Kemiskinan dan Keterasingan
: Kepada Mbah Gio
Di sebuah desa di Lampung Selatan ada seorang kakek yang hidup sebatang kara. Video ini sempat muncul di lini masa Youtube yang dipublikasi sekitar Juni 2015 lalu. Dalam keterangan di video itu seorang kakek yang hidup sebatang kara, ditinggalkan keluarganya, menjalani hidup di sebuah gubuk di tengah kebun. Kakek gio hidup dalam kesepian. Sosok dan kehidupan Mbah Gio, juga ribuan manusia yang bernasib sama, menuai simpati banyak orang. Hal ini pun menjadi pengalaman pilu yang membuat kita merenung; bisakah kita hidup dalam kemiskinan dan keterasingan di masa tua?
Saya juga mendapati kakek gio dalam sebuah cerita fiksi. Barangkali tak ada hubung kait apapun kisah kakek gio pada video Youtube dengan cerpen ini. Entah kebetulan atau disengaja, saya tidak tahu sama sekali sebab tidak ada yang bisa menjamin adanya keterkaitan itu selain penulis cerpen. Kesamaan nama bisa saja terjadi, baik disengaja maupun tidak. Walaupun hal ini masih sebatas dugaan bahwa ada pengarang mencoba menyampaikan sebuah pengalaman sebagai korelasi antara realitas dan karya sastra.
Pengalaman bagi seorang pengarang sejatinya adalah modal dasar sebuah karya sastra. Walaupun sebuah karya sastra tidak mutlak berasal dari pengalaman. Pengarang bertugas menyampaikan dan memberikan pengembangan pengalaman kepada pembaca. Tentu dibutuhkan keterampilan agar pengalaman itu bisa sampai kepada pembaca sebagai sebuah cerita yang utuh.
Pengalaman tidak harus unik. Namun keunikan itu bisa membuat cerita lebih menarik. Misalnya pengalaman terdesak oleh kebutuhan hidup juga kemiskinan sehingga harus menjual anggota tubuh untuk keperluan medis atau penelitian. Seperti yang kita temukan dalam cerpen berjudul “Pengorbanan Kakek Gio” karya Teny May Rodiah (HU Pikiran Rakyat, 01 April 2018).
Cerpen ini berkisah tentang seorang penarik becak yang sudah tua, yang menjual gigi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari di tengah tekanan moderenisasi sarana transportasi. Gagasan utama cerpen adalah menyinggung perubahan sosial ekonomi masyarakat desa akibat laju moderenisasi. Pada satu sisi, kita bisa merasakan manfaat penggunaan kendaraan bermotor sebagai alat transportasi yang efektif. Sisi lain, hal ini mengubur lahan penghasilan yang masih menggunakan tenaga manusia sebagai modal utama.
Secara kebetulan kakek gio bertemu dengan mahasiswa fakultas kedokteran gigi yang kemudian menawari kakek gio untuk menjual beberapa giginya. Kakek gio menjual gigi depan dan mendapat harga yang lumayan untuk menghidupi keluarganya. Karena kebutuhan hidup lebih dari harga gigi yang tanggal, kakek gio akhirnya menjual seluruh giginya. Ia menemui mahasiswa itu dan menanggalkan giginya hingga tak satupun tersisa.
Cerpen ini menawarkan kisah ironis yang menempatkan tokoh cerpen pada pilihan; kehilangan gigi atau kehilangan nyawa istri dan anaknya. Tapi di sisi lain, ia butuh gigi palsu sebagai pelengkap jasmani, dan pada akhirnya ia akan kehilangan anak dan istri; kembali kepada kemiskinan dan keterasingan.
Sayangnya cerpen Teny ini belum cukup matang apabila dikatakan sebuah cerpen yang utuh. Masih perlu pengendapan bahasa, sebelum menjadi cerita yang mengalir deras. Teny memulai cerpennya dengan bahasa yang ringan.
PAGI itu, matahari baru saja menampakkan sinarnya. Di sebuah rumah kecil, Kakek Gio sudah bersiap untuk berangkat mengayuh becaknya. Tak lupa dia memakai topi yang sudah agak kumal (Pengorbanan Kakek Gio, 2018)
Teny menggunakan penanda waktu dengan jelas. tanpa usaha mendeskripsikan ‘waktu’ tersebut. Kalimat Tak lupa dia memakai topi yang sudah agak kumal seharusnya bisa dikembangkan menjadi narasi deskriptif, agar terlepas dari bahasa informatif. Kalimat tersebut tidak memberikan kesempatan kepada pembaca untuk mengembangkan imajinasi dan citra visualnya. Pengarang lalai menggunakan kaidah show not to tell, padahal teknik mendasar itu nyatanya diperlukan oleh teks naratif sebagai pembeda dengan teks lainnya.
