Piknik dan Hal-hal yang Belum Selesai
Menghadapi sebuah teks, saya selalu bersikap waspada. Teks menjadi belantara, yang apabila saya salah membaca peta akan membuat perjalanan sengsara. Selalu ada perasaan berbeda-beda ketika saya memasuki sebuah teks. Entah itu cara pandang, ekspektasi, atau kecurigaan-kecurigaan yang tentu saja semau-maunya. Campuran antara wacana dan intuisi dengan akhir pembacaan yang beragam.
Terlebih teks tersebut sebuah puisi. Terlebih lagi puisi tersebut dimuat HU Pikiran Rakyat, edisi 15 April 2018. Terdapat tiga sajak dari dua orang penulis. Sajak pertama berjudul “Perasaan Dalam Pasar” karya Rizki Andika. Berikut petikan bait pertamanya.
aku bersembunyi di balik
kata-kata amis basah
yang dilemparkan
puluhan pasang mata
dalam tengah riak pasar
Sebelum membaca sajak tersebut, dengan membaca judulnya, saya memiliki kecurigaan: sajak ini akan berbicara suasana sebuah pasar. Tentu ide yang menarik. Pasar bagi saya adalah ruang komunal tempat orang-orang berinteraksi. Interaksi antara penjual dan pembeli. Komunikasi sosial terbangun dengan alamiah. Ekspektasi saya terhadap puisi yang membicarakan pasar menarik minat untuk memasukinya lebih dalam.
Dua bait pertama sajak “Perasaan Dalam Pasar”, sedikit banyak membenarkan kecurigaan itu. Bukaan sajak ini, bila memang berbicara sebuah pasar, tergolong baik untuk puisi yang dimuat di HU Pikiran Rakyat. Diksi amis basah menjadi kata kunci yang relevan untuk mewakili suasana sebuah pasar. Pasar (tradisional) memang identik dengan becek dan bau amis. Bait pertama sajak ini membawa saya pada suasana yang bisa saya (pembaca) bayangkan.
Dilanjutkan dengan 2 bait berikutnya.
kepada gelap ruang ini
sudut toko emperan
dan meja tumpah
di banyak tempat
jual beli jadi
nyaris tak ada
waktu hadir dan
melangkah menuju
lorong ujung tempat
tubuh engkau berdiam
Pada akhir bait kedua memasuki bait ketiga, saya menemukan sesuatu yang sungguh sulit dibayangkan. Jika di bait pertama tergambar bagaimana riuh pasar dimana aku lirik seperti asing dan bersembunyi karena keriuhan itu. Maka pada akhir bait kedua, tiba-tiba hadir larik jual beli jadi/ nyaris tak ada. Larik yang menegasikan keriuhan pasar. Larik ini jelas mengganggu penggambaran yang telah dibangun cukup baik pada larik-larik sebelum dan setelahnya, sebab apa jadinya pasar tanpa transaksi jual beli?
menyala-nyala serupa
kuning lilin kala listrik
padam dan cuaca juga
aspal menjadi licin
tercampur keringat
hujan menjiplak
cokelat kaki kecil
di atas sandal murah
hampir aku jatuh
ke tumpukan sampah
sebab malu tak pernah
habis terjual dari tubuh
salahku tak mampu
menawarkan rasa pada
subuh atau sore saat engkau
melintas penuh harum tujuh bunga
Setelah tersandung oleh sesuatu yang tidak bisa saya bayangkan pada akhir bait kedua, perjalanan saya dalam menelusuri sajak “Perasaan Dalam Pasar” menjadi tersendat. Ekspektasi yang dirancang sedari awal tidak menemukan akhir yang membahagiakan. Apalagi pada tiga bait terakhir, terlalu banyak bentukan kata yang justru melahirkan imaji yang sungsang, cair, dan cacat logika. Diksi-diksi, hujan menjiplak atau menawarkan rasa, mengakhiri perjalanan saya, jauh lebih cepat dari seharusnya.
Hal-hal yang Belum Selesai
Puisi kedua ditulis oleh seorang siswi SMA bernama Siti Melati Syifa. Berikut kutipan utuh sajaknya.
Kedip Biru
Bulan ini aku bertipu
Di bundar topi tak bertepi
Baru saja kemarin aku meminangnya
Sudah kubunuh di laut kapuk
Kukira jatuh tepat di Merak
Sedap rayap tidak bergerak
Biru ini semesta
Semesti diri tolak berpesta
Tersenyum pagi seharusnya
Mencicip lezat tak tipis
Memang
Dayung ini rasa tumis
Harus dikokoh pelabuh habis
Sekilas saat membaca sajak ini, saya seperti melihat pola puisi lama, atau setidak-tidaknya sajak ini memang dipengaruhi oleh puisi lama seperti pantun atau gurindam. Permainan musikalitas pada rima akhir cukup kentara. Sungguh sebuah tawaran yang menarik. Namun tawaran hanya tawaran, kenyataannya, tawaran tersebut hanya sebatas permukaan.
