Puisi Tak Bisa Menggorok Leher Anak-Anak
Beberapa waktu lalu, Masroulina Sihombing, teman saya yang sedang melanjutkan kuliah magisternya di Southern Federal University, Rostov, Rusia, bercerita soal kawan barunya asal Suriah (yang tak boleh disebutkan namanya demi keamanan). Menurut Olin—demikian panggilan akrab mojang Sukabumi tersebut—seperti halnya kawan anyarnya, nyaris semua orang di Suriah berkeinginan meninggalkan tanah airnya.
“Pengalaman hidup dia di sana, setiap detik ada orang mati ditembak sekitar rumahnya. Bagaimana teman aku bisa sampai ke Rusia, panjang ceritanya. Yang jelas, kata dia, bagi orang-orang Suriah seumur hidup bisa-bisa habis cuma buat cari cara agar keluar dari sana. Meski, walau sudah keluar, belum tentu bisa bernapas,” tutur Olin.
Terkutuklah orang yang membaca pesan semacam itu namun hatinya tidak teriris. Perasaan yang letih lalu membawa ingatan saya jatuh pada Adonis dan Nizar Qabbani, dua penyair besar Arab yang menghabiskan sisa umurnya di pengasingan. Adonis—nama aslinya Ali Ahmad Said Esber—menetap di Perancis, sedang Nizar tinggal di Inggris sampai akhir hayatnya.
Kau tanya namaku? Namaku Adonis/Aku berasal dari bumi tanpa batas/yang dipikul di atas punggung manusia/Aku hilang di sini/hilang di sana bersama puisi-puisiku/Aku takut dan pucat pasi/Aku tak tahu bagaimana caranya/menetap atau kembali. Demikian tulis Adonis dalam puisi yang ia beri judul Adonis*.
“Imigran yang baru keluar dari Syiria sulit percaya sama orang baru. Menurutku, mereka sulit berkomunikasi karena terlalu sering bersedih melihat keluarga, teman, dan tetangga mereka meninggal di depan kepala sendiri. Sedang di saat bersamaan mereka tidak bisa melakukan apa-apa. Mungkin mental mereka terguncang sehingga proses sosialisasinya terganggu,” tambah Olin.
Saya tidak tahu bagaimana situasi kejiwaan Adonis dan Nizar saat kali pertama terasing dari tanah airnya. Hanya, dari puisi-puisi keduanya, terlihat bahwa sebagai eksil, baik Adonis maupun Nizar memang kerap menuliskan keterasingannya. Merindukan tanah air amatlah wajar dalam kaitannya dengan ingatan seseorang akan suatu tempat dari mana dia berasal. Inilah aku/terbebas dari segala misteri kematian/pergi dari negeri ini/untuk kelak dapat melihatmu lagi/sebagai benar-benar negeriku, kata Adonis.
Sedang Nizar menulis: Negeri duka-citaku/Secepat kilat/Kau mengubah aku dari seorang penyair yang menulis puisi-puisi cinta/Menjadi seorang penyair yang menulis dengan sebilah pisau. Menarik, dalam situasi jauh dari kampung halaman, alih-alih rindu (yang bukan berarti tidak ada sama sekali) Nizar menumpahkan kegeraman. Ya, cinta berlandaskan kegeraman itu pula yang kemudian membuat Adonis dan Nizar terlempar dari tanah airnya.
Bagi siapa pun yang menghendaki tegaknya kemanusiaan, melihat situasi Timur Tengah memang hanya menimbulkan kegeraman. Saat Nizar menulis larik puisi di atas, kondisi Suriah belum separah saat ini. ISIS belum ada, tapi kebatilan—apa pun bentuknya—telah beranak pinak di wilayah Timur Tengah. Wilayah yang disebut Nizar sebagai “negeri duka-citaku.”