Bahasa yang informatif itu banyak ditemukan dalam cerpen ini. Misalnya dalam segi penokohan. Penggarang jelas menunjukkan siapa dan dari mana tokoh yang muncul di tengah cerita.
Suatu hari, Kakek Gio mengayuh becaknya melewati sebuah kampus. Seorang mahasiswa memanggil dan menghampirinya. Rupanya dia seorang mahasiswa dari fakultas kedokteran gigi.
Sambil naik becak, mereka berbincang-bincang. Dan mahasiswa itu pun menanyakan apakah Kakek Gio mau menjual giginya. Pada awalnya, mungkin Kakek Gio menganggapnya bercanda.Tapi rupanya mahasiswa itu serius bahkan memberikan tawaran harga yang lumayan untuk ukuran tukang becak seperti Kakek Gio.
Akhirnya, Kakek Gio pun tergiur dan bersedia menjual giginya. Ditemani mahasiswa itu, Kakek Gio menemui temannya yang sudah jadi dokter gigi. Dan gigi depannya pun benar-benar sudah terjual.
Penggambaran tokoh dan perwatakan yang disampaikan dengan jelas dan cair. Soal kegetiran hidup kakek gio atas keadaaan yang menimpanya.
Betapa getir hidupnya, sampai harus mengorbankan semua giginya. Lebih getir lagi tak berselang lama, istri dan anaknya pun tiada. Tinggallah Kakek Gio seorang diri. Hanya becak itu masih setia menemaninya.
…
Kakek Gio pun tak pernah marah atau menyesali keadaan ini. Mungkin batinnya penuh luka dan derita, namun dia tetap tegar menghadapinya.
Cerpen yang baik pada dasarnya dibangun oleh keutuhan bentuk, kekuatan struktur, ketepatan bahasa, dan pencapaian estetika. Tentu digarap dengan teknik bercerita yang baik. Sehingga pekerjaan menulis cerpen bukan hanya “memberi tahu” sebuah cerita. Dan penulis yang baik selalu mengerahkan seluruh kemampuannya, termasuk kemampuan indrawi untuk mencapai misi menyampaikan pengalaman sebagai sebuah cerita.
Baca juga:
– Realitas dalam Etalase
– Menggali Tema Cinta dalam Cerpen
Struktur bangun cerita yang rapuh bisa kita lihat dari banyaknya tokoh yang digunakan dalam cerpen ini; Kakek Gio sebagai tokoh utama, Istri Kakek Gio, Pak Tito, mahasiswa kedokteran gigi, anak SMP, pemilik warung, dan orang-orang di warung. Namun sungguh disayangkan pemunculan tokoh-tokoh itu. Misalnya anak SMP, Pak Tito, dan Pemilik Warung yang masih bisa ditiadakan, karena kemunculannya pun tidak membuat cerita menjadi hidup. Kalau pun ada bagian-bagian yang menjadi penguat watak tokoh Kakek Gio lewat dialog-dialog, tidak cukup memberikan warna atau kesan pada tokoh tersebut.
Terlepas dari beberapa kelemahan mendasar di atas. Selain bangunan cerita, pada akhirnya logika peristiwa yang dihadirkan mengganggu pembacaan saya . Saya tidak menemukan akhir cerita yang mengejutkan atau meninggalkan kesan mendalam, tapi justru memunculkan pertanyaan: kenapa si Kakek Gio tidak menjual ginjalnya saja sekalian? Padahal dengan latar kondisi masyarakat yang sudah mengenal transportasi online sehingga pasti meninggalkan becak, si kakek mestinya menjual ginjal yang saya yakini lebih berharga ketimbang giginya?
Saya masih penasaran untuk mengetahui jawaban pengarang tentang keterkaitan Mbah Gio dalam video Youtube—yang bisa dicari dengan kata kunci “mbah sebatang kara” –dengan Kakek Gio dalam cerpen karya Teny May Rodiah.[]