Pada larik pertama sajak “Kedip Biru”, saya sudah menemukan kata “bertipu”. Bentukan kata yang tak lazim. Dalam hal ini, penulis bahkan tidak selesai mempelajari cara membentuk kata berimbuhan secara benar. Dan bila “bertipu” menjadi licentia poetica sang penulis, maka sungguh, pilihan licentia poetica yang tidak puitik.
Membaca sajak “Kedip Biru” jika diibaratkan sebuah piknik, meminjam istilah Todorov, bukanlah piknik yang menyenangkan. Terlalu banyak ganjalan perjalanan, entah itu soal pilihan kata, bentukan kata, imaji, atau logika berbahasa. Sajak ini masih menyisakan begitu banyak hal-hal yang belum selesai.
Contoh paling sederhana soal imaji yang berantakan misalnya, terdapat pada bait ketiga larik keempat, Dayung ini rasa tumis.
Apapun penjelasan latar belakang terciptanya larik ini, membayangkan dayung rasa tumis itu seperti nganu. Campuran geli, heran, gelap, sedih, dan putus asa. Mencoba memahami sekeras mungkin larik ini, saya hanya sampai pada dugaan, “oh, mungkin penulisnya omnivora dengan fantasi luar biasa, kenapa saya harus ikut keblinger memikirkannya.”
Sajak “Kedip Biru” membawa saya pada petualangan tanpa harus pergi ke mana pun, tapi juga tanpa harus melakukan dan membayangkan apapun.
Puisi kedua Siti Melati Syifa berjudul “Titik”. Sajak nirbait yang diakhiri kata titik tanpa (tanda) titik.
Titik
Ketika duduk di majelis aksara
Mengantar alam sadar bercengkrama
Dengan derana mengakrabkan
Hati pada semesta
Tersemat pisang di roman
Pipipun berlari ke atas
Memerah akan datangnya waktu
Sonor cinta dari arang hati
Bercumbu dipusaran luka terlangka
Meliput comberan yang terlipat
Hendak menjelma di suling tua
Sosok yang memecat lahir
Belengkok melengking merdu
Tapi masa tenggang
Tidak menyodorkan harapan jembatan
Pondasi yang telah digarami
Terjepit abadi lalu memecat asal
Tanpa berkedip
Tidak ada garis tanpa titik
Pada sajak “Titik”, saya juga mengalami piknik yang tidak menyenangkan. Bedanya, pada sajak ini, saya sedikit mendapatkan oleh-oleh pengetahuan kosakata yang jarang digunakan seperti, derana (tabah), sonor (merdu), dan belengkok (tidak lurus). Memang, kehadiran diksi tersebut tidak berdampak signifikan pada makna keseluruhan, namun penggunaan diksi tersebut sedikit menghibur: bahwa di tengah gencarnya penggunaan bahasa asing, penulis masih berkenan membuka KBBI, memperkenalkan kosakata bahasa Indonesia.
Pada sajak ini juga, saya memperoleh penguatan asumsi bahwa Siti Melati Syifa memang omnivora dengan fantasi melampaui zaman. Larik, Tersemat pisang di roman/ Pipipun berlari ke atas menegaskan hal itu. Jika pada sajak pertama ada dayung rasa tumis, maka pada sajak kedua ada pisang tersemat di wajah.
Baca juga:
– Laporan Pandangan Mata
– Moralitas dan Melankolia
Piknik menelusuri teks puisi memang tidak selalu berakhir membahagiakan. Kadang-kadang saya mengalami piknik seperti saat saya membaca sajak-sajak di atas. Piknik dengan perjalanan tersendat-sendat. Hal ini bukan saja karena ada hal-hal yang belum selesai dibenahi penyair pada sajaknya, atau bukan pula karena teks puisi memiliki licentia poetica hingga sulit dimengerti, tapi lebih daripada itu, kadang-kadang pengetahuan saya (pembaca) memang terbatas wacana penafsirannya. Artinya, letak persoalan tidak melulu pada teks puisinya, namun bisa juga pada sempitnya khazanah pengetahuan pembaca.
Membaca teks puisi bukan hanya sekadar melancong, mengunjungi berbagai tempat, mencari impresi-impresi suasana tempat yang dikunjungi itu. Membaca teks puisi juga sebuah cara untuk mengukur, sejauh mana empati pembaca muncul saat menemui bahasa yang digunakan pada puisi tersebut.
Pada saat mencoba menikmati sajak “Perasaan Dalam Pasar”, “Kedip Biru”, dan “Titik”, saya mungkin gagal mendapatkan piknik yang diharapkan. Namun dengan berempati saat membaca kembali sajak-sajak tersebut, saya tahu selalu ada harapan, bahwa kedua penulis tersebut, kelak, akan melahirkan puisi yang jauh lebih baik.[]