Fb. In. Tw.

Upaya Bre Redana Mengolah Legenda

Legenda, menurut Bascom adalah prosa rakyat semisal mite, yakni dianggap benar-benar terjadi, tetapi tidak dianggap suci. Legenda berlatar kehidupan alam dunia dengan manusia sebagai tokohnya yang terkadang punya sifat-sifat luar biasa dan dibantu makhluk-makhluk ajaib1. Sehingga meskipun imajinatif, dasar-dasar perilaku manusia selalu hadir dominan di dalam cerita. Dasar perilaku ini direkam sebagai cerita kolektif oleh masyarakat untuk menunjukkan cara pandang mereka terhadap kehidupan.

Legenda sebagai sebuah karya sastra menurut Luxemburg dapat dipandang sebagai suatu gejala sosial. Legenda selalu berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat masyarakat pada kurun waktu tertentu2. Sehingga penting bagi kita mengetahui masyarakat pemilik legenda tersebut. Makna cerita akan semakin terang jika kita merujuk pada norma-norma masyarakat pemiliknya.

Ada hubungan antara kondisi geografis dan sosiologis di mana cerita itu berasal. Legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari misalnya. Cerita tersebut diyakini oleh masyarakat Desa Widodaren, Kecamatan Gerih, Kabupaten Ngawi terjadi di kampungnya. Di sana terdapat petilasan Jaka Tarub. Tetapi masyarakat di Desa Keseneng, Kecamatan Sumowono, Kabupaten Semarang pun meyakini Curug 7 Bidadari di desanya sebagai muasal cerita tersebut. Kedua masyarakat meyakini cerita tersebut terjadi di daerahnya dengan membuktikan situs kejadian cerita.

Kepemilikan bersama dan legalnya rekayasa cerita sesuai batas pengetahuan masyarakat, memungkinkan upaya kreasi ulang terhadap cerita rakyat. Seperti yang dilakukan Bre Redana dalam cerita pendeknya “Peri Ayu Lembah Wilis”3. Ia mencoba mengeksplorasi cerita rakyat Jaka Tarub dan 7 Bidadari dengan meminjam pengetahuan umum pembaca pada cerita rakyat tersebut, untuk dikemas lagi dalam kenyataan baru yang terjadi hari ini. Bre terlihat sedang memperkuat sifat dasar manusia yang universal dan melintasi zaman. Namun cerita ini tentu bukan cerita rakyat, meski terdapat informasi geografis Lembah Wilis Jawa Timur di dalamnya. Cerita ini kreasi individu Bre terhadap suatu legenda.

Perbandingan Cerita
Bre Redana memulai cerita pendeknya dengan suatu konflik. Seorang lelaki bernama Lawrence Pasa didatangi oleh Peri Ayu Lembah Wilis untuk menepati janjinya. Lawrence Pasa telah berjanji akan kembali ke pelukan Peri Ayu saat 35 tahun kebebasannya di bumi terlewati. Ia tak menyangka Peri Ayu akan menagih janjinya. Padahal janji itu hanya akal-akalannya saja supaya terbebas dari Peri Ayu. Bagi Lawrence, 35 tahun adalah waktu yang cukup untuk melupakan sebuah janji. Sementara bagi Peri Ayu yang notabene adalah makhluk abadi, 35 tahun tak ada artinya sama sekali. Baginya, waktu tak memiliki awal dan akhir, sehingga setahun atau 35 tahun sama saja, sesaat atau sekedipan mata. Akhirnya, Lawrence Pasa pasrah termakan janjinya sendiri.

Semua bermula ketika peri-peri turun dari kayangan untuk mandi di Lembah Wilis. Di bawah air terjun yang cantik, mengalir sebuah sungai dan telaga untuk peri-peri itu bermain air. Lawrence Pasa yang saat itu masih bernama Lor Ing Pasar, muncul mengintip mereka dan mencuri pakaian seorang peri paling cantik. Peri itu bernama Peri Ayu.