“Dia berpesan sama aku untuk tidak terlalu banyak belajar agama. Di mata mereka, agama adalah sumber masalah. Islam, Kristen, Yahudi, sama saja. Jangan terlalu dalam percaya pada ketiganya. Cukup saja percaya pada Tuhan dan berbuat baik. Menurutnya, dulu gara-gara Yahudi-lah Perang Dunia I dan II tercipta. Sekarang perang ada lantaran orang-orang Islam radikal,” lanjut Olin, dalam percakapan kami via Whatsapp.
Baca juga:
– Saat Ajal Tak Berdaya di Hadapan Manusia
– Ibu yang Sempurna itu Bernama Yu Patmi
Saya hanya tersenyum getir mendapati pernyataan begitu. Sebagai penikmat The Beatles, pernyataan yang disampaikan Olin terdengar amat familiar. Jauh sebelumnya, dalam lagunya yang asyik tapi dianggap kontroversial, John Lennon menulis hal senada. Imagine there’s no countries/It isn’t hard to do/Nothing to kill or die for/ And no religion too/Imagine all the people/Living life in peace…
Bedanya, apa yang disampaikan kawan Olin asal Suriah itu terasa betul bertolak dari pengalaman pribadinya langsung. Bukan sekadar amatan atas berbagai peristiwa yang menghubungkan agama dan manusia—meski hasilnya sama-sama menimbulkan frustasi.
Kita mati jika tidak kita ciptakan Tuhan/Kita mati jika tidak kita bunuh Tuhan./O, kerajaan batu cadas yang kebingungan./Kita adalah generasi percakapan panjang/antara puing-puing dan Tuhan. Demikian bunyi salah satu puisi Adonis yang fenomenal.
Pada September 2016 lalu, dalam sebuah wawancara di di arena Gothenburg Book Fair di Swedia, Adonis menyebut agama sebagai sumber masalah di Timur Tengah. “Fanatisme agama tengah menghancurkan jantung dunia Arab,” katanya**. Menariknya, Adonis percaya bahwa puisi bisa menjadi juru selamat bagi tanah airnya.
“Puisi tak bisa menggorok leher anak-anak, tak bisa membunuh orang atau menghancurkan museum,” kata Adonis.
Saya lalu teringat pada peristiwa di Markas Komando (Mako) Brimob, Kelapa Dua, Depok beberapa hari lalu. Menghadapi narapidana terorisme (napiter), dalam kurun 38 jam, lima orang polisi meninggal. Pada tubuh mereka ditemukan bekas tembakan dan sayatan senjata tajam. “Dari lima yang gugur, mayoritas luka akibat senjata tajam di leher,” kata Karo Pengmas Divisi Humas Polri Brigjen Mohamad Iqbal kala memberi keterangan pers di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Rabu malam (9/5).
Se-perih saya mendengar kabar seorang Suriah pergi ke Rusia meninggalkan tanah airnya, perih pula hati saya mendengar kabar lima anggota polisi meninggal dalam keadaan mengenaskan begitu (dan seorang napiter juga meninggal dunia). “Puisi tak bisa menggorok leher anak-anak, tak bisa membunuh orang atau menghancurkan museum”. Ungkapan Adonis terdengar terus bergema. Saya merasa tugas penyair lebih dari sekadar menulis saja. Lebih berat dari sekedar menulis puisi yang baik-baik saja.
“Penyair harus punya sesuatu yang bergolak dalam dirinya,” demikian ungkapan Adonis lainnya.
Sebentuk perasaan ganjil timbul dari dalam diri. Saya merasa bersalah jika peristiwa di Mako Brimob kemarin, atau berbagai peristiwa yang mengusik kemanusiaan, masih membuat saya tak beranjak dari keasyikan sekadar bermain bahasa dan menuliskan sunyi atau burung-burung.[]
*“Puisi-puisi Adonis; Tanah Tanpa Peraduan”. Basabasi.co.
**“Puisi Bisa Menyelamatkan Dunia Arab”. Suara.com.