Fb. In. Tw.

Paman dan Kucing

Dedy Tri Riyadi dan Kurnia Effendy tampak begitu kompak ketika sajak mereka berdua tayang di harian Kompas (24/3/2018). Kedua penyair tersebut seperti mendedikasikan puisinya pada tokoh yang berarti bagi mereka masing-masing. Dedi Tri Riyadi mendedikasikan karyanya kepada sang paman dalam sajak “101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman”, “Kau Mati dan Hidup Kembali dalam Doa Kami”, “Pesan dari Bardo”. Kecuali satu sajaknya yang tak terasa sebagai sajak dedikasi bagi sang Paman, yaitu sajak “Kepala di Mata Uang”. Sedangkan Keff mendedikasikan karyanya kepada kucing dalam sajak “Sembilan Imaji tentang Kucing”, “Feline”, “Kucing (1)”, “Kucing (7)”, dan “Kucing (8)”.

Namun, apakah kedua tokoh, sang Paman dalam sajak-sajak Mas Dedi dan kucing dalam sajak-sajak Om Keff, cukup berarti juga bagi kita sebagai pembaca? Mari kita mulai dengan membaca kembali salah satu sajak karya Dedi Tri Riyadi berjudul “Kau Mati dan Hidup Kembali dalam doa Kami” berikut ini.

Kau Mati dan Hidup Kembali dalam Doa Kami

Tenang. Aku akan berdoa,
meski tak tahu: arwahmu
sedang berjalan di Hunza
atau sampai di Sinchuan.

Dan setelah dikremasi,
abumu hendak kubawa
dalam sebuah ziarah.           

Meski kenangan akanmu
sering membuat aku tertawa
sendiri.  

Tapi itu sebelum kulihat
uap tipis melayang
sedikit di atas secarik sutra.

2018

Mencari Petunjuk untuk Berjumpa Sang Paman
Sajak “Kau Mati dan Hidup Kembali dalam Doa Kami” sepertinya ditulis dalam satu tarikan nafas dengan sajak “101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman” dan “Pesan dari Bardo”. Kita juga dapat melihat sajak-sajak ini di blognya yang diberi judul besar “Somehow, dari Darbo”. Aku lirik dalam karya Dedi Tri Riyadi ini berbicara tentang seseorang yang telah mati. Seperti dapat kita ketahui dari judul sajak ini. Kata kunci kau, arwahmu, dikremasi, ziarah, kenangan, melayang, dalam sajak ini menguatkan indikasi bahwa aku lirik sedang mengenangkan seseorang yang telah mati.

Siapakah seseorang yang telah mati itu?

Untuk merujuk seseorang yang telah mati itu, kita dapat melihat sajak “101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman” dan “Pesan dari Bardo”. Pada kedua sajak itu, aku lirik menyebut seseorang yang telah mati itu dengan sebutan Paman. Sang Paman, dalam ketiga sajak ini, kemungkinan merupakan sosok yang dikenal secara personal oleh penyair. Akan tetapi, bisa juga merupakan sosok referensial yang hadir dari cakrawala pengetahuan penyair. Atau, malah tokoh rekaan yang dilahirkan penyair. Sesuatu yang pasti adalah kehadiran tokoh Paman dalam ketiga sajak ini telah menjadi salah satu unsur dramatis pada sebuah puisi.

Membaca tiga sajak Dedi Tri Riyadi yang didedikasikan kepada sang Paman, kita seperti dihadapkan pada teks yang disulih dari kisah atau narasi lain. Paman, Chakrasamvara, Shangri-la, Hunza, Sinchuan, Kunlun, dan Bardo adalah penanda yang dapat mengarahkan pembaca untuk memahami (atau setidaknya menjadi pijakan membaca) karya-karya Dedi Tri Riyadi.

Paman pada sajak-sajak ini yang membuat saya mengajukan pertanyaan: Apakah puisi dedikasi akan berarti bagi orang lain? Jika melihat latar sajak-sajak Dedi Tri Riyadi yang berkisar di sekitar daratan China dengan menyebut Sichuan dan Kunlun, Paman yang dimaksud kemungkinan besar adalah simbol dari pemimpin komunis (Kebetulan saya juga bertanya tentang sosok Paman ini kepada sang penyair via DM Twitter). Mao Zedong, Ketua Partai Komunis China sekaligus Pemimpin Revolusi China, sangat akrab disapa Paman Mao oleh para pengikutnya. Lantas, apa hubungan Paman Mao dengan kata-kata kunci lain seperti: Chakrasamvara, Shangri-la, Hunza, dan Bardo?

Chakrasamvara adalah teks Tantra utama dari tradisi Buddha Vajrayana. Chakrasamvara juga merupakan salah satu dewa paling populer dalam ajaran Buddha Tantra di wilayah Himalaya dan Tibet setelah abad ke-11. Dalam keyakinan umat Buddha, ada ajaran Sutra Delapan Kesadaran Agung yang membimbing ke arah pencerahan. Barangkali inilah kenapa pada sajak “101 Lampu Lemak untuk Almarhum Paman”, Dedi mengutip Chakrasamvara:

“Perlu seratus cahaya
untuk kesadaran agung.”