Cerita ini niscaya sudah didengar banyak orang. Ketika para peri di telaga, mengendap-endap perjaka tukang intip perempuan mandi. Dia adalah Lawrence Pasa, yang waktu itu bernama Lor Ing Pasar.
Ia perhatikan peri paling cantik dan ia sembunyikan pakaiannya. Si peri cantik tak bisa lagi pulang ke kahyangan. Dia ditinggal teman-teman sejenisnya.
Dengan senyum-senyum, Lor Ing Pasar muncul. Ia menawarkan pakaian ganti dengan syarat sang peri bersedia jadi istrinya. Apa boleh buat. Sang peri tidak punya banyak pilihan. Apalagi, pemuda ini meski kelihatan kurang ajar, tampaknya lumayan baik hati. Agak bego, sang peri membatin.

Cerita tersebut memang telah sering didengar banyak orang. Cerita yang mirip dengan cerita legenda Jaka Tarub dan 7 Bidadari. Dimana seorang lelaki bersiasat menjerat seorang peri untuk dijadikan istri. Di sinilah titik awal masalah yang kemudian kelak akan memicu masalah utama cerita. Lantas, bagaimana kecurangan Jaka Tarub atau Lor Ing Pasar terungkap? Cara pengungkapan kecurangan tokoh utama di antara kedua cerita ini menunjukkan suatu perbedaan.

Di dalam cerita Jaka Tarub, kecurangan Jaka Tarub terungkap saat Nawangwulan menemukan selendangnya di gudang beras. Rahasia pencurian selendang oleh Jaka Tarub pun terbongkar dan dengan penuh kecewa, Nawangmulan kembali ke kayangan meninggalkannya. Di dalam cerita tersebut, nampak bagaimana Jaka Tarub yang sejak awal menginginkan terus bersama Nawangmulan, akhirnya ditinggalkan sebab perilaku liciknya sendiri. Jaka Tarub pun menderita hidup di dunia, kehilangan kekasihnya.

Akhir nasib Lor Ing Pasar atau Lawrence Pasa sama menderitanya seperti Jaka Tarub. Namun penderitaan itu terjadi sebaliknya, Lawrence Pasa justru mesti hidup selamanya bersama Peri Ayu. Kecurangannya dulu saat menyembunyikan pakaian Peri Ayu dan mengajaknya menjadi istri telah berakibat fatal. Setelah menyetubuhi Peri Ayu, Lawrence Pasa tak bisa menapakkan kakinya ke tanah. Ia melayang dan sempat sama sekali tak menghiraukannya karena begitu bahagia. Impiannya mendapat perempuan cantik akhirnya terwujud. Sering kita mendengar ketika sepasang kekasih sedang jatuh cinta, mereka kadang lupa daratan. Bre mengemas pengetahuan umum itu secara menarik dalam nukilan berikut.

Pertama-tama, ia tak memercayai keajaiban itu. Dia perhatikan dan rasa-rasakan tubuhnya. Benar, telapak kakinya ternyata mengambang beberapa sentimeter di atas permukaan tanah.
Hah, dia kaget. Mungkin memang begitu rasanya orang sehabis bersetubuh. Dia saja yang selama ini kurang informasi, kurang tanya sana-sini kepada orang yang telah berpengalaman. Ia perhatikan dan rasa-rasakan lagi tubuhnya. Ini aneh. Ia benar-benar mengambang.
Dia pandang Peri Ayu di sebelahnya. Peri Ayu tersenyum. Tenggelam Lor Ing Pasar dalam senyum dan tatapan Peri Ayu. Ia tak peduli lagi dirinya menginjak tanah atau tidak. Asmara bersama sang peri membuat dia lupa segala-galanya, termasuk terhadap hukum gravitasi alam semesta.

Paragraf akhir tersebut menunjukkan upaya Lor Ing Pasar melogiskan ketidaklogisan yang ia alami. Terkadang, di hadapan birahi dan cinta, manusia melupakan akalnya. Kebahagiaan Lawrence Pasa rupanya tak kekal. Demikianlah sekali lagi Bre Redana menegaskan perbedaan antara manusia dan peri dalam menyikapi waktu. Dimana karena waktu, Lawrence memiliki batasan, memiliki kebosanan.

