Manusia, Politik, dan Korupsi Orang-orang Proyek
Sikap seorang pengarang terhadap realitas di sekitarnya disadari atau tidak, akan ada dalam setiap karyanya. Salah satunya, Ahmad Tohari. Pengarang yang peka terhadap realitas sosial di negeri ini. Dari novel Orang-orang Proyek (Matahari, 2004), kita bisa menemukan sikap pengarangnya terhadap realitas sosial. Novel ini adalah gambaran manusia dalam pergulatan politik yang penuh dengan siasat dan praktik korupsi. Ahmad Tohari membuka borok politik dan tatanan sosial dengan gaya satirnya yang khas.
Dan ada cerita humor yang sangat populer tentang orang-orang proyek. Suatu saat di akhirat, penghuni neraka dan penghuni surga ingin saling kunjung. Maka penghuni kedua tempat itu sepakat membuat jembatan yang akan menghubungkan wilayah neraka dan wilayah surga. Bagian jembatan di wilayah neraka akan dibangun oleh orang neraka dan sebaliknya. Ternyata penghuni neraka lebih cepat menyelesaikan pekerjaannya daripada para penghuni surga. Dan ketika dicari sebabnya, ditemukan kenyataan di antara para penghuni neraka banyak mantan orang proyek. (hlm. 225).
Anekdot di atas merupakan gaya Ahmad Tohari dalam menyampaikan pesan kepengarangannya. Kritik yang ditujukan bagi kita (manusia) pada umumnya, juga pada tatanan masyarakat dengan budaya kekuasaan yang korup.
Ahmad Tohari menampilkan perilaku manusia dalam menjalankan politik kekuasaan, termasuk praktik korupsi yang sudah membudaya di dalamnya. Ahmad Tohari merepresentasikan manusia dalam perangkat politik yang sarat praktik korupsi. Praktik-praktik korupsi yang masih bisa kita dapati dalam kehidupan berpolitik sampai sekarang ini. Novel sepanjang 227 halaman ini merupakan kritik sosial terhadap tatanan budaya masyarakat dalam menghadapi pembangunan negara.
Novel ini menceritakan seorang insinyur yang mendapatkan kesempatan mengelola sebuah proyek pembangunan jembatan. Di usianya yang masih muda, tokoh Kabul harus berhadapan dengan realita kehidupan bermasyarakat yang menuntut manusia untuk mampu berkompromi dengan keadaan, sekalipun itu bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, dan kesejahteraan. Sangat jauh dari idealismenya sebagai mantan aktivis kampus yang meyakini dan memperjuangkan nilai-nilai itu.
Kabul menyadari bahwa proyek yang ada di tangannya sarat manipulasi, yang menunjukkan kepadanya bagaimana sesungguhnya korupsi membudaya di masyarakat. Korupsi seolah lumrah dalam kehidupan bermasyarakat. Adalah Pak Tarya, seorang pensiunan PNS, yang menjadi tempat Kabul berkeluh kesah, membagikan sebagian pergulatan batinnya menghadapi persoalan itu.
Proyek pembangunan jembatan sebenarnya adalah misi politik penguasa lokal dalam usaha memenangkan kekuasaan. Karenanya proyek tersebut menjadi lahan korupsi bagi siapapun yang berkepentingan, berkubang ria dalam budaya kekuasaan itu.
“Penguasa yang punya proyek dan para pemimpin politik lokal menghendaki jembatan itu selesai sebelum pemilu 1992. Karena, saya kira, peresmiannya itu akan dimanfaatkan sebagai ajang kampanye partai golongan penguasa. Menyebalkan. Dan inilah akibatnya bila perhitungan teknis-ilmiah dikalahkan perhitungan politik.”
“He-he-he.”
“Pak Tarya Tertawa?”
“Ya, karena saya maklum. Meski sudah tua dan jelek, saya ini pensiunan pegawai negeri. Jadi saya tahu, ya, begitulah budaya kekuasaan di negeri kita. Bahkan saya juga bisa menebak semua teman sampean kini sedih. Karena, kerugian akibat banjir itu bisa dijadikan alasan untuk meminta biaya tambahan. Dan hal ini berarti kesempatan baru untuk menggelembungkan anggaran proyek. Ah, kami rakyat kecil tahu kok, apa arti penggelembungan biaya bagi orang-orang proyek. Eh, maaf. Mulut saya ini latah. He-he-he” (hlm. 7).
Jika manusia berperan dalam menjalankan politik kekuasaan dengan cara mementingkan kepentingan golongan tertentu, maka seperti pandangan Aristoteles1 mengenai manusia dalam kekuasaan adalah binatang politik. Dan, politik merupakan rimba bagi makhluk di dalamnya.
Persoalannya adalah apakah manusia selalu menjadi subjek politik itu? Kabul dan Pak Tarya sebagai representasi manusia dalam pergulatan politik itu, sesungguhnya adalah dua karakter yang sungguh berbeda menyikapi realitas budayanya. Kabul masih memiliki idealisme pribadi meskipun masih bisa berkompromi dengan masyarakat dalam beberapa hal.
