tokoh Saya terhadap para pelayat ini, Djenar seolah ingin menghadirkan kemunafikan manusia. Dalam keadaan duka pun, manusia bisa jadi mencari kesenangan pribadinya.
Lamunan kedua terjadi secara tidak sadar. Lamunan tersebut menceritakan peristiwa pertemuan antara tokoh Saya dengan tokoh Ia. Tokoh Ia merupakan seseorang yang dibutuhkan tokoh Saya dalam keadaan berduka. Tampak kenyamanan yang didapat tokoh Saya dari tokoh Ia meski tidak melakukan sentuhan fisik. Tokoh Saya pun tak segan menceritakan Mama yang telah lama menghilang kepada tokoh Ia.
“Setiap kami berangkat tidur, Mama selalu menyelimuti kami. Karena itu saya tahu, Mama tidak hanya bangun paling pagi, melainkan juga tidur paling malam. Tapi Mama selalu pergi dalam mimpi kami. Saya tidak tahu dengan cara apa Mama pergi. Tidak ada adegan melambaikan tangan. Tidak ada adegan ciuman perpisahan. Tidak ada adegan berjalan keluar pintu. Tidak ada adegan apa pun kecuali Mama tidak ada.”
Lamunan secara tak sadar tersebut terlihat karena tokoh Aku tiba-tiba kembali di ruang duka. Ia tak ke mana-mana. Ia tak bertemu dengan tokoh Ia atau siapa pun. Peristiwa pertemuan dengan tokoh Ia hanya lamunan.
Lamunan tersebut juga memenuhi hasrat dari tokoh Saya. Tokoh Saya yang merasakan kesedihan atas kehilangan begitu menginginkan perhatian. Hasrat itulah yang dipenuhi dalam lamunan dengan pertemuan dengan tokoh Ia. Dalam lamunan ini, Djenar seolah ingin menghadirkan ketidakberdayaan tokoh Aku. Meski berada dalam keluarga mapan, sebagai seorang anak ia masih haus perhatian. Sayangnya, pusat datangnya perhatian dari orang tua yang sudah tiada. Dan kemapanan tidak bisa menggantikan, malah meresahkan tokoh Aku dengan hadirnya pelayat.
Selain lamunan, Djenar dalam cerpen ini tampak menonjolkan teknik penceritaan. Salah satunya bisa terlihat melalui permainan diksi dalam penggunaan dialog “Mama mana?”
Teknik lain yang terlihat adalah menghadirkan permainan “Ular Naga Panjangnya Bukan Kepalang”. Untuk permainan tersebut, Djenar menyertakan catatan kaki dalam cerpennya yang merujuk pada lagu gubahan Ibu Sud. Jika dilihat lebih jauh, terdapat satu lirik dari lagu Ibu Sud tersebut yang sesuai dengan kemunafikan manusia.
Jadi, selamat membaca cerpen “Saat Ayah Meninggal Dunia”.[]