Bermula dari Masalah Waktu

Problemnya, dikarenakan pengertian waktu seperti diuraikan tadi, lama-lama bosan juga Lor Ing Pasar dengan situasi yang dijalaninya. Meski peri itu cantiknya tak terkira, menang rupo menang dedeg orang Jawa bilang (menang di wajah menang di sosok), Lor Ing Pasar tak bisa mengabaikan apalagi menyingkirkan rasa bosannya.
Peri Ayu bukannya tak menangkap gejala tersebut. Ia paham sepaham-pahamnya. Pengertian waktu bagi manusia berbeda dengan makhluk sepertinya. Waktu bisa bermakna ujian kesetiaan bagi manusia, tetapi tidak bagi makhluk seperti dirinya. Seperti disebut tadi, yang 35 tahun bagi manusia adalah sekerjapan mata bagi peri.

Sebagai manusia, Lor Ing Pasar melihat waktu berjalan linear dan kebahagiaannya dengan Peri Ayu menemui titik jenuh. Ia bosan dan meminta pada Peri Ayu untuk memberinya waktu kembali ke bumi selama 35 tahun. Setelah itu, ia berjanji akan kembali ke pelukannya. Peri Ayu menyepakatinya dan setelah 35 tahun berlalu, ia pun kembali menagih janjinya.

Seperti halnya Jaka Tarub, Lor Ing Pasar atau Lawrence Pasa akhirnya menderita karena kecerobohannya sendiri. Namun yang membedakannya dengan cerita Jaka Tarub, cerita ini menunjukkan pengetahuan baru yakni perbedaan cara pandang manusia dan peri untuk membangun logika cerita. Semisal perbedaan cara pandang manusia dan peri terhadap waktu. Cara seperti ini menunjukkan manusia memiliki rasa bosan dan dari kebosanan itu sikap buruk manusia berulah.

Perbedaan cara pandang terhadap waktu itu juga menunjukkan bagaimana perbedaan cara mereka menyelesaikan masalah. Sebab Peri Ayu tidak memiliki batas waktu di dalam hidupnya, ia sama sekali tidak merasa pernah meninggalkan Lawrence Pasa. Ia merasa terus bersama dengannya. Sementara Lawrence merasa terbebani sebuah janji yang membuatnya mencari cara untuk terlepas dari janji tersebut.

“Ke mana saja kamu?” Lawrence Pasa mengeluarkan suara untuk memecahkan sunyinya sendiri.
“Aku selalu di sini, melihat dan mengetahui apa pun yang kamu perbuat,” jawab Peri Ayu.
Dia yang tidak ditaklukkan waktu, pikir Lawrence. Belum paham juga dia, bahwa ada pengertian waktu yang berbeda antara dunia manusia dan dunia peri. Bagi Lawrence, kedatangan Peri Ayu pagi ini adalah pemenuhan janji kesetiaan.

Dari kutipan di atas, muncul suatu hipotesa, bagi Peri Ayu kehidupannya tidak bersangkut paut dengan waktu. Ungkapan pada dialognya menunjukkan ia tidak menganggap penting waktu yang berlalu panjang dalam kehidupan Lawrence. Apakah kemudian hal tersebut juga dapat menunjukkan bahwa Peri Ayu mengetahui bagaimana akhir hidup Lawrence Pasa yang akan terkutuk bosan bersamanya? Hipotesa ini muncul karena segala kejadian di kemudian hari tak jadi berarti ketika ia akan tetap di sana bersama Lawrence.

Tetapi hipotesa tersebut tampaknya cukup merepotkan melihat asal pertemuan, keputusan hidup bersama, dan perpisahan sementara di antara mereka terjadi karena ulah dan kehendak Lawrence Pasa. Paras Ayu di dalam cerita ini hanya semacam cermin, media yang menampakkan sikap buruk Lawrence Pasa sebagai manusia. Manusia yang berkelindan dengan waktu yang terbatas dan karenanya selalu berusaha mencari cara untuk bahagia.

Baca juga:
Durian Rasa Perjuangan
Antara Khayalan dan Kenyataan

Ada banyak perilaku manusia yang digarisbawahi Bre Redana di dalam cerita ini. Perilaku manusia yang penuh hasrat dan ambisi pada sesuatu, namun kemudian bosan dan membawa manusia pada harapan baru. Saat Lawrence Pasa mendapatkan Peri Ayu, perempuan cantik yang diidamkannya, ia tetap tak bisa terhindar dari rasa bosan dan hasrat baru. Bre juga memperlihatkan keinginan-keinginan manusia untuk hidup bahagia mengolah buminya sebagai berikut.

“Aku adalah makhluk bumi. Biarkan aku menginjak bumiku, mengolah bumiku, bergaul dengan sesama manusia yang bergembira mengolah tanah, merayakan kerja, berada di tengah mereka. Aku akan tetap bersamamu, kembali padamu. Aku hanya meminta waktu 35 tahun,” kata Lor Ing Pasar mengucapkan janjinya sendiri tanpa ada yang meminta.

Namun jika kita melihat inti dari cerita ini, maka upaya mengolah bumi, mengolah tanah, dan merayakan kerja Lawrence Pasa akan berakhir dalam kebosanan yang membawanya kembali merindukan kehidupan yang nyaman tanpa kerja. Sifat dasar manusia yang berkelindan dengan waktu juga mengukur tingkat kesetiaan manusia. Pesan ini juga tampak diperkuat Bre di dalam ceritanya.

Bre Redana meminjam alur cerita Jaka Tarub dan 7 Bidadari yang menunjukkan sikap buruk manusia dan konsekuensinya. Bre memodifikasi cerita rakyat tersebut untuk menegaskan bahwa sikap buruk manusia terjadi karena konsekuensi manusia di dalam waktu. Hubungan antara manusia dan peri yang berbeda dimensi waktu telah menunjukkan sisi rentan manusia pada kesetiaan. Sementara kesetiaan adalah perkara berat, sedikit manusia mampu mewujudkannya. Seperti saat Lawrence Pasa mesti setia pada janjinya, ia masih sempat-sempatnya untuk mengingkarinya dengan berbohong dan memanfaatkan kebenaran untuk kepentingan buruknya.

Dia pernah mendengar cerita dari dunia pewayangan mengenai ksatria Pandawa bernama Yudhistira yang keretanya tidak menginjak tanah, mengambang beberapa sentimeter di atas tanah. Itu karena Yudhistira tak pernah berbohong. Tatkala kata bohong ia ucapkan, konon roda kereta seketika mengentak bumi. Dukk.
Ingat cerita itu, Lawrence mendapat ide. Siapa tahu dengan berkata bohong, aku bisa menginjak bumi. Dia mencobanya.

Sikap pasrah Lawrence Pasa hidup kekal bersama Peri Ayu di akhir cerita, menunjukkan bahwa manusia akan kekal bersama janji mereka sendiri. Janji yang ditepati atau tidak ditepati akan tetap kembali kepadanya beserta seluruh konsekuensinya.

“Bohong atau tidak bohong tidak akan mengubah keadaanmu,” ucap Peri Ayu. “Sekarang ini hanya semata-mata waktumu membayar janji padaku.”
Sadarlah Lawrence Pasa, bahwa ia tak akan sanggup lagi menginjak bumi. Sekarang dan kelihatannya selamanya. Ia pasrah.

Catatan Kaki
1 Danandjaja, James. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan Lainlain. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1994.
2 Luxemburg, Jan Van,dkk. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia, 1986.
3 Dimuat di harian Kompas, 25 Maret 2018.

KOMENTAR

Zulfa Nasrulloh, pegiat dan pemerhati sastra dan seni pertunjukan. Mendirikan media alternatif Majalaya ID. Masih lajang.

You don't have permission to register