Sementara, Pak Tarya lebih menunjukkan sikap pasrah dan maklum atas budaya kekuasaan yang berlaku. Namun, kita tak bisa menyalahkan Pak Tarya. Pasalnya, orang tua itu memiliki dendam masa lalu; sewaktu ayahnya mati di tangan pemuda pejuang lantaran mempertahankan kepentingan bersama. Dendam atas pembunuhan yang mengatasnamakan revolusi. Dendam yang membuat bekas luka di hati Pak Tarya. Walaupun secara pribadi ia telah memenangkan pertarungan dengan batinnya sendiri ketika kebenaran (kepentingan bersama) itu akhirnya mewujud kerugian yang dialami warga desanya. Pak Tarya masih bisa hidup lantaran memaklumi budaya kekuasaan itu.
Budaya kekuasaan yang dimaksud lahir dari ideologi massa, dan ideologi akan selalu menempatkan manusia sebagai subjeknya. Ideologi berputar dalam realitas sosial berupa ujaran, ekspresi, dari subjek dan objeknya. Bayangan masa lalu yang dihadirkan Ahmad Tohari di novel ini, boleh jadi sebagai representasi dari sebuah relasi imajiner, yang berhadapan dengan kondisi eksistensi sebenarnya melalui Pak Tarya. Peristiwa yang dialami Pak Tarya, hingga melekat dalam pikirannya, ideologi massa.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, kita tidak bisa menyalahkan individunya; Pak Tarya atau pemuda pejuang. Dalam novel ini, ideologi berputar dalam realitas sosial imajiner berupa ujaran, ekspresi, dari subjek dan objeknya. Subjeknya adalah penguasa dan pemilik modal. Pak Tarya dan Kabul hanyalah objek dari ideologi itu.
Praktik korupsi yang menjadi penekanan novel ini karena ada pergulatan politik di dalamnya, memang hanya terjadi di level bawah (orang-orang proyek). Motif di belakangnya adalah kemiskinan. Praktik korupsi seperti penggelembungan anggaran, sampai pencurian bahan baku pembangunan jembatan, berpangkal pada watak primitif manusia; mementingkan diri sendiri dan serakah. Hal yang wajar apabila terjadi pada manusia-manusia dengan latar pendidikan rendah, kondisi ekonomi di bawah garis kemiskinan, menjadi motif praktik koruptif. Namun, beda halnya apabila watak primitif itu menempel pada manusia dengan pendidikan tinggi.
Primitif, mementingkan diri sendiri, serakah. Itulah akar persoalannya? Rasanya memang begitu. Dan, bila si primitif di sekitar proyek yang miskin dan kurang terdidik, harap maklum. Namun kalau si primitif tadi adalah menteri, dirjen, kakanwil, dan seterusnya? Apa mereka tidak mencak-mencak bila dikatakan primitif? (hlm. 17).
Pak Tarya meyakini betul bahwa selain orang-orang proyek, petinggi-petinggi itu pun terlibat dalam praktik korupsi. Contohnya proyek pembangunan jembatan ini; adalah hasil kongkalikong pemerintah dan pemenang tender.
Pendidikan yang rendah, juga kemiskinan yang mengungkung warga sekitar proyek, adalah satu dari banyaknya akar persoalan praktik korupsi. Misalnya Dalkijo, atasan Kabul yang bermain dalam pengerjaan proyek ini. Watak primitif Dalkijo berlatarkan kemiskinan yang dialaminya bertahun-tahun.
Dalkijo adalah representasi manusia pragmatis yang memanfaatkan politik untuk menaikkan derajat sosialnya. Lain Dalkijo, lain pula Basar, kawan Kabul semasa di kampus. Mantan aktivis yang dipaksa menjadi Kepala Desa. Dengan statusnya sebagai Kepala Desa, adalah sasaran empuk bagi penguasa dan pimpinan proyek melancarkan intrik politiknya. Basar tak lain hanyalah alat bagi golongan penguasa dan pemilik proyek.
“Kami tahu, Anda mampu menggalang dan mengerahkan seluruh massa serta, dan ini sangat penting, potensi Dana. Kepada seluruh warga hendaknya dikatakan mereka hanya punya satu pilihan yang tepat, yaitu Golongan Lestari Menang alias Orde Baru. Karena, selain GLM isinya cuma politikus-politikus tukang omong kosong. Sedangkan kita, GLM, jagonya pembangunan. Maka Ketua Dewan Pembina kita digelari Bapak Pembangunan. Iya, kan?”
Manusia sudah terbiasa menggunakan praktik pencitraan semacam ini untuk merebut simpati rakyat. Pak Tarya tahu betul budaya kekuasaan itu berlangsung sejak lama sehingga menghasilkan praktik-praktik korupsi yang seolah bukan lagi rahasia umum dan menjadi lumrah.
Persoalan yang dialami Kabul bukan hanya dari pelaksanaan pembangunan jembatan, melainkan persoalan kebutuhan politik di kalangan atas dan korupsi di kalangan bawah. Proyek jembatan selesai, sesuai permintaan pemilik proyek. Namun, politik dan korupsi masih melekat pada manusia-manusianya. Kabul adalah sosok yang sempurna sebagai ikon perlawanan dan kritik terhadap budaya korup yang ada di negeri ini.
Budaya Berpolitik
Novel ini tidak hanya membongkar persoalan politik dan korupsi. Selain itu, kita bisa membuat sebuah studi kultural dari novel ini. Kita bisa membayangkan budaya kekuasaan yang hidup dalam masyarakat di atas. Dan kita masih bisa menemukan budaya tersebut pada masa sekarang ini. Negosiasi, lobbying, pencitraan, dan tentunya proyek-proyek yang dibuat demi memenuhi hasrat kekuasaan.
Pada masa sekarang ini memang sulit menemukan orang yang tidak menjalankan politik dalam kehidupan. Politik bisa menjadi alat menggapai suatu tujuan. Manusia telah mengenal politik sejak lama. Bisa dikatakan sejak individu manusia memiliki pikiran dan keinginan. Manusia dan politik seolah tak bisa saling melepaskan satu sama lain. Politik menjadi bagian penting dari peradaban kemanusiaan.
Politik sebagai sebuah usaha dalam kerangka memenuhi tujuan dan kebaikan bersama, sebagaimana pemikiran Aristoteles, dijalankan oleh manusia maupun kelompok untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan. Manusia sejatinya berpolitik apapun tujuannya. Filsafat politik yang diuraikan Plato sebagai cerminan politik, tentang keberadaan manusia di dunia terdiri dari tiga bagian yaitu, pikiran atau mind, spirit, dan passion atau nafsu berkuasa2.
Kekuasaan adalah gejolak obsesi individu yang diraih dengan cara menjalankan politik. Politik Nicollo Machiavelli memandang kekuasaan sebagai sesuatu yang cenderung dilanggengkan oleh penguasa lewat berbagai cara, asalkan kekuasaan tersebut dapat dipertahankan3. Ini adalah ideologi massa yang menjadikan manusia atau golongan sebagai subjeknya. Cara-cara memperebutkan kekuasaan dalam pandangan Machiavelli tadi, mengartikan bahwa politik menerima cara-cara kekerasan.
Politik kekerasan bukanlah hal aneh di negeri ini. Sejarah kelam pasca kemerdekaan adalah tanda gerak ideologi yang dijalankan oleh subjek (pemerintah). Contohnya orang-orang yang lenyap dalam huru-hara pasca G30S 1965, pengasingan tokoh yang melawan, penyiksaan dan penculikan, intimidasi, represi dalam reformasi, dan lain-lain. Politik ini sering digunakan oleh penguasa, dari skala terkecil (desa) sampai penguasa negara untuk mendominasi kekuasaannya.
Memang benar, sekarang ini, kita nyaris tidak menemukan politik dengan kekerasan seperti masa-masa lalu. Hal ini disebakan rakyat atau manusia-manusia dalam sistem kenegaraannya sudah bisa membedakan misi politik yang baik dan yang buruk. Politik demokrasi hari ini mengandalkan bahasa sebagai alat penyampaian ideologinya. Namun, bukan berarti politik itu bersih.
Baca juga:
– Kemiskinan dalam Potret Keluarga
– Menerka Mata yang Enak Dipandang
Dalam ungkapan George Orwell, bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan berlangsung terhormat. Masih ada kasus-kasus praktik politik kotor yang melibatkan uang, adu domba, kampanye gelap, dan lain sebagainya yang menggunakan bahasa sebagai alat untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Dan, dalam hal merebut kekuasaan, praktik politik atau usaha politik seringkali melahirkan perilaku koruptif. Korupsi lahir dari cara manusia berpolitik demi memenuhi keinginan berkuasa, termasuk keinginan meraih keuntungan pribadi atau kelompok. Korupsi juga bisa timbul saat manusia mempertahankan kekuasaannya dengan menjalankan politik yang melenceng dari tujuan kebaikan bersama.
Di Indonesia, korupsi sudah ada sejak zaman kerajaan sampai sekarang, dari zaman kerajaan sampai zaman serba digital sekarang ini. Korupsi berkaitan dengan perilaku masyarakat (baca: manusia) dengan bermacam-macam motif politik di dalamnya. Dan, kita harus waspada terhadap ideologi, budaya koruptif, dan sistem pemerintahan yang tidak memihak pada rakyat.
Menghadapi pemilu ke depan, novel yang sarat akan kritik sosial ini, patut dibaca sebagai upaya menolak lupa. Manusia, politik, dan korupsi adalah pekerjaan rumah yang belum selesai sampai saat ini.[]
Catatan Kaki
1. Maulana, Rizkie. “Teori-Teori Politik“. Rizkie-library.blogspot.co.id.
2. Wirodono, Sunardian. “Jika Politik Kotor, Cucilah”. indonesiana.tempo.co.
3. Piliang, Yasraf Amir. Teori Budaya Kontemporer. Yogyakarta: Cantrik pustaka, 2018.