Sementara Shangri-la merupakan sebuah tempat imajinatif yang pertama kali disebutkan oleh James Hilton dalam novelnya Lost Horizon (1933). Dalam realitas, Shangri-la disebut-sebut merupakan lembah yang berada di antara wilayah Hunza (Pakistan), Sinchuan, dan pegunungan Kunlun (China). Sedangkan Bardo dalam tradisi Buddha Tibet kurang lebih merupakan alam transisi antara kematian dan kehidupan. Menurut keterangan tambahan sang penyair (via DM Twitter), Bardo juga merupakan penyair Tibet yang sampai sekarang masih dikontrol China.

Dengan sedikit uraian mengenai kata-kata kunci yang saya pilih dari sajak-sajak Dedi Tri Riyadi, kita dapat melihat adanya kaitan antara Paman sebagai simbol komunisme China dengan Bardo sebagai simbol yang barangkali mewakili spiritualisme Tibet. Di luar kaitan secara politis antara China dan Tibet yang tidak harmonis, kita dapat membaca karya Dedi Tri Riyadi yang jauh lebih harmonis, baik secara bentuk maupun tema.

Baca juga:
Melihat Permainan Hasan Aspahani
Memahami dan Merayakan Sastra Koran

Jadi, jika di awal ulasan saya mengatakan bahwa karya Dedi Tri Riyadi berbicara tentang seseorang. Maka, setelah diurai, bisa jadi sajak-sajaknya ini tak sekadar berbicara tentang seseorang, tetapi juga membicarakan persoalan-persoalan lebih besar lain yang secara simbolik tersirat dalam karyanya. Seperti dikatakannya dalam sajak “Pesan dari Bardo”, Dunia adalah jambangan/besar abu sisa kremasi.

Memahami Nasib Kucing
Empat sajak Kurnia Effendi yang didedikasikan bagi kucing: “Sembilan Imaji tentang Kucing”, “Feline”, “Kucing (1)”, “Kucing (7)”, dan “Kucing (8)” bagi saya pribadi cukup mengguggah. Karena sehari-hari saya juga hidup dengan seekor kucing bernama Raudatun Nefi, seekor kucing Persia betina berbulu emas milik cerpenis Joni Ariadinata, yang dua tahun terakhir betah menemani keluarga kecil saya. Keempat sajak Keff tentang kucing terasa sangat impresif. Ia bercerita tentang kucing dengan menuliskan imaji-imaji tentang kucing yang dapat kita bayangkan. Bahkan, bagi pembaca yang alergi terhadap bulu kucing sekalipun bisa sedikit berempati dan memahami bagaimana tingkah laku kucing dengan membaca sajak-sajak Keff.

Namun, pada sajak “Kucing (8)” Keff tak menonjolkan impresi mengenai kucing. Akan tetapi, aku lirik lebih mengajak pembaca untuk berdialog dan merenungkan nasib kucing bernama Tom yang direka oleh industri kartun Hollywood. Mari kita baca sajak “Kucing (8):

Kucing (8)

Ketika kau menerjang keluar dari
kilau layar kaca, tikus-tikus kecil
di kolong meja tertawa

”Tom, tampangmu sungguh
tak berwibawa.”

Selain kalah akal, oleh Disney perangaimu
dibuat selucu badut. Teraniaya jenaka
Sial demi sial menjadi serial yang
tak pernah menemui ajal

Ada pilihan lain bagimu, tentu:
Menjadi Garfield, pemalas yang beruntung
Atau Doraemon yang bosan tinggal
di masa depan

Ketika kau berhimpun kembali
di hangat tabung kaca, kumatikan televisi

2018

Pada sajak ini, seperti halnya tiga puisi Dedi Tri Riyadi, hadirnya tokoh kucing, alur/cerita, konflik, dialog, dalam sajak Keff menyuguhkan unsur dramatis. Selain itu, ia juga menghadirkan penanda-penanda yang merujuk pada informasi lain di luar yang tersirat dalam sajaknya. Tom, Disney, Garfield, dan Doraemon, tanpa perlu dijelaskan panjang lebar adalah narasi panjang yang mendukung sajak pendek ini.

Tentu saja, Keff tidak sedang berupaya mengungkapkan secara verbal mengenai kemungkinan nasib yang bisa dipilih oleh Tom, si kucing dalam serial “Tom & Jerry” produksi Disney. Lebih jauh, ia juga dapat menjadi perumpamaan “Sial demi sial menjadi serial yang/tak pernah menemui ajal” dalam kehidupan sehari-hari manusia.[]

KOMENTAR

Pendiri Buruan.co. Menulis puisi, esai, dan naskah drama. Buku kumpulan puisi pertamanya "Mengukur Jalan, Mengulur Waktu" (2015).

You don't have